• Cerita
  • Merayakan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia, Menciptakan Ruang-ruang Pertemuan di Bandung

Merayakan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia, Menciptakan Ruang-ruang Pertemuan di Bandung

Perayaan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung menegaskan konsistensi para seniman di tengah ragam masalah. Kesulitan ruang, kekurangan seniman perempuan.

Gendis Utoyo tampil secara kolaboratif dengan Ratimaya dan Diandra dalam perayaan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya25 Maret 2024


BandungBergerak.id - Seorang Putri berbaju hitam dan bergaun merah, dengan rona merah di pipi pada wajah putih khas riasan pantomim, menggeliat dari tumpukan kain yang menggunung di atas pentas. Putri tersebut bangun, menggosok-gosok kedua matanya. Gendis Utoyo, yang berperan sebagai Putri, menegok ke kiri dan kanan, memperhatikan sekitar. Sadar, dirinya masih terperangkap di dalam sumur yang gelap.

Dikisahkan, alasan terjebaknya Putri di dalam sumur adalah rasa sayang yang kelewat mendalam dari sang Ibu. Sang Ibu khawatir, dunia luar akan berlaku kejam kepada Putri. Setiap kali dia berkunjung ke sumur, pinta Putri untuk keluar dari sumur ditolaknya. Putri hanya bisa menangis kencang ketika sang Ibu lalu meninggalkannya.

“Memang yang mau kita omongin tuh generational trauma,” ucap Gendis menjelaskan tema besar pertunjukan ketika ditemui selepas pentas, Jumat, 22 Maret 2024 malam, di Aula Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung. “Bagaimana ketakutan seorang Ibu tuh bisa terkadang membuat anaknya seperti hidup di dalam sumur, terpenjara.”

Pendongeng Ratimaya, selaku narator, kemudian mengisahkan sebuah lemparan kerikil dari atas sumur yang mengalihkan perhatian Putri. Rupanya ulah si Monyet. Dewan tersebut mencoba menarik perhatian Putri. Bantuan datang tidak terduga, si Monyet melemparkan tali yang digunakan oleh Sang Ibu untuk masuk ke dalam sumur. Dengan susah payah, Putri naik ke bibir sumur. Di sana, untuk pertama kalinya, dia melihat langit lapang, air biru, dan bunga-bunga yang cantik. Dunia yang sebelumnya gelap kini penuh warna.

Musik yang dimainkan oleh Diandra mengalun lembut. Di hutan kecil itu, ditemani si Monyet, Putri berlari ke sana ke mari. Tiba di tepi sungai, si Monyet meminta Putri menaiki perahu. Keduanya lalu mendayung hingga tiba di seberang. Di sebuah perkampungan, orang-orang yang melihat Putri menyambutnya dengan hangat.

Di ujung pandang, satu rumah kayu menarik perhatian Putri. Dirinya mendekat. Diketuk pintu tersebut. Dibukalah kemudian oleh sang Pemilik. Betapa terkejut pemilik rumah, yang merupakan sang Ibu, mendapati anaknya bisa sampai ke rumahnya. Tubuh sang Ibu bergetar. Sang Putri, dengan nada gemetar, memberanikan diri untuk menjelaskan: dunia luar tidak seburuk apa yang Ibunya ceritakan.

“Semua dari kita tuh pasti memiliki ketakutan-ketakutan,” ucap Gendis yang baru menggeluti pantomim sejak tahun 2019. “Karena pantomim adalah media yang membuat kita sangat leluasa menceritakan dimensi-dimensi batin.”

Setelah hampir 35 menit, pertunjukan berjudul “Senyawa Manusia” pun berakhir dengan tepuk tangan meriah dari belasan apresiator yang hadir. Kolaborasi tiga seniman secara memikat membuka perayaan “13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Indonesia”.

Selain penampilan pantomim, perayaan yang digelar oleh Pusat Studi Mime Indonesia dan Nyantren di Jante dengan tema “Warisan Sunyi yang Bersenyawa” ini menampilkan juga pameran arsip dan dokumentasi berupa poster, majalah, buku, kliping koran, foto, dan properti pantomim yang tersebar di seluruh ruangan. Di hari kedua, ada diskusi.

“Di sini, saya melihat berpantomim ibarat menjeda. Memberi jarak. Melambat,” tutur kurator pameran, Khoeruman Taos. “Gerak-gerak dan ekspresi tubuh serta wajah yang diracik ramu hebat oleh alam pikiran dan hati yang bernyawa.”

Seniman pantomim Wanggi Hoed dan Khoeruman Taos di antara arsip-arsip yang dipamerkan dalam perayaan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)
Seniman pantomim Wanggi Hoed dan Khoeruman Taos di antara arsip-arsip yang dipamerkan dalam perayaan 13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung, Jumat, 22 Maret 2024. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

Pameran Arsip dan Dokumentasi Pantomim

Melewati pintu masuk, di sebelah kiri, mata pengunjung langsung disuguhi 13 poster kegiatan pantomim dari tahun-tahun lalu. Baik yang di jalanan maupun di gedung pertunjukan. Bukan hanya di Bandung, tapi juga kota-kota lain di Indonesia. Beberapa nama seniman pantomim kondang tertulis dalam poster-poster tersebut, seperti Dede Dablo, Sena A. Utoyo, dan Wanggi Hoed.

Setelah poster, suguhan berganti dengan berbagai kliping koran, majalah, dan buku tentang pantomim. Di antara barang-barang tersebut, terpampang foto sepia Sena A. Utoyo yang mengenakan topi bulat, bertelanjang dada, seolah sedang menari. Di bawah foto itu ada sebuah tulisan sambung: “bergerak melalui rasa dan pikiran tanpa hambatan batin”.

