• Liputan Khusus
  • GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #4: Rumit di Gelora Bandung Lautan Api

GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #4: Rumit di Gelora Bandung Lautan Api

Masalah Stadion GBLA sangat panjang, mulai dari awal pembangunan, tempat parkir, ketidaknyamanan bagi penonton anak dan perempuan, hingga kemacetan.

Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 Maret 2024


BandungBergerak.id – Pertandingan Persib yang digelar di kandang Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung selalu menyedot perhatian bobotoh. Ya, bagaimanapun GBLA dengan segala problematikanya, adalah kandang Persib yang sejak awal dibangun pada 2019 sampai sekarang kerap menuai keluhan dari bobotoh.

Ketika Persib Bandung kontra Persis Solo dijadwalkan berlaga, Minggu, 4 Februari 2024 lalu, ribuan bobotoh pun berbondong-bondong mendatangi stadion di Bandung timur ini. Mereka sebelumnya sudah memesan tiket secara online terlebih dahulu, seperti yang dilakukan Adit (22 tahun).

Jauh hari sebelum laga pertandingan dimulai, Adit sudah memesan tiket dengan cara yang cukup rumit, mulai dari registrasi melalui aplikasi, menjalani proses verifikasi, dan menukarkan tiket fisik. Harga tiket pertandingan Persib bermacam-macam, mulai dari 400 ribu hingga 125 ribu rupiah.

Setelah itu, Adit harus melewati tingkat pengamanan memasuki stadion yang ketat. Penjagaan dilakukan mulai dari pintu masuk stadion sampai tribun. Sebelum memasuki tribun, penonton harus menempuh jalur pengecekan badan atau boddy-scanning yang dipisahkan antara perempuan dan laki-laki. Meskipun begitu, kenyamanan perempuan masih belum terasa, masih terdengar catcalling dan mengomentari cara berpakaian penonton perempuan oleh petugas.

Namun, harga tiket dirasa tidak didukung dengan fasilitas memadai dan nyaman bagi para bobotoh. Tengok saja akses parkir hingga toilet umum di stadion yang berlokasi di Gedebage ini, kondisinya banyak menuai kritik. Menurut Adit, berbagai fasilitas di stadion GBLA tidak sebanding dengan harga tiket yang dibeli.

“Kita dari warga bandung sangat senang sekali, tapi dari fasilitas stadionnya belum berimbang, cowok-cewek yang masih disatukan toiletnya dan masih banyak yang rusak, parkir yang belum aman, itu engga sebanding,” kata Adit, ditemui BandungBergerak, menjelang laga Persib versus Persis Solo.

Masalah toilet stadion yang belum optimal juga jadi keluhan Epul (25 tahun), asal Cimahi. “Sekarang tiket naik, tapi fasilitas toilet, airnya kadang ada, kadang tidak ada, kan gimana yah,” tutur Epul.

Laki-laki dan perempuan bahkan disatukan dalam satu toilet karena toilet yang lainnya rusak. Belum lagi dengan volume air bersih yang minim dan masalah kebersihan. Hal ini dirasakan Sema (27 tahun), bobotoh perempuan dari Balaendah.

“Gak ada kepuasan, malah bikin rudet, kebersihannya kurang. Sekarang beli tiket online juga mahal, belum verifikasi sulit, tapi calo masih ada,” keluh Sema.

Soal kenyamanan bobotoh yang membawa anak-anak, jangan ditanya. Sepak bola adalah hiburan semua kalangan, tak ada perbedaan gender dan usia untuk mencintai olahraga si kulit bundar. Cinta pada tim yang memiliki julukan Maung Bandung ini diwariskan juga oleh orang tua pada anak cucu mereka. Seperti yang dilakukan Wulan (25 tahun) asal Bekasi yang membawa anaknya untuk menonton Persib Bandung.

Wulan awalnya berada di Tribun Selatan ketika menonton laga Persib dan Persis Solo itu. Tiba-tiba, suporter dari tim lawan datang dan hal ini membuat Wulan yang datang bersama suami, tak nyaman. Bobotoh lain juga merasakan hal serupa. Alih-alih menonton kesebelasan berlaga, fokus bobotoh terganggu dengan peristiwa kecil namun mendasar ini.

