Akulturasi Budaya Indonesia dan Tiongkok Memeriahkan Cap Go Meh di Maranatha
Pengunjung bisa mengenakan pakaian khas Tiongkok hingga mengikuti lokakarya membuat kerupuk pangsit yang berbeda dengan kerupuk pangsit Indonesia.
Penulis Awla Rajul27 Februari 2024
BandungBergerak.id - Pusat Bahasa Mandarin (PBM) Universitas Kristen Maranatha, Bandung, menggelar rangkaian acara yang mencerminkan akulturasi budaya Indonesia dan Tiongkok. Agenda yang menyambut perayaan Cap Go Meh ini dimeriahkan lomba fashion show, fotografi, kaligrafi Cina, lokakarta kebudayaan Tiongkok, bazar makanan, dan lain-lain.
Koordinator Acara PBM Maranatha Minche Tanamal menjelaskan, kegiatan ini mengusung semangat pelestarian budaya yang tumbuh di Indonesia. Acara ini bukan hanya untuk memperkenalkan budaya Tiongkok kepada masyarakat, tapi juga akulturasinya dengan budaya Indonesia sesuai dengan tema “Soar with Dragon, Live in Harmony”.
“Jadi walaupun bisa dibilang Tiongkok itu budaya dan bahasa asing, tapi kita juga tidak melupakan budaya Indonesia sendiri, di mana budaya Tiongkok dan Indonesia itu bisa jadi satu,” terang Minche, saat ditemui BandungBergerak.id.
Cap Go Meh sendiri bukan budaya asing khususnya bagi warga Bandung. Peringatan terkait rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini biasa diperingati oleh warga Tionghoa pada hari ke-15 tahun baru Cina. Sementara rangkaian “Soar with Dragon, Live in Harmony” berlangsung Kamis hingga Jumat, 22-23 Februari 2024 di Maranatha Student Center Universitas Kristen Maranatha, Bandung.
Menurut Minche, acara “Soar with Dragon, Live in Harmony” terinspirasi dari antusias masyarakat terhadap budaya Tiongkok. Masyarakat yang hadir kebanyakan tertarik dengan pakaian tradisional Tiongkok, yaitu hanfu. Para pengunjung diperkenankan mencoba hanfu dan berswafoto dengannya dengan dilatarbelakangi bangunan Cina.
Di dalam bangunan Cina itu masyarakat pun bisa melihat-lihat alat musik Cina, di antaranya Gu Zheng dan Pi Pa (keduanya alat musik petik), catur cina atau Xiang Qi, dan mencoba menulis kaligrafi Cina. Setiap masyarakat yang hadir di bangunan Cina akan didampingi oleh dua orang yang memberikan penjelasan, satu berbahasa Mandarin, satunya lagi berbahasa Indonesia.
Minche mengklaim, selain pakaian tradisional, masyarakat juga tertarik dengan catur Cina-yang bisa dimainkan langsung oleh pengunjung, juga alat musik Cina. Beberapa pengunjung, kata Minche merasa terinspirasi dengan semangat orang-orang Tiongkok yang masih melestarikan budaya dan alat musik leluhurnya.
“Jadi padahal kita menceritakan tentang budaya Tiongkok, tetapi ternyata ini secara gak langsung juga memunculkan minat dari dalam diri kita untuk yang (budaya dan alat musik) Indonesia seharusnya juga bisa nih. Itu sih yang di luar dugaan aku ketika berinteraksi dengan tamu-tamu yang datang,” ungkap Minche.
Bentuk akulturasi juga muncul dari workshop kebudayaan Tiongkok dan perlombaan. Ada tiga workshop yang dilakukan, yaitu workshop musik-musik Mandarin, pakaian budaya Tiongkok (hanfu), dan makanan-makanan khas saat perayaan Imlek.
Salah satu makanan khas Imlek adalah pangsit. Namun, Minche menerangkan, ada perbedaan antara pangsit Indonesia dan pangsit di daerah asalnya, yaitu Tiongkok. Usai lokakarya makanan khas Imlek itu, juga diselenggarakan demo pembuatan pangsit. Setiap audiens yang datang, bisa mencoba langsung bagaimana cara membungkus pangsit.
Adapun di perlombaan, Minche menyebut, banyak peserta yang melakukan akulturasi budaya. Misal, para peserta fashion show yang menaruh corak batik pada pakaian tradisional Tiongkok. Adapun perlombaan fotografi, banyak peserta yang mengkombinasikan model yang mengenakan batik tengah berada di bangunan Cina.
“Jadi dari hasil lombanya pun ada banyak sekali akulturasi. Makanya ketika hari Kamis pun kami memakai baju warna merah, dalam budaya Tiongkok itu melambangkan kemakmuran. Nah di hari keduanya kita menggunakan batik,” terang Minche.
Pantauan BandungBergerak.id pada kegiatan tersebut, banyak pengunjung yang antusias mencoba mengenakan hanfu sambil berswafoto. Panitia juga menyediakan fasilitas swafoto yang dicetak langsung kepada seluruh pengunjung. Ada pula permainan free ring toss. Selain itu, seluruh kegiatan acara berlangsung menggunakan dua bahasa, Mandarin dan Indonesia.
Baca Juga: Menghidupkan Budaya Literasi di Cicalengka
Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
Cara Komunitas Karinding Jatinangor Melestarikan Budaya Sunda
Membangkitkan Kerinduan
Salah seorang pengunjung, Tintin (43 tahun), hadir ke kegiatan tersebut mewakili keponakannya yang tak bisa hadir untuk agenda pengumuman lomba fashion show. Keponakannya tampil fashion show Kamis pada kategori B tingkat SD. Tintin menilai, kegiatan yang diselenggarakan PBM Maranatha cukup menarik. Ia pun mengaku baru pertama kali mengikuti kegiatan demikian.
“Saya baru pertama kali sih ikut acara ini. Sangat menarik sih, ya karena ada akulturasi. Menarik aja, jarang ada,” ungkap Tintin saat menunggui pengumuman lomba. Keponakannya meraih juara harapan.
Selain itu, mahasiswa Kedokteran Universitas Maranatha, John Hakeem (18 tahun) berpendapat, kegiatan tersebut membangkitkan kerinduannya dengan kampung halaman. Materi workshop kebudayaan Tiongkok yang diberikan disampaikan dengan ringan dan mudah dimengerti. Ia berharap, kegiatan seperti ini harusnya dilakukan tidak hanya dua hari. Sebab acara seperti membangkitkan kerinduan akan kampung halamannya.
“Ketika aku nonton acara ini, sebenarnya merasa senang banget. Karena saat Imlek kemarin saya gak bisa pulang untuk ikut merayakan. Jadi dengan ada acara ini, saya bisa merasa vibes-vibes Imlek dan juga bisa ngerasain Imleknya,” ungkap pemuda asal Riau yang fasih berbahasa Mandarin ini.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Akulturasi Budaya Indonesia dan Universitas Kristen Maranatha