“Tak semua seniman pantomim mengarah pada tercapainya bentuk tontonan yang sukses penonton dan kemashyuran. Banyak bahkan seniman pantomim yang tak menghiraukan tepuk tangan, tetapi mereka memilik main di jalan-jalan, stasiun, dan pasar malam. Mereka tak menuntut sorak-sorai dan perhatian,” tulis Sardono W. Kusumo dalam Tempo, 5 September 1992, berjudul Pantomim, yang juga dipajang di pameran tersebut.

Di tengah-tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang memuat arsip-arsip tulisan tentang pantomim berbahasa asing. Beberapa Inggris, beberapa lainnya Prancis. Selain tulisan, ada pula foto-foto dari Etienne Decroux dan Marcel Marceau. Perayaan Hari Pantomim Sedunia tahun ini sekaligus perayaan mengenang 101 tahun Marcel Marceau dan 126 tahun Etienne Decroux.

Selain barang-barang tersebut, di lantai sudut belakang ruangan, terhampar dua pasang baju dengan bunga poppy dari kertas, kain berwarna merah, dan beberapa kartus pos. Tiga lilin kecil di tengah-tengahnya menyoroti beberapa poster bernada perlawanan yang terbuat dari kardus yang dicat. Barang-barang ini adalah properti yang digunakan oleh Wanggi Hoed dan kawan-kawan seniman lain ketika aksi jalan kaki menyuarakan solidaritas bagi Palestina beberapa pekan sebelum acara.

“Seni pantomim membutuhkan disiplin, dedikasi, dan pemahaman mendalam tentang sifat manusia,” terang Marcel Marceau mengutip siaran pers yang ada. “Pantomim adalah cermin yang mencerminkan pengalaman manusia.”

Gendis Utoyo berfoto di depan potret sang ayah yang juga seniman pantomim kondang, Sena A. Utoyo. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)
Gendis Utoyo berfoto di depan potret sang ayah yang juga seniman pantomim kondang, Sena A. Utoyo. (Foto: Adelia Putri Rejeki/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Peta Sunyi Seni Pantomim BandungPantomim, Seni Perlawanan paling Sunyi

Pantomim, Bandung, dan Malasahnya Hari Ini

“Sejauh ini, yang dipertunjukkan oleh teman-teman (pantomim), wilayah secara ruang atau apresiator, masih terbatas ya,” ucap Andy Waluya Wartja, 26 tahun, salah satu apresiator yang telah menikmati seni pantomim sejak 2016.

Meski isu yang dibawa bisa dibilang penting, menarik, dan inklusif, menurut laki-laki yang akrab disapa Kiting ini, pantomim masih dinikmati oleh segelintir orang saja, menjadikannya seolah eksklusif. Alasannya bisa jadi beragam. Salah satunya, penyebaran informasi yang belum maksimal.

Berbeda dengan seni-seni lainnya, pantomim dirasakan Kiting masih belum memiliki ekosistem yang mantap. Baik itu dari segi regenerasi ataupun budaya saling mengkritik. Proses mengalihwahanakan karya seni lain menjadi pantomim, ataupun sebaliknya, belum banyak dilakukan.

Gimana misalnya pantomim itu bisa jadi satu letupan yang menggema secara luas?” tanya mahasiswa yang menggeluti bidang Antro[plogi itu retoris.

Pendapat tersebut diamini oleh Wanggi Hoed, seniman pantomim yang menjadi inisiator perayaan “13 Tahun Hari Pantomim Sedunia di Bandung”. Pantomim masih sering dipinggirkan dibandingkan seni-seni lain, seperti musik, tari, dan teater. Akibatnya, pantomim kesulitan masuk ke dalam ranah industri, meskipun Wanggi tetap menggarisbawahi bahwa pantomim bukan sekadar profesi untuk mencari uang.

Masalah lain yang didapati di Bandung adalah minimnya ruang untuk bertemu, tampil, atau memamerkan karya. Kebanyakan ruang di Bandung sangat ribet dalam hal administrasi. Itu membuat para seniman pantomim harus pintar-pintar mencari celah. Menambah tugasnya tidak hanya sekadar mencari, tapi juga menciptakan ruang-ruang pertemuan.

“Ketika ada ruang, dan ruang itu bisa dieksplorasi dan diberdayakan, kita pakai. Jadi kita gak nunggu lagi dipanggil atau follow up,” kata Wanggi. “Tinggal kita menyulap ruang yang biasanya buat diskusi jadi ruang pameran, ruang yang biasanya dipakai buat nongkrong-nongkrong, ngobrol-ngobrol, kita buat jadi ruang pameran.”

Gendis Utoyo, anak seniman pantomim Sena A. Utoyo, menyodorkan permasalahan lain. Menurut dia, masih amat sedikit jumlah perempuan masuk ke seni pantomim. Dia pernah mendapati satu-dua seniman pantomim perempuan muncul, tapi sayangnya mereka tidak bertahan lama.

Menurut Gendis, pantomim adalah seni yang melelahkan. Dibutuhkan daya tahan fisik yang tinggi untuk terus bertahan. Selain itu, pantomim juga terbilang sulit sebab para seniman harus menjadi wadah kosong agar menyerap kondisi lingkungan sekitarnya. Menjadikan tak sembarangan orang bisa melakoninya.

“Kami (pantomim) mah termasuk jarang yang cewek,” kata Gendis. “Ya didoain aja mudah-mudahan bisa lebih banyak.”

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau artikel-artikel lain tentang Pantomim

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//