• Berita
  • Melihat Akar Urbanisasi di Kota Bandung Setelah Arus Balik Lebaran

Melihat Akar Urbanisasi di Kota Bandung Setelah Arus Balik Lebaran

Pemerintah selalu mengimbau warga pendatang agar memiliki tujuan yang jelas jika datang ke kota. Pemerintah lupa dengan akar urbanisasi.

Arus balik lebaran di lingkar Nagreg, Kabupaten Bandung, 13 April 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana16 April 2024


BandungBergerak.idJumlah penduduk provinsi Jawa Barat bertambah setiap tahunnya. Penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Fenomena ini tidak lepas dari ritual tahunan mudik lebaran dan urbanisasi.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2018 jumlah penduduk Jawa Barat masih di angka 48.683.861 jiwa. Tahun 2019 meningkat menjadi 49.316.712 jiwa, dan tahun 2020 melonjak hampir 50 juta jiwa (49.935.858 jiwa).

Meski menunjukkan jumlah total berbeda, dalam data Sensus BPS 2022 jumlah penduduk Jawa Barat yang tinggal di wilayah perkotaan jauh lebih banyak dibandingkan penduduk di perdesaan. Sebesar 38.266.077 jiwa warga Jawa Barat tinggal di perkotaan, sedangkan warga yang tinggal di perdesaan sebanyak 11.139.731  jiwa. Open Data Jabar 2020 menyebutkan, total ada 5.312 desa di Jawa Barat.

Kepadatan jumlah penduduk Jawa Barat dapat dilihat sepanjang arus mudik dan balik lebaran yang puncaknya diperkirakan Senin kemarin, 15 April 2024. Berdasarkan laporan Dinas Perhubungan Jabar, arus balik mulai terjadi sejak Sabtu - Senin (13-15 April 2024).

"Memang terjadi kepadatan karena volume kendaraan yang meningkat pada jam-jam tertentu sejak hari Sabtu. Kepadatan terjadi akibat bertemunya pemudik yang kembali, ditambah dengan kendaraan yang berwisata dan bersilaturahmi jarak dekat. Rata-rata ada 30.000 sampai 45.000 kendaraan yang melintas setiap hari di masa arus balik," kata Sekda Jabar Herman Suryatman, dikutip dari siaran pers.

Sebagaimana lebaran-lebaran sebelumnya, Pemkot Bandung mengimbau warga pendatang yang mengadu peruntungan di Kota Bandung untuk mempertimbangkan tujuan yang jelas ketika memutuskan datang ke ibu kota Jawa Barat. Sudah menjadi tradisi, mudik lebaran diikuti perpindahan penduduk dari desa ke kota.

“Kami mengimbau kepada warga yang akan kembali ke Kota Bandung untuk memiliki tujuan yang jelas. Apakah itu untuk melanjutkan sekolah, kuliah atau mau bekerja," ujar Penjabat Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono di Terminal Ledeng, Bandung, Sabtu, 13 April 2024.

Baca Juga: Doger Monyet di Jalur Mudik
Surat buat Rengginang di Kaleng Khong Guan
Lubang-lubang Celaka Cicalengka Majalaya

Akar Urbanisasi Dilupakan

Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya sudah paham bahwa urbanisasi, meningkatnya pendatang ke kota, tidak dapat dipisahkan dari fenomena mudik. Tanpa mudik, tidak akan ada fenomena urbanisasi, begitu juga sebaliknya. Namun persoalan utama bukan di situ, melainkan dari akar urbanisasi sendiri.

Percuma urbanisasi ditangkal dengan imbauan, operasi yustisi di terminal-terminal, dan pendataan kependudukan lainnya tanpa menyentuh akar persoalan sesungguhnya, yaitu menyempitnya peruntungan hidup. Faktanya, desa-desa dianggap bukan untuk mencari peruntungan hidup. Peruntungan hidup ada di kota.

Agus Maladi Irianto dari Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dalam artikel ilmiah “Mudik dan Keretakan Budaya” menjelaskan, kota selalu diidentikkan dengan peradaban dan kebudayaan. Kata “kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah “al hadharah” yang berarti “tinggal di perkotaan”. Sebaliknya seperti dalam kata Sunda pesisir dan Betawi kata “udik” (yang seakar dengan kata mudik) merujuk kepada "desa" dan "kampungan, kurang beradab".

Agus menjelaskan, perbedaan nilai yang menonjol antara desa dan kota terletak pada intensitas respons daya-daya manusiawi atas daya-daya alami. Kota lebih culture, sebab di sini daya-daya manusia selalu tampak kuat untuk mengatasi determinasi alam. Sedangkan desa lebih nature, di sini manusia lebih ditaklukkan oleh daya-daya alam, atas nama keseimbangan dengan alam.

“Para sosiolog memperlihatkannya dengan menunjuk fakta bahwa kota merupakan tempat-tempat pusat industri, kantong mobilitas ekonomi, dan pusat kekuasaan yang membuat keputusankeputusan khalayak,” terang Agus, dikutip dari kajian ilmiahnya yang diakses Selasa, 16 April 2024.

Fenomena ketimpangan desa dan kota sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, lanjut Agus, sejak tahun 1970- an sejumlah ahli telah mengangkat topik tersebut menjadi perhatian utama di sejumlah negara berkembang. Menurutnya, masalah tenaga kerja dan urbanisasi di perkotaan berkaitan erat dengan munculnya kemiskinan di pedesaan.

Kemiskinan di pedesaan dibuktikan dengan menurunnya jumlah penduduk yang tetap bekerja sebagai petani dan buruh tani. Bertolak dari data satuan rumah tangga, antara tahun 1975 dan 1993 terdapat gambaran bahwa jumlah petani turun dari 48 persen ke 30 persen, buruh tani turun dari 12 persen ke 10 persen. Sebaliknya, bukan-petani di desa naik dari 18 persen ke 22 persen. Di lingkungan kota, golongan bukan-petani juga meningkat dari 15 persen menjadi 24 persen.

Para petani yang kemudian meninggalkan dunia pertanian untuk bekerja di kota-kota sering kali keberadaannya dilihat sebagai pengangguran terselubung. Merekalah yang mengisi pekerjaan sektor informal di antaranya pedagang kaki lima.

Agus juga menguraikan, munculnya pekerjaan-pekerjaan informal di kota karena lowongan kerja formal di kota tak mampu menampung para pencari kerja. Hal ini pula yang terjadi di Kota Bandung yang belum bisa memfasilitasi semua warganya khususnya di bidang kesempatan kerja.  

Soal ketimpangan desa dan kota di Jawa Barat juga bisa dilihat dari akses warga terhadap internet. Open Data Jabar 2020 menyebutkan, dari 5.312 desa di Jawa Barat, ada 1.062 desa yang belum memiliki akses internet. 

Di Bandung Raya sedikitnya ada 40 desa yang belum memiliki akses internet. Kabupaten Garut merupakan wilayah dengan jumlah desa terbanyak yang belum memiliki akses internet (142 desa), disusul Kabupaten Tasikmalaya (99 desa), dan Kabupaten Cianjur (93 desa). 

*Kawan-kawan dapat mengakses artikel-artikel lainnya tentang Mudik Lebaran dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//