Mestinya sejak awal dilakukan pemisahan bobotoh dan suporter lawan. Maka, demi keamanan Wulan yang datang bersama suami memutuskan melipir mengamankan diri bersama ke tribun lain. “Kita di sini tujuannya emang nonton doang,” kata Wulan.

Ia berharap keamanan stadion bisa lebih diperketat dan kenyamanan stadion ditingkatkan lagi bagi semua kalangan termasuk bagi orang tua yang membawa anak-anak. Di samping itu, Wulan juga mengomentari sulitnya mencari musala, selain mengeluhkan toilet. “Aduh kalau fasilitas WC dan musala masih nol,” imbuh Wulan.

Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Haru Biru Perjalanan Stadion GBLA

Perjalanan Stadion GBLA cukup mengharu-biru. Stadion berkapasitas 38.000 orang ini awal dirancang pada tahun 2009 di era Wali Kota Dada Rosada. Stadion rampung dibangun pada 9 Mei 2013 di atas lahan seluas 16,9 hektare, serta menghabiskan anggaran 545 miliar rupiah.

Peristiwa agak menggelikan terjadi ketika penamaan stadion yang dihimpun melalui polling pesan singkat (SMS) yang berisi tiga opsi nama, yakni Gelora Bandung Lautan Api, Gelora Gede Bage Kota Bandung, dan Gelora Dada Rosada.

Polling SMS yang diadakan semenjak 4-22 Maret 2013 mendapatkan respons luas dari masyarakat. Tercaat, ada sekitar 14.777 SMS yang masuk. Namun nama Gelora Dada Rosada bukanlah pemenangnya. Warga lebih sreg memilih nama Gelora Bandung Lautan Api (83,3 persen) (Idntimes.com).

Stadion GBLA didesain berstandar internasional, rumput yang digunakan jenis Zoysia Matrella Merr, rumput standar FIFA. Sedianya stadion ini dijadwalkan dibuka akhir tahun 2012, namun molor sampai 9 Mei 2013.

Klaim GBLA sebagai stadion berstandar internasional kemudian dipakai saat Persib Bandung melawan Malaysia All-Stars pada 2 Oktober 2014. Sebelumnya, Pangeran Biru (julukan Persib) lebih sering melakoni laga kandang di Stadion Si Jalak Harupat milik Pemerintah Kabupaten Bandung.

Nahas. Tahun 2015, Stadion GBLA yang megah dinilai tak layak pakai. Temuan retakan pada konstruksi stadion berujung pada penyidikan kasus korupsi oleh polisi. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantas menguatkan adanya ketidakberesan pembangunan stadion. Negara dirugikan hingga 103 miliar rupiah dalam proyek raksasa ini.

Dalam catatan polisi, kontrak beton Stadion GBLA mestinya setebal 20 centimeter namun kenyataanya dibangun dengan tebal 13 centimeter. Selain itu, besi-besi seharusnya setebal 13 milimeter, dibangun 8 milimeter.

Masih di tahun yang sama, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menetapkan Sekretaris Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Yayat Ahmad Sudrajat sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan GBLA. Bersama Yayat sejumah tersangka juga terlibat, di antaranya pejabat PT Penta Rekayasa (Konsultan perencana), PT Indah Karya (Konsultan manajemen konstruksi), dan PT Adhi Karya (kontraktor pelaksana pekerjaan).

Alih-alih menyandang nama stadion besar pertama di Bandung, Dada Rosada justru dihubung-hubungkan dengan kasus pembangunan stadion yang sempat lama mangkrak. Di luar kasus ini, Dada Rosada kemudian tersandung korupsi bantuan sosial (bansos) yang diusut KPK pada 2013.

Selain proses pembangunannya yang kontroversial, Stadion BGLA juga menjadi saksi bisu atas sejumlah tragedi meninggalnya suporter sepak bola tanah air. Ketika di tingkat elite kepengurusan sepak bola selalu bermasalah, di akar rumput pun demikian. Fanatisme buta antarklub sepak bola menelan banyak korban.

