GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #5: Burung-Burung Blekok di Hutan Tembok
Menyelamatkan habitat terakhir burung blekok Gedebage bukan demi burung sawah semata, melainkan untuk melestarikan cadangan air dan penangkal bencana banjir.
Penulis Awla Rajul26 Maret 2024
BandungBergerak.id - Semburat layung menyala di langit Gedebage, Bandung. Seekor burung bewarna putih dengan corak kecoklatan di kepala dan badannya mendarat pelan di atas rumpun bambu yang mulai terdesak hutan tembok. Ia datang untuk bermalam dan bergabung dengan kawan-kawannya di habitatnya yang terakhir.
Burung blekok (Ardeola spesioca), burung sawah yang tinggal di persawahan Gedebage, merupakan jenis burung air dari famili Ardeidae. Burung ini merupakan salah satu dari lima jenis burung air yang mendiami rumpun bambu di Kampung Blekok RW 02 Rancabayawak, Cisaranten Kidul. Rumpun bumbu itu adalah satu-satunya habitat yang tersisa di Bandung Raya.
Antara tahun 1970-1990an, burung blekok mendiami kawasan rawa-rawa maupun semak-semak di Cekungan Bandung yang waktu itu masih banyak persawahan. Dulu, persawahan bukan hanya banyak dijumpai di Gedebage, tapi masih jamak membentang mulai dari Cimahi, Rancaekek, hingga Cicalengka.
Selain blekok, ada empat jenis burung air lain di Kampung Blekok. Ada kuntul kecil (egretta garzetta), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), koreo padi (Amaurornis phoenicurus), dan koak malam (Nycticorax nycticorax). Total sebenarnya ada 10 jenis burung lain yang mendiami kawasan Gedebage. Tapi alih fungsi lahan besar-besaran di kecamatan yang digadang sebagai Teknopolis ini membuat habitat burung tergerus. Banyak burung-burung pergi dan tak pernah kembali.
Ujang Syafaat (47 tahun), Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Cisaranten Kidul menyebutkan, sebelumnya ada delapan rumpun bambu yang berdampingan dengan permukiman warga, tepat di pinggir sungai mati yang dulunya aliran Sungai Cisaranten. Kini bambu yang tersisa empat rumpun saja.
“Berderet rumpun bambu ini bukan untuk si blekok sebetulnya mah, bukan untuk burung kuntul, bukan untuk kuntul kerbau, bukan. Tapi untuk menahan jebolnya tanggul aliran sungai tersebut, tapi dimanfaatkan oleh habitat ini (burung-burung air) untuk beranak-pinak dan berkembang biak,” cerita Ujang kepada BandungBergerak.id saat ditemui di Masjid RW 02 Rancabayawak, Sabtu, 20 Januari 2024.
Tahun 1990an diperkirakan merupakan masa-masa awal kedatangan burung blekok ke kawasan Gedebage, salah satunya ke rumpun bambu di Rancabayawak. Burung-burung ini mendiami kawasan Gedebage karena merupakan daerah basah (wetland). Penamaan tempat di Gedebage pun identik dengan kawasan basah yakni “ranca” (dari bahasa Sunda) yang berarti rawa-rawa, seperti Rancabayawak, Rancasagatan, Rancanumpang, Rancabiuk, Rancameong, Rancabolang, Rancakuntul, dan masih banyak lagi.
“Keberadaan burung ini karena mengingat di daerah wilayah Gedebage pada waktu tahun 1970 sampai 1990 itu notabene rata-rata pesawahan,” terang Ujang.
Ujang menjabarkan, hilangnya empat rumpun bumbu bermula saat wabah flu burung merebak. Burung-burung liar semacam blekok dinilai membawa virus, sehingga habitatnya harus dimusnahkan. Penelitian datang belakangan yang membuktikan bahwa burung blekok tak terkontaminasi virus. Hingga tersisalah empat rumpun bambu sebagai habitat terakhir blekok di Rancabayawak.
Namun, habitat hewan ini semakin menyempit akibat desakan pembangunan kota yang terus merangsek ke kawasan timur kota Bandung. Ujang, yang sempat menjabat Ketua RW selama dua periode juga mengakui melindungi burung blekok bukanlah perkara mudah. Ia sudah melakukan berbagai upaya. Sejak tahun 1995 ia sudah mulai peduli, mengajak, dan menyadarkan masyarakat untuk mencintai blekok yang sudah lama hidup berdampingan dengan manusia.
