• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #57: Suasana Tahun Politik di Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #57: Suasana Tahun Politik di Cicalengka

Demokrasi yang sehat seharusnya adalah pertarungan gagasan, ide, dan pandangan visioner dalam mengurus kepentingan rakyat. Tergerus politik uang.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Ilustrasi. Surat suara Pemilu.(Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

26 Februari 2024


BandungBergerak.id – Genderang demokrasi telah bergema kembali, seluruh rakyat Indonesia telah menggunakan hak pilihnya untuk menentukan nasib bangsa dalam lima tahun ke depan. Dalam beberapa minggu ke belakang seantero negeri ini bertalu-talu mendengungkan bahwa tahun politik telah tiba.

Serangkaian peristiwa pun juga telah usai dilalui, di mulai dari acara-acara debat capres dan cawapres. Rakyat Indonesia telah menyaksikan dari berbagai kandidatnya dengan melihat visi dan misi atau gagasan apa yang terpatri pada setiap calon untuk membawa arah dan haluan dalam membawa bangsa ini lima tahun ke depan.

Baliho-baliho politik dari calon presiden, calon legislatif, atau partai politik berceceran memenuhi sudut-sudut kota guna berupaya mengambil suara dan hati dari rakyat, yang menjadikan nuansa politik begitu kental.

Rakyat pun sudah tuntas menggunakan hak pilihnya dengan menyematkan harapan pilihannya untuk kepemimpinan dalam satu periode ke depan. Hak pilih tersebut, adalah sebuah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada warganya, untuk turut andil dalam menciptakan nuansa demokrasi. Dengan begitu, hal ini diandaikan bisa menjadi representasi bagi keberlangsungan demokrasi.

Pada musim politik seperti ini memang kita dapat menyaksikan sebuah kontestasi atau pertarungan luar biasa yang dilakukan entah itu oleh capres & cawapres, calon legislatif, atau dari partai politik. Guna mendapatkan suara rakyat, sering kali mereka menghalalkan segala cara dan mengenakan praktik-praktik politik uang.

Terlebih dan khusus di beberapa desa di Kecamatan Cicalengka menjelang hari pemilihan, banyak sekali praktik-praktik politik uang yang dilakukan oleh partai-partai politik tertentu guna membuai suara rakyat.

Para calon legislatif yang maju mencalonkan diri menggunakan strategi kampanye dengan menyambangi masyarakat dari kalangan muda sampai tua, dengan memberikan amplop suapan dengan maksud untuk memilih dirinya pada hari pemilihan.

Hal ini memang adalah gejala umum yang terjadi pada saat musim politik. Hak pilih rakyat rupanya bisa terbeli dengan amplop yang berisi seratus ribu atau sembako murahan. Apakah hal ini adalah tindakan bermoral? Apakah ini adalah suatu demokrasi yang sehat?

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #54: Paradoks Pembangunan Jalur Kereta Api Ganda Cicalengka-Bandung
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #55: Menjadi Relawan Rumah Baca Masyarakat Kali Atas
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #56: Siapa yang Mengasuh Anak Pekerja?

Suap dan Sogokan

Satu minggu menjelang hari pemilihan di salah satu kampung yang terletak di Kecamatan Cicalengka, ada tim sukses yang datang menyambangi kami dan memperkenalkan calegnya yang hendak maju dalam pemilihan DPRD tingkat kabupaten/kota.

Mereka datang sebagai tim sukses bukan hanya mendatangi kaum pemuda, tetapi mereka juga mendatangi para ibu-ibu dan bapak-bapak.

Bukan memperkenalkan ide dan gagasan apa yang dimiliki calegnya kepada kami, melainkan mereka malah mengiming-imingi dengan amplop yang berisi seratus ribu dan menyuruh kami untuk memilih calegnya. Bukan visi atau misi yang diperkenalkan kepada para ibu-ibu dan bapak-bapak dari calegnya melainkan mereka malah memberi enam belas liter minyak goreng dan beberapa sembako.

