• Berita
  • Korban Longsor Kampung Gintung Menanti Relokasi

Korban Longsor Kampung Gintung Menanti Relokasi

Longsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat menyebabkan ratusan warga mengungsi. Warga berharap segera direlokasi.

Anak-anak di sekolah darurat pascalongsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Rabu 27 Maret 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/Bandung bergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 April 2024


BandungBergerak.id - Tak ada yang tersisa dari puing-puing reruntuhan yang hancur karena dihantam longsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat Senin malam, 25 Maret 2024. Rumah milik Susi (34 tahun) luluh lantak. Beruntung jiwa mereka selamat. Saat kejadian ia bersama keluarga sedang berada di rumah mertua, di Kampung Ciponjok yang lokasinya berhadapan dengan kampung tempat rumahnya berada.

Dalam peristiwa longsor yang disertai banjir bandang itu dilaporkan 10 orang tertimbun, tujuh orang di antaranya ditemukan dalam keadaan meninggal dunia, dan tiga orang lagi masih dalam proses pencarian oleh Tim SAR Gabungan. Tercatat 47 rumah rusak berat, 46 rumah rusak ringan.

“Waktu itu sedang di rumah orang tua, qadarullah abi sakeluarga kedah selamat,” cerita Susi, kepada BandungBergerak, di pengungsian SDN Padakati dan SDN Cibenda 1, Rabu, 27 Maret 2024.

Susi mendapat kabar kampungnya disapu longsor dari tetangga. Pukul 12 malam itu, gawainya bordering, tetangga khawatir Susi dan keluarga berada dalam rumah. “Saur abi teh aya naon, neleponan ka abi teh. Saya jawab belum pulang masih di rumah bapak mertua,” ujar Susi.

Tetangga kemudian menjelaskan bahwa kampung, termasuk rumah Susi, telah rata tertimbung tanah. “Naha aya naon, longsor di gunung,” jelas Susi.

Selama delapan belas tahun Susi hidup di Kampung Gintung. Baru kali ini ia mengalami bencana tanah longsor yang paling parah. Sepuluh tahun lalu longsor pernah menimpa kampung halamannya. “Pernah tahun 2014, longsor titiknya sama tapi tidak terlalu besar dan menimpa persawahan. Sekarang yang paling parah,” ungkap Susi.

Sembari memeluk sang anaknya, Susi menceritakan kalau saja malam itu ia berada di dalam rumah pasti sedang terlelap, dan subuhnya akan bersiap menyediakan makan sahur.

“Kejadian kan jam 11 malam. Saya terlelap tidur, beres terawih biasanya tidur dan bangun-bangun sahur nanti. Alhamdulillah diselametkeun nyawa saya sekeluarga,” ungkap Susi.

Setelah kejadian longsor, Susi sempat berniat ingin melihat bekas rumahnya. Namun berita longsor susulan mengurungkan niatnya. Ibu yang aktif di PKK ini harus dievakuasi bersama 600 warga yang terdampak dan terancam longsor di SDN Padakati, SDN Cibenda, serta Gor Desa Cibenda. “Sekarang tinggal relokasi rumah,” kata Susi.

Susi dan keluarga untuk sementara mengungsi di ruang kelas sekolah dasar bersama 17 keluarga. Mereka menunggu relokasi dari pemerintah setempat. Susi berharap relokasi rumah disegarakan. “Tinggal itu relokasi rumah, bade uih ka mana atuh kalau tidak ada rumah,” harap ibu dua anak ini.

Di dapur umum para relawan dan petugas menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, beberapa relawan dan petugas sedang sibuk menerima bantuan logistik.

Salah seorang putra Susi, Bujang, sedang menuntut ilmu agama di Sukabumi. Ia menelepon ibunya dan mengaku tak ada uang sepeser pun. Bujang tak mengetahui tragedi yang menimpa rumah dan kampung halamannya. Ia meminta dibelikan jam tangan dan kopiah baru.

“Anak paling besar pesantren, ia tidak tahu kabar yang sekarang terjadi. Takut juga menganggu apalagi Ramadan di pesantren kan lagi sibuk-sibuknya. Nah, waktu evakuasi dia minta uang buat beli jam dan kebutuhan Ramadan di pesantren. Ssaya cuman pegang uang sepuluh ribu, mau bilang gak sanggup tapi gimana, waktu nelpon dia bilang minta 200 ribu (rupiah), saya sanggupi,” cerita Susi.