“Sempat populasi burung blekok ini anjlok bahkan sampai hilang gitu kan. Hanya tersisa beberapa ekor saja karena diakibatkan oleh masifnya pembangunan,” beber Ujang. Suara dentuman alat berat, bisingnya kendaraan, hingar-bingar kegiatan pembangunan, dan aktivitas manusia membuat blekok terganggu dan meninggalkan rumpun bambu.
Kawanan burung blekok dan jenis hewan lain dalam ekosistem alami Gedebage memang tengah menghadapi pembangunan. Yang paling dekat dengan habitat blekok adalah pembangunan komplek perumahan elite Summarecon. Namun secara umum, kawasan Gedebage tengah disiapkan untuk menjadi sebuah kota baru berbasis teknologi (teknopolis) sekaligus sebagai pengganti pusat kota Bandung yang saat ini sudah sangat heurin ku tangtung (padat).
Dari mimpi membangun teknopolis ini yang muncul alih fungsi lahan, permukiman elite, pembangunan infrastruktur besar seperti Stadion Gelora Bandung Lautan Api, kereta cepat, dan lain-lain. Dampaknya, luas persawahan terus berkurang, rumah-rumah alami burung blekok tergusur.
“Kalau dulu-dulu sebelum ada pembangunan 1995 sampai 2014 pun mereka enjoy pulang jam tiga setengah empat (sore). Kalau sekarang ada perubahan jadwal, perubahan waktu, mereka itu datang jam setengah lima sampai jam enam petang. Karena satu, cari makannya jauh gitu kan. Yang kedua, terhambat oleh perumahan,” jelas Ujang.
Ujang menerangkan, ketika lahan persawahan masih banyak di Gedebage, ada sekitar tujuh ribu hingga 10 ribu blekok di Rancabawak. Jumlahnya kini menurun, diperkirakan hanya tersisa sekitar dua ribu ekor burung blekok di Gedebage. Bisa jadi, jumlah ini semakin menurun karena pembangunan teknopolis yang mengesampingkan kehidupan harmonis satwa liar dan manusia.
Membela Burung, Ditertawakan Manusia
Sebelum menjabat Ketua RW, Ujang pernah pula menjadi Ketua Karang Taruna. Saat itu ia aktif mendorong berbagai pihak untuk melindungi dan melestarikan blekok. Ujang memulai masa kepemimpinannya sebagai Ketua RW dengan tantangan yang berat, ia harus berhadapan dengan pembangunan Summarecon dan pengembangan Gedebage sewaktu Bandung dipimpin Wali Kota Ridwan Kamil yang mencetuskan mimpi teknopolis.
Persawahan tempat makan blekok berganti perumahan elite maupun infrasrtuktur besar. Lahan-lahan yang dulunya menjadi sarang blekok, kini hilang tak berbekas. Saban tahun, setiap rapat musrenbang di kecamatan, maupun rembuk warga, Ujang getol meminta dukungan dan perlindangan masyarakat untuk melestarikan blekok.
Sebelum pengembangan Summarecon, Ujang juga kerap mengingatkan pihak pengembang untuk menjaga betul-betul penopang habitat burung blekok. Bahkan kalau bisa, bukan hanya dijaga, tapi ditambah pohon-pohon untuk tempat hidup baru burung-burung air. Apa respons mereka?
“Mereka hanya normatif saja, di depan iya, di belakang menetawakan gitu kan,” kata Ujang.
Bahkan, masyarakat, peneliti, pihak-pihak peduli lingkungan juga pernah mengadakan diskusi dengan pengembang. Pengembang didesak agar menyisakan ruang antara perumahan dengan habitat burung. Sayangnya, sulit bagi pengembang menyediakan lahan cuma-cuma dan tidak menguntungkan dari segi bisnis.
Habitat burung blekok di Gedebage pernah diajukan kepada Pemkot Bandung maupun Pemprov Jabar untuk dijadikan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Upaya ini tak bisa dijalankan sebab kawasan itu telah dimiliki oleh swasta (pengembang). Untungnya, lanjut Ujang, perlindungan habitat burung blekok akhirnya diakomodir dengan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya. Kampung Blekok masuk sebagai Kawasan 23 Kampung Budaya Rancabayawak.