Pada 17 Juni 2022, laga antara Persib melawan Persebaya Surabaya di Stadion GBLA menelan dua korban jiwa, Sopiana Yusuf dan Ahmad Solihin. Keduanya meninggal dunia akibat berdesakan ketika akan memasuki area tribun. Jumlah penonton yang melebihi kapasitas menjadi salah satu penyebabnya.

Sebelumnya, korban tewas juga terjadi di sela-sela pertandingan Persib dan Persija berturut-turut pada tahun 2017 dan 2018. Ricko Andrean, salah seorang suporter Persib yang saat itu berusaha melerai perkelahian, justru harus kehilangan nyawanya pada 27 Juli 2017. Tahun berikutnya, 23 September 2018, Haringga Sirla, The Jak yang hadir untuk mendukung tim kesayangannya harus menggenapkan namanya sebagai korban fanatisme fans bola.

Penulis buku Persib dan Ilusi Sulanjana Rizky Sanjaya menyebutkan, semua pihak harus bertanggung jawab atas hilangnya nyawa suporter sepak bola di GBLA. Panitia pelaksana dalam hal ini PT Persib Bandung Bermartabat perlu haru sbertanggung jawab dalam membenahi sistem. “Tradisi berkarat ini harus dulu berakhir. Jangan biarkan bobotoh yang rela menitipkan pose ber-KTP secara cuma-cuma kembali menjadi korban sistem yang tak kunjung diperbaiki,” jelas Rizky.

Aparat kepolisian juga memiliki peran penting dalam mengontrol dan mengamankan demi kertertiban bersama. Petugas tidak boleh membiarkan penonton tak bertiket masuk ke tribun. Praktik ini sudah menjadi rahasia umum dan “Hharus segera mungkin ditumpas.” Rizky juga menyebut praktik suap-menyuap yang kerap kali muncul di pintu tribun harus segera diselesaikan.

Urusan nyawa tak bisa dianggap remeh. Begitu juga faktor lainnya, seperti keamanan dan kenyamanan parkir. Sayangnya, parkir di GBLA pun bermasalah. “Selalu ada kehilangan baik onderdil, dan kendaraan itu sendiri,” sebut Rizky saat diwawancarai melalui pesan singkat oleh BandungBergerak, Minggu 4 Februari 2024.

Sayangnya, lanjut Rizky, kehilangan dan kerugian ini tidak pernah mendapatkan perhatian serius baik oleh kepolisan setempat dan panpel yang seharusnya mengorganisasi area parkir. Belum lagi banyak rumput ilalang tak terurus dan pengamantan satdion terbatas dengan banyaknya pagar pembatas.

Sekretaris Umum Viking Persib Club Arlan Sidha juga menyoroti parkir di Stadion GBLA yang bermasalah. Arlan menyarankan, sebaiknya parkir ditangani oleh institusi profesional yang jelas dan bertanggung jawab. “Jadi kalau ada apa-apa mereka yang bertanggung jawab. Kantung-kantung parkir harus dipastikan. Motor, posisi mobil, sehingga kemacetan tidak menumpuk,” kata Arlan, pada BandungBergerak, Rabu 7 Februari 2024.

Penataan parkir amat penting untuk mengantisipasi kemacetan. Apalagi Stadion GBLA berdekatan dengan Masjid Al Jabbar dan Summarecon Mall yang menjadi pusat keramaian. Arlan berharap akses-akses menuju Stadion GBLA segera diselesakan.

Persib adalah klub kebanggaan Jawa Barat, provinsi berpenduduk sekitar 50 juta jiwa. Sudah selayaknya markas Persib Stadion GBLA menjadi kebanggaan para pendukung Persib pula. Kenyataannya, stadion ini memang memiliki banyak sekali pekerjaan rumah.

“Pada posisi umumnya lagi, GBLA memang menurut saya, masih pada posisi sudah baik tapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah terkait dengan fasilitas yang ada di Stadion,” tutur Arlan.