Ada kebaikan di balik kesulitan. Ketika proses evakuasi berlangsung, Susi mendapatkan bantuan uang untuk keperluan anaknya yang di pesantren. “Alhamdulillah, ada yang ngasih entah dari wartawan atau relawan soalnya saat itu lagi pada baringung juga, dan dikasihkan ke anak,” lanjut Susi.

Beberapa hari setelah evakuasi, Bujang menelepon Susi. Susi tak lagi bisa menuntupi kejadian yang sebenarnya. Terlebih Bujang sudah membaca berita tentang Kampung Gintung. “Saya jawab rumah sudah engga ada, kena longsor,”tutur Susi.

Sekolah Darurat di Masa Tanggap Darurat

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat telah menetapkan status tanggap darurat atas kejadian longsor di Kampung Gintung. Selama 14 hari ke depan, pemda berkewajiban menanggung kebutuhan hidup dan menjamin kebutuhan masyarakat mulai makan, minum, kebutuhan bayi, balita, dan lain-lain.

Di masa tanggap darurat ini, sekolah darurat diadakan agar anak-anak bisa melanjutkan sekolah. Penanggung Jawab Sekolah Darurat Tanaga Kabupaten Bandung Barat Epa Nopaina mengatakan, sekolah ini dikelola oleh mentor dan guru dari SDN Padakati dan SDN Cibenda.

“Teman-teman sosial menyelenggarakan sekolah darurat yang memang para mentornnya dengan guru-guru SDN Padakati di sini untuk siswa SD dan SMP sama SMA dengan mahasiswa dari Kampus Mengajar. Untuk pelaksanaan teknisnya kita laksanakan tiap hari, untuk PAUD dari jam 9 satu jam saja,” ujar Epa.

Epa menjelaskan, tema pembelajaran disesuaikan dengan masa tanggap darurat yang diselingi dengan konseling. “Kita gabung sama ice breaking, lebih keagamaan, kalau siswa SMP dan SMA kita ambil jam 2 siang,” kata Epa.

Mahasiswa juga turun membantu mengajar anak-anak korban longsor, di antaranya Erwin Maulana, mahasiswa asal Uninus, Bandung. Ia bersama kawan-kawannya fokus mengajar siswa SMP dan SMA. “Kami sudah merancangkan bagaimana materinya, dan nanti akan difokuskan dulu pada penghilangan trauma,” beber Erwin.

Erwin dan kawan-kawan merupakan mahasiswa dari kampus mengajar yang sudah satu bulan berada di Desa Cibenda, Kejadian longsor membuat mereka kembali mengajar. “Satu bulan mengajar di SDN Padakati, terus ada longsor buat kami mengajar lagi,” jelas Erwin.

Pagi hingga siang hari tempat sekolah darurat jadi tempat pengajaran anak-anak sekolah. Di waktu sore hari tempat ini dipakai menjadi tempat psikososial lansia agar bisa menyembuhkan traumanya.

Sementar itu, pencarian warga hilang masih dilakukan. Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menyebutkan proses pencarian korban hilang oleh Tim SAR Gabungan masih terus dilakukan. Tim pencarian terdiri dari BPBD Kabupaten Bandung Barat beserta Tim SAR Gabungan yang berjumlah 589 personel.

“Mereka pantang menyerah dalam melakukan proses pencarian korban meski terkendala oleh cuaca yang tidak bersahabat,” kata Abdul Muhari, dalam keterangan resmi, Jumat, 29 Maret 2024.

Baca Juga: Longsor di Kabupaten Bandung Barat Menyebabkan Ratusan Warga Mengungsi, Makanan dan Perlengkapan Tidur Menjadi Kebutuhan Mendesak
Kesaksian Warga Korban Longsor Kabupaten Bandung Barat, Tanah Lumpur Menyapu Kampung Mereka
Bencana Banjir dan Longsor Melanda Cekungan Bandung, Langkah BP Cekban Baru Sebatas Pelantikan

Susi di lokasi relokasi SDN Padakati dan SDN Cibenda 1, pascalongsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Rabu 27 Maret 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/Bandung bergerak.id)
Susi di lokasi pengungsian SDN Padakati dan SDN Cibenda 1, pascalongsor di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Rabu 27 Maret 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/Bandung bergerak.id)

Penyebab Longsor Kampung Gintung

Pakar longsoran (landslide) Institut Teknologi Bandung Iman Achmad Sadisun menjelaskan gejala longsor di di Kampung Gintung, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor terbagi dua faktor yakni prakondisi dan pemicu.