“Alhamdulillah dengan adanya perda tersebut kami merasa bahwa kawasan kampung blekok Rancabayawak tidak bisa diperjualbelikan dan tidak bisa dikembangkan oleh pengembang, atau istilahna warga, kampung ini mempunyai kekebalan secara hukum,” ungkap Ujang.
Namun begitu, Ujang masih cemas. Meski sudah dilindungi sebagai kawasan cagar budaya, burung blekok bisa kapan saja meninggalkan kampung ketika “terancam” maupun “terganggu”. Jelajah untuk mencari makan yang semakin jauh mungkin belum menjadi soal. Menyempitnya habitat dan tempat makan oleh hutan-hutan tembok akan memaksa mereka terbang jauh selamanya.
“Kegiatan yang membuahkan kegaduhan seperti menyalakan kembang api, terus menerbangkan drone berdekatan dengan rumpun bambu yang pada akhirnya mereka itu terganggu. Dengan bisingnya suara drone, (membuat) burung itu tidak mau hinggap di rumpun bambu,” terang Ujang dengan nada cemas.
Upaya penjagaan terhadap blekok turut disuarakan oleh berbagai pihak, salah satunya melalui Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKTLS). Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi DPKTLS Taufan Suranto menerangkan, sebelum tahun 2016 bersama berbagai organisasi, pihaknya mendorong pelestarian kampung blekok.
Pentingnya pelestarian kampung blekok bukan hanya karena adanya entitas satwa liar yang mendiami habitat terakhir di Bandung Raya, tetapi juga kearifan lokalnya. Masyarakat Rancabayawak yang hidup harmonis dengan blekok merupakan contoh kearifan lokal yang penting di tengah maraknya pembangunan kota. Blekok dan kearifan lokal ini harus dipertahankan.
Di samping itu, Taufan menerangkan, terjadi penurunan jumlah populasi blekok dari tahun ke tahun yang disebabkan maraknya pembangunan. Beberapa sebab ini menjadi alasan berbagai organisasi lingkungan maupun pihak yang peduli kelestarian satwa melakukan advokasi untuk “mengamankan” habitat blekok dari desakan pembangunan.
“Kalaupun tidak bisa mencegah adanya pembangunan komersial yang itu kan kekuatan pemegang kapital manalah kita mampu, tetapi bagaimana kita bisa mempertahankan ruang itu. Yang kedua, bagaimana Pemkot itu bukan hanya sekadar melindungi secara cagar budaya atau cagar wildlife, tetapi ada ruang-ruang yang bisa dibangun untuk edukasi,” terang Taufan kepada BandungBergerak.id, di Kantor DAS Citarum, Jumat, 19 Januari 2024.
Gedebage dulunya adalah benteng terakhir Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung yang cukup luas. Kebijakan tata ruang kota kemudian memilih kawasan ini sebagai pusat pemukiman, komersial, hingga pemerintahan baru. Di sisi lain, Gedebage merupakan lahan basah yang rawan banjir dan memiliki urban sanctuary, dalam hal ini yaitu habitat terakhir blekok.
Realitas tersebut menjadi alasan kuat mengapa penting menjaga dan melestarikan kawasan Gedebage dari desakan pembangunan. Sebelum pembangunan Gedebage dimulai, Taufan sudah mewanti-wanti kepada pihak Summarecon untuk menyiapkan terlebih dahulu kawasan hutan atau kawasan pengganti RTH. RTH ini nantinya yang akan menjadi habitat pendukung dalam upaya melestarikan blekok.
Sebab, “membangun” hutan atau RTH tidak akan seinstan membangun infrastruktur gedung yang akan rampung dalam dua tahun. Makanya Taufan menyebut, pembangunan Summarecon dan kawasan Gedebage belum bersinergi untuk pelestarian habitat satwa maupun memitigasi bencana banjir.
“Faktanya itu gak terjadi sehingga hari ini banyak sekali kawasan-kawasan Gedebage yang memang dalam perkembangannya resapan airnya sudah hilang oleh bangunan infrastruktur kan,” kata Taufan. “Itu kan sebenarnya daerah lahan basah di mana kalau katakanlah hujan itu pasti di sana banjir. Sehingga pembangunannya juga kalaupun memaksakan diri tidak bisa sembarangan kan”.