Baca Juga: GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #1: Balada Banjir di Calon Pusat Kota
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #2: Berebut Jalan Menuju Masjid Al Jabbar
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #3: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar

Bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Bobotoh di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Gedebage, Bandung, 5 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Akses Jalan Menuju Stadion GBLA Rumit

Masalah menyangkut Stadion GBLA tak habis-habisnya. Hadirnya infrastruktur-infrastruktur raksasa di Gedebage tak ditunjang dengan kemampuan jalan raya. Kemacetan pun tak bisa dihindari setiap Persib main. Kemacetan semakin parah ketika infrastruktur lain terus dibangun di kawasan persawahan tersebut. Terbaru, di sana dibangun Masjid Al Jabar yang tak didukung sistem lalu lintas andal.

Keluhan-keluhan tentang kemacetan terus disuarakan bobotoh termasuk di media sosial, seperti yang dilakukan akun @GBLA_Lovers:

“Dengan diresmikannya Masjid Al-Jabbar, semoga pemerintah bisa secepatnya membuat akses jalan yang baru, karena beberapa hari ini jalan di wilayah gedebage menjadi macet sejak diresmikan Masjid Al-Jabbar, belum lagi rencananya tanggal 11 Januari ada pertandingan Persib vs Persija di GBLA, apalagi kedepannya bakalan ada stasiun kereta cepat sama summarecon mall, jadi mohon diperhatikan untuk pembangunan akses jalan baru di Gedebage,” tulis akun tersebut diakses, Senin 5 Februari 2024.

Menurut Dadang (38 tahun), warga asal Cimincrang, Gedebage, banyak warga lokal yang memilih tinggal di rumah ketika Persib main. Alasannya, berpergian ketika Maung Bandung berlaga malah akan terjebak kemacetan di Stadion GBLA dan Masjid Al Jabar.

Meskipun begitu, Dadang yang juga pedagang bakso, justru ketiban rezeki di kala musim macet terutama saat Persib Bandung bertanding. Dagangan baksonya bisa laku sampai dua kali lipat. “Biasanya seratus jadi dua ratus (ribu rupiah). Alhamdulillah kalau Persib main,” ujar bapak yang memiliki empat anak ini.

Upaya mengurangi kemacetan di sekitar GBLA baru sebatas jangka pendek, seperti dengan mengeluarkan kebijakan penertiban Pedagang Kaki Lima. Misalnya, Minggu 4 Februari 2024, berlaku kebijakan meliburkan PKL yang berada di sekitar Gedebage untuk sementara waktu.

“Kebijakan ini sudah lama kita rutinkan. Para PKL sudah manut terhadap keputusan ini,” kata Camat Gedebage, Jaenudin, dalam siaran persnya, Senin, 5 Februari 2024.

Langkah lain, Exit TOL KM 149 di Gedebage akan dibuka. Jalan TOL ini merupakan akses paling strategis untuk masuk dan keluar Gedebage dari timur Bandung. Namun sudah lama pintu TOL ini belum juga beroperasi. Wacana pembukaan akses pintu tol sudah bergulir sejak lama. Namun sampai saat ini belum juga tuntas terwujudkan. Kewenangan memutuskan ada di pemerintah pusat.

Berbagai isu terus merundung Stadion GBLA. BandungBergerak mencoba mengonfirmasi Dispora Kota Bandung dengan menghubungi Kadis Dispora Eddy Marwoto, akan tetapi tidak ada balasan dan jawaban pada Rabu, 20 Februari 2024. Sebelumnya, Rabu 13 Februari 2024 BandungBergerak datang langsung ke Kantor Dispora Bandung di Jalan Tamansari dan diterima oleh Bidang Sarana dan Prasarana Olahraga Dispora Bandung bernama Hendy, namun ia enggan menerima wawancara. BandungBergerak juga mencoba menghubungi dan mengontak Humas Persib Bandung, juga tak mendapat jawaban.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artiikel lain tentang Liputan Khusus Gedebage Bukan Teknopolis

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//