Faktor kondisi berkaitan dengan berbagai kejadian yang bersifat relatif berlansung lambat atau jangka panjang, seperti pelapukan, erosi, perubahan topografi/kemiringan lereng, perubahan tata guna lahan, dan kondisi geologisnya, seperti terdapatnya batuan di wilayah tersebut yang secara alamiah memungkinkan mudah menjadi bidang gelincir.

Faktor prakondisi juga dilihatkan dengan adanya gejala tidak stabil, hujan yang tidak terlalu besar namun dapat memengaruhi kekuataan geser material pembentuk lereng hingga longsor terjadi.

“Kalau hujan ringan hingga sedang umumnya tidak menyebabkan longsor. Namun kalau hujan di atas lebat atau hujan yang memang ekstrem, 150 mm/hari menurut ukuran BMKG, dapat menjadi faktor pemicu longsoran. Intinya, hujan bisa menurunkan kekuatan geser material pembentuk lerengnya,” kata Imam, diikutip dari laman resmi.

Longsor yang terjadi di Kampung Gintung disebut aliran bahan rombakan, berbeda dengan longsor yang sebelumnya terjadi di Kampung Cigombong, Kecamatan Rongga beberapa waktu lalu yang sudah terlihat dengan perkembangan retakan melengkung di lapangan depan sekolah dasar.

“Di Kampung Gintung, gejala longsoran tidak mudah terlihat karena terjadi di bagian atas lereng perbukitan yang bukan merupakan area aktivitas warga. Longsoran yang terjadi di Kampung Gintung merupakan longsoran aliran bahan rombakan (debris flow), yang material longsorannya berupa tanah, fragmen batuan, dan bahkan pepohonan yang terbawa oleh air dan menimpa rumah-rumah warga,” jelasnya.

Merespons bencana longsor, mitigasi bencana perlu dilakukan dengan peran berbagai pihak terutama peningkatan kapasitas masyarakat yang berada di daerah rawan lonsor. “Semua lini harus saling bahu-membahu untuk meningkatkan kewaspadaan akan potensi terjadinya longsoran, minimal mengetahui gejala-gejala awalnya, sehingga akan lebih waspada,” katanya.

Metode mitigasi bisa dilakukan melalui struktural atau nonstruktrual. Konsep dari mitigasi structural dengan melakukan pengurangan gaya-gaya yang menyebabkan terbentuknya longsoran serta peningkatan gaya-gaya yang dapat memberikan perlawanan untuk terjadinya longsoran.

Metode struktural umumnya merupakan metode baku yang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri. “Cara kedua ini membuat material pembentuk lereng semakin kuat,”sebutnya

Longsoran aliran bahan rombakan seperti yang terjadi di Kampung Gintung bisa dilakukan dengan metode perlindungan terhadap bahaya aliran bahan rombakan. “Seperti dengan membangun dinding pengelak (deflection wall), pagar pemecah aliran (debris fences), dan cekungan penampung aliran (debris flow catch basins),” ucapnya

Mitigasi nonstruktural dapat dilakukan dengan sosialisasi peta lokasi rawan bencana seperti memasang rambu-rambu peringatan kebencanaan, dan melibatkan masyarakat secara aktif serta mengambil karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.

Potensi bencana longsor bisa terjadi di lokasi yang terdapat lereng. Potensi tersebut bisa dibagi menjadi beberapa tingkatan mulai dari yang tertinggi, tinggi, menengah, rendah, atau bahkan rendah sekali, Hal itu dipengaruhi berbagai faktor. “Yang terpenting, kita mesti waspada terhadap gejala-gejala yang ada,” bebernya.

Tidak hanya mitigasi, pemantauan longsoran harus diupayakan untuk memastikan kinerja lereng sekaligus digunakan untuk peringatan dini akan terjadinya bahaya longsoran.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Bencana Longsor 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//