Taufan menilai, Pemkot Bandung tidak memiliki konsep pembangunan yang mempertimbangkan harmonisasi kehidupan manusia dengan satwa. Kalaupun ada, hanya parsial di masing-masing dinas yang tidak memiliki sinergitas. Sehingga pengembangan Gedebage belum memiliki konsep menyeimbangkan ekosistem alam.
Baca Juga: GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #1: Balada Banjir di Calon Pusat Kota
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #2: Berebut Jalan Menuju Masjid Al Jabbar
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #3: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #4: Rumit di Gelora Bandung Lautan Api
Antara Bandung Teknopolis dan Pusat Pelayanan Kota
Kawasan di timur Kota Bandung ini memiliki ruang terbuka hijau (RTH), terutama berupa sawah, cukup luas. Di era Dada Rosada (2003-2013), Gedebage sudah digadang-gadang bakal menjadi pusat pertumbuhan primer baru. Termasuk, lokasi pemindahan pusat pemerintahan dari kota lama (Alun-alun dan Balai Kota).
Di era Ridwan Kamil, Gedebage ingin disulap sebagai kawasan modern dan canggih yang disebut Bandung Teknopolis. Nama teknopolis bahkan masuk ke dalam dokumen Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan (RDTRK), kemudian dipromosikan ke banyak forum dengan kalimat “Bandung Teknopolis, The Silicon Valley of Indonesia”.
Pembangunan Bandung Teknopolis Gedebage diklaim akan menyedot 400 ribu tenaga kerja. Teknopolis direncanakan dibangun di lahan seluas 800 hektare dari total luas Gedebage 978 hektare. Pemilik lahan terluas, sekitar 300 hektare, adalah pengembang permukiman elite.
Apa yang terjadi di era selanjutnya? Zaman Wali Kota Bandung Oded M. Danial, pengganti Ridwan Kamil, istilah Bandung Teknopolis tenggelam. Tidak ada pembangunan berbasis teknologi digital ataupun lapangan kerja di bidang teknologi informatika. Gedebage cukup disebut sebagai Pusat Kota Tambahan. Di era wali kota berikutnya, Yana Mulyana, Bandung justru dirundung kasus korupsi.
Ridwan Kamil pernah menjelaskan konsep Bandung Teknopolis dalam keterangan resmi yang terbit 13 Agustus 2016. Ridwan Kamil menjelaskan, Kota Bandung membutuhkan satu pusat baru yang terpadu. Kesempatan ini hanya berada di kawasan Bandung Timur.
“Kalau tidak ada pusat baru, Bandung ini akan kiamat planologis, itu artinya baru buka pintu saja sudah macet belum juga sampai ke pusat kota,” ujar Ridwan Kamil.
Gedebage menjadi pilihan. Nantinya, Gedebage akan menjadi pusat masa depan di Kota Bandung. Hal ini berdasarkan studi Kawasan Pusat Primer Gedebage dan berubah menjadi Bandung teknopolis.
“Ini (Gedebage) merupakan suatu kehormatan untuk menjadi wajah Bandung masa depan. Kan dulunya namanya Kawasan Pusat Primer Gedebage sekarang diganti jadi Bandung Teknopolis. Ini bukan konsep baru, ini rencana masa lalu yang diganti judul,” terangnya.
Gedebage sebagai Bandung Teknopolis adalah sebuah kota yang di dalamnya ada aktivitas pekerjaan di bidang teknologi. Ridwan Kamil menegaskan untuk tidak mengghubungkan projek Bandung Teknopolis ini dengan pihak Summerecon.
“Bandung teknopolis ini dimiliki oleh delapan stakeholder, bagi mereka yang mengidentikan Bandung Teknopolis dengan Summerecon itu salah, Summerecon itu hanya satu dari delapan stakeholder yang namanya Bandung Teknopolis,” tuturnya.
Fungsi lain Gedebage adalah sebagai Pusat Pelayanan Kota (PPK), sebagaimana tertuang dalam Perda Kota Bandung Nomor 18 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2011-2031.
PPK merupakan pusat pelayanan ekonomi, sosial dan atau administrasi yang melayani wilayah kota. Akan banyak dibangun infrastruktur di Gedebage, paling kurang dilengkapi oleh fasilitas seperti perguruan tinggi dan perpustakaan, rumah sakit kelas A, masjid wilayah dan tempat peribadatan lain, gedung pertemuan umum, komplek olahraga, gedung hiburan dan rekreasi, kantor pemerintahan, pusat perbelanjaan, dan infrastruktur transportasi.
