• Berita
  • Mendiskusikan Arsip di Cicalengka, Dokumentasi sebagai Napas Kehidupan Sosial

Mendiskusikan Arsip di Cicalengka, Dokumentasi sebagai Napas Kehidupan Sosial

Muhidin M Dahlan (Gus Muh) mengingatkan betapa pentingnya pengarsipan bagi warga. Dengan arsip, warga bisa memiliki sejarahnya sendiri.

Gus Muh dalam diskusi Pemanfaatan Arsip untuk Penulisan Sejarah, di Cafe Holiday Jalan Sawahlega, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Selasa, 12 Maret 2024. (Foto: Ryamizar Hutasuhut/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah13 Maret 2024


BandungBergerak.id – Merekam ingatan melalui arsip akan mengantarkan perjalanan seorang individu ataupun bangsa memasuki masa depan. Pengalaman ini yang dirasakan arsiparis partikelir Muhidin M Dahlan selama bergumul dengan arsip. Awal perkenalan Gus Muh, demikian ia biasa disapa, melalui sosok Pramoedya Ananta Toer yang juga arsiparis kuat.

“Tahun 2003, saat saya menulis dan menyusun novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur, saya mengenal kearsipan lewat para pelaku, sialnya lewat Pramoedya arahnya. Bertemu Pram dengan ideologi yang berbeda, cara tokoh ini ketika menuliskan sesuatu, menuliskan sejarah tapi gak halu, tema sastranya engga mengada-ada. Baru tahu saya, (Pram) berdiri di atas pengarsipan yang kuat,” kata Gus Muh, dalam diskusi Pemanfaatan Arsip Untuk Penulisan Sejarah, di Cafe Holiday Jalan Sawahlega, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Selasa, 12 Maret 2024.

Penulis buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 (2024) ini bercerita, kerja-kerja pengarsipan bukanlah kerja yang menghabiskan waktu. Namun melalui arsip kita bisa memasuki sejarah dengan cara-cara yang tidak biasa.

“Dengan mengarsip bisa menulis, punya argumen, memasuki sejarah dengan tidak biasa, dan menulis cerita yang tak lekang oleh waktu,” jelas Gus Muh.

Tak lengkang oleh waktu. Sebab, cerita yang ditulis berdasarkan data kuat dan kokoh-tokoh terpercaya. Gus Muh memahami, pengumpulan arsip bukan sekadar menyimpan dan menggumpulkan. Tujuan pengumpulan arsip ini harus melahirkan karya. Selain menulis karya tulis berupa buku-buku berbasiskan arsip, Gus Muh juga mengumpulkan arsip-arsip tersebut dalam sebuah lembaga di Warung Arsip.

“Bukan hanya mengumpulkan, mencari, dan simpan. Tujuan saya punya karya. Karena arsip banyak maka, saya buat lembaga,” terang Gus Muh. 

Arsip juga mendorong seorang arsiparis untuk bertemu dan berkomunikasi dengan banyak orang. Pendokumentasian yang hidup perlu juga diiringi dengan aktivitas berbagi dan menyimpan sebagai syarat untuk menulis. Saat ini, lelaki kelahiran Sulawesi Tengah ini sedang manargetkan 10 juta kliping sampai mati.

“(Saya) target umur 70-80 masih bisa kerja. Target utamanya 10 juta kliping sampai mati, manusia punya target besar supaya engga melamun dan engga kehabisan akal,” tutur Muhidin M Dahlan.

Langkah pertama yang dilakukan Gus Muh adalah dengan membiasakan diri melakukan pendokumentasian. Kebiasaan ini untuk melatih memahami isu. Ia juga menyinggung cara penyusunan arsip di Warung Arsip yang berbeda dengan perpustakaan umumnya di Indoesia. Arsip Warung Arsip ditulis berdasarkan kategori, kata kunci, judul artikel, dan sumber koran dan majalah. Penyusunan seperti ini dilakukan agar semakin rapi. “(Nanti) semakin mudah memanggilnya,” sebut Gus Muh.

Baca Juga: Dari Mengkliping Koran, Lahirlah Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998
CERITA GURU: Mendapat Hadiah Buku tentang Peristiwa 1998
RESENSI BUKU: Museum Kenangan, Membagikan Jatuh Cinta Pertama pada Buku

Melakukan Pengarsipan Bersama Warga

Pegiat Lingkar Literasi Cicalengka Laila Nur Saliha mengatakan, komunitasnya memang belum melakukan pengarsipan. Namun sudah ada individu-individu yang secara mandiri melakukan pengarsipan, salah satunya penulis sejarah Atep Kurnia.

“Sebelumnya sempat mau menelusuri sejarah literasi di Cicalengka. Baru sampai tahap wacana. Sepertinya, itu pun belum sampai kepikiran untuk pengarsipan yang lebih serius,” jelas Laila, kepada BandungBergerak.id.

Laila berharap, ke depan kerja-kerja literasi Cicalengka bisa semakin serius lagi, langkah pertama yang akan dilakukan dengan cara pengumpulan arsip-arsip dari warga lokal.

Setiap orang atau warga sebenarnya memiliki arsip. Tetapi tak semua orang mempunyai kesadaran untuk melakukan pengarsipan, seperti disampaikan Muhidin M Dahlan dalam tulisannya “Warga dan Dokumentasi dalam Politik Tanpa Dokumen (2020)”. Menurutnya, apabila warga dan komunitas masyarakat  sering disebut memiliki perhatian rendah dalam soal arsip dan dokumen, maka pemerintah harus membuatkan program peningkatan kesadaran ini.

Selain itu, kekuatan membaca dokumen dan arsip sendiri sudah dimiliki oleh warga. Warga hanya perlu sentuhan teknologi terrkni atau penciptaan momentum bersama dalam perayaannya.

Contoh, keberhasilan warga melakukan dokumentasi secara bersamaan dilakukan pada Pemilu 2014. Momentum ini melahirkan para pengawal pemilu yang berkerja mengarsipkan serta mendokumentasikan melalui portal-portal bikinan warga, salah satunya kawalpemilu.org.

“Portal-portal yang mengelola dokumen atau arsip yang dibagi secara terbuka ke komisi penyelenggara pemilu itu adalah fenomena yang membanggakan,” tutur Muhidin.

Adanya pengarsipan dan dokumentasi yang dikerjakan oleh warga menunjukkan pengetahuan dan teknologi warga tidak biasa dianggap remeh oleh negara. Di sisi lain, keberadaan dokumentasi dan arsip menyadarkan masyarakat bahwa dokumentasi adalah persoalan sehari-hari.

“Partisipasi warga dalam dokumentasi ini menjadi fenomena yang baik mengembalikan posisi dokumentasi bukan sebagai benda yang dimuseumkan. Namun bagian dari napas kehidupan sosial masyarakat yang terus hidup, diperbaharui, dan menjadi lini masa historis penting pertumbuhan sebuah komoditas masyarakat,” terang Gus Muh. 

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Arsip dan Dokumentasi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//