Istilah ini sering kali dikenal sebagai “serangan fajar.” Manuver politik yang menggunakan harta, guna meraih elektabilitas di masyarakatnya.

Dari kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu ada yang secara serta merta menerima pemberiannya itu.

Yang menjadi miris, yang melakukan tindakan serangan fajar itu, bukan hanya dari satu tim sukses saja, melainkan ada banyak sekali tim sukses dari pelbagai caleg dan partainya yang melancarkan serangan fajar tersebut.

Dengan adanya tindakan ini, disinyalir dapat menaikkan elektabilitas dalam meraih suara di mata masyarakat sehingga tak berlebihan bahwa jika kita menyebut tindakan ini adalah strategi ampuh dan mutakhir dalam kontestasi politik.

Namun alih-alih dibilang sebagai strategi mutakhir dalam merengkuh kepercayaan masyarakat, hal ini tentu menodai muruah demokrasi. Demokrasi yang seharusnya menjadi arena gagasan dan ide dalam memajukan kepentingan bersama dalam tata kelola nasional, justru telah menjadi arena pengeluaran harta dengan praktik suap yang bergantung pada politik uang.

Refleksi Moral dalam Praktik Politik Uang

Moralitas dalam demokrasi kita telah merosot dengan adanya praktik politik uang. Bagaimana tidak? Demokrasi yang sehat seharusnya adalah pertarungan gagasan, ide, dan pandangan visioner dalam mengurus kepentingan rakyat. Hal ini tergerus begitu saja dengan adanya politik uang.

Dengan adanya praktik politik uang, suara rakyat yang merupakan hak eksklusif dalam menentukan arah pilihannya dapat terbeli dengan amplop yang berisi seratus ribu atau dengan beberapa kantong sembako dengan kualitas cuma-cuma.

Tak mengherankan pula bahwa situasi ini menjadi pelik apabila caleg yang telah melakukan tindakan praktik politik uang yang telah mengeluarkan dan menghisap hartanya, akan tetapi ekspektasi suara yang diperoleh merosot dan dengan serta merta menjadikan caleg itu kalah dan berakhir di rumah sakit jiwa.

Nuansa perpolitikkan semacam ini adalah nuansa yang tidak elok nan keruh dan perlu penindakan tegas dari pihak-pihak tertentu. Masyarakat pun perlu mengubah paradigmanya dalam menghadapi situasi semacam ini. Karena apabila terus dibiarkan, ia akan terus menjamur dan memperkeruh nuansa demokrasi di Indonesia.

Maka dalam hal ini, bagi mereka yang maju sebagai caleg dalam kontestasi pemilu dalam ajang demokrasi, ide-ide dan gagasan-gagasan mereka tidak berguna. Sekali pun mereka berkontemplasi dan memikirkan demi kemajuan visioner bagi masyarakatnya, itu menjadi sia-sia karena semua itu dapat dikalahkan oleh amplop-amplop sogokan dan sembako murahan.

Padahal, suatu ide atau gagasan dan tujuan untuk mengurus kepentingan masyarakat dalam kelola tata pemerintahan lebih penting daripada amplop sogokkan dengan isi seratus ribu rupiah. Kepentingan bersama dalam pengelolaan kemasyarakatan tidak sebanding dengan nominal amplop dengan isi seratus ribu rupiah.

Orang-orang yang memang memiliki basis kemampuan dan ideal dalam memimpin suatu masyarakat, dengan segala ide dan gagasan yang ia miliki untuk memajukan masyarakat, kalau dia miskin dan tidak memiliki ongkos untuk melakukan serangan fajar dalam merengkuh hati masyarakat maka niscaya akan kalah dalam kontestasi perpolitikkan.

Sehingga yang kita dapati dalam nuansa demokrasi di Indonesia adalah bukan demokrasi yang pada esensinya mempertarungkan ide dan gagasan dalam memikirkan kemajuan dan kepentingan masyarakat. Namun, demokrasi kita adalah sebuah arena pertarungan harta dan kekayaan dalam memperdaya masyarakat.

**  Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//