Pakar Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi menilai Gedebage sebagai lahan yang tidak terlalu ideal. Dulu ditawarkan untuk menetapkan kawasan utara Soetta sebagai PPK. Namun, karena kebijakan yang sangat politis, dipilihlah Gedebage. Selain juga karena sudah banyak investor yang melirik dan menyuntikkan investasi ke kawasan timur Bandung ini. Denny juga menilai, hingga saat ini PPK Gedebage belum terwujud sepenuhnya.
Denny menerangkan, salah satu lahan basah yang disisakan di Gedebage adalah kampung blekok yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Sayangnya, penetapan ini belum efektif untuk menjaga blekok. Penetapan kawasan cagar budaya bukan melekat karena satwa. Sebab jika melekat karena satwa, seharusnya ditetapan sebagai cagar alam.
Absennya peraturan operasional tentang kawasan cagar budaya menjadi tantangan tersendiri melestarikan kawasan cagar budaya. Sehingga yang paling dasar yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan blekok dan kampung blekok adalah dengan “mempertahankan yang ada, jangan mengubah”.
Lahan basah yang dulunya banyak membentang di Gedebage, lanjut Denny, sebetulnya menjadi tempat parkir air. Kawasan macam ini biasanya ditinggali oleh beragam spesies hewan dan tumbuhan. Sayangnya, ketika lahannya diubah, habitatnya berubah, “penghuninya” pun akan pindah mencari tempat hidup baru. Lahan basah, misalnya rawa-rawa pun biasanya hanya akan dipertahankan jika ia berfungsi secara ekologis.
“Nah itu yang tidak selalu dapat pengganti yang setara dengan yang diubah itu. Jadi kalo ada yang memang menampung macam-macam hewan, satwa, nah itu lebih baik memang dipertahankan,” kata Denny saat ditemui BandungBergerak.id di Ruang Prodi Tata Ruang ITB, Jumat, 19 Januari 2024.
Dalam perencanaan kota, memang tidak ada rencana untuk membuat lahan basah atau rawa-rawa. Gedebage yang dijadikan sebagai pusat primer, perlu “dikeringkan” dan menyisakan lahan basah yang dikumpulkan dengan waduk buatan untuk menampung air. “Mengeringkan” Gedebage adalah upaya menarik investor. Sebab jika kawasan itu kerap banjir, kecil kemungkinan investor akan menanam investasinya.
Sayangnya, banyak lahan basah tempat parkir air yang beralih fungsi. Di sisi lain, Summarecon meninggikan lahannya beberapa meter. Dua kondisi ini menyebabkan air mengalir ke tempat-tempat rendah yang ditinggali warga. Hal inilah yang menjadi poin penting menghitung kapasitas penampungan air yang hilang dan menggantinya dengan kapasitas yang memadai sesuai dengan volume air.
“Dulu 2005 itu kami sudah menghitung perlu sekitar 100-120 hektare retention pond atau waduk buatan untuk menampung banjir. Jadi kalo daerah itu masih banjir karena wetland ya berarti terus, investor tidak akan tertarik untuk membangun di sana. Kalo membuktikan memadai atau tidaknya gampang. Banjir atau tidak, tergenang atau tidak. Kalau tergenang berarti tidak memadai,” lanjut Denny.
Pembangunan kawasan Gedebage seharusnya terintegrasi dengan kawasan sekitar yang menjadi habitat satwa dan kawasan penyangga keseimbangan alam. Sebab, karakter pembangunan kota sangat sulit mempertahankan dan melestarikan lahan macam ini, berbeda dengan kabupaten.
Pelestarian kawasan Gedebage bukan hanya untuk mempertahankan habitat terakhir burung blekok di Bandung Raya, tetapi menyelamatkan kawasan yang sejak zaman purba telah berfungsi sebagai lahan parkir air, sumber resapan, dan benteng dari bencana banjir. Melestarikan dan melindungi Gedebage adalah upaya penting untuk keberlanjutan kehidupan manusia, selain memastikan saban sore burung-burung blekok bisa pulang ke rumpun bambu di Rancabayawak.
*Tulisan Awla Rajul ini mendapat dukungan data lapangan dari Reporter BandungBergerak Ridho Danu Prasetyo, kawan-kawan dapat membaca liputan khusus lainnya tentang Gedebage Bukan Teknopolis dalam tautan tersebut