Melihat Dampak yang Ditinggalkan Whoosh
Pembangunan kereta cepat sejak awal diprediksi akan berdampak negatif pada lingkungan. Beroperasinya Whoosh juga meningkatkan ketimpangan sektor transportasi.
Penulis Noviana Rahmadani21 Juni 2024
BandungBergerak.id - Kereta cepat Whoosh mulai sibuk hilir mudik Jakarta Bandung. Di belakang, tertinggal sejumlah dampak pada lingkungan maupun warga. Berdasarkan temuan di lapangan, masyarakat yang tinggal di sekitar jalur proyek strategis nasional (PSN) ini tidak luput dari dampak negatif.
Kristian Widya Wicaksono, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung berpandangan, proses Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Kereta Cepat Jakarta Bandung terkesan dipaksakan dan kurang menyeluruh. Akibatnya, proyek ini menimbulkan kerusakan lingkungan yang signifikan.
“Salah satu catatan yang memprihatinkan dari AMDAL itu ditemukan bahwa jalur yang akan dilalui itu dapat merusak cadangan air karena banyak aspek pembangunan kita kurang memperhatikan kesinambungan atau kelestarian lingkungan dalam jangka panjang,” ujar Kristian, dalam live Instagram Independen.id, Rabu, 19 Juni 2024.
Dosen administrasi publik tersebut menyatakan, terkait kerugian yang ditimbulkan oleh kereta cepat Whoosh, diperlukan upaya strategis untuk merangkul masyarakat yang haknya terampas dan dirugikan.
“Sekarang tinggal gimana memitigasi risiko yang dialami oleh orang-orang yang tidak diuntungkan karena bagaimanapun mereka juga warga negara yang punya hak untuk mendapatkan perlindungan, kehidupan yang layak, dan seterusnya,” lanjutnya.
Salah satu dampak dari pembangunan kereta cepat ditemukan di wilayah di Bandung Barat, Tagogapu. Di sana warga kesulitan mendapatkan akses air bersih secara layak.
“Sampai hari ini itu masih susah banget untuk mendapatkan air di sana. Misal kita nyalain air 24 jam, tapi air itu cuma nyala di waktu-waktu tertentu,” ungkap narasumber lainnya di live Instagram Independen.id, Virliya Putricantika, reporter BandungBergerak.
Kereta cepat Whoosh digadang-gadang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam realitasnya didapati sejumlah mudharat karena pembangunan kereta cepat ini dinilai tidak mempertimbangkan aspek kebutuhan. Pemerintah pun nampak tidak serius merancang mitigasi yang komperhensif untuk menekan dampak-dampak yang muncul secara berkelanjutan.
Rencana perluasan pembangunan fasilitas penunjang stasiun Tegalluar di Kampung Babakan Sayang dipertanyakan karena prasarana jalan di area tersebut belum cukup layak. Kondisi jalan yang buruk dikhawatirkan akan menyulitkan akses masyarakat umum. Sehingga, perlu adanya perbaikan infrastruktur jalan di Kampung Babakan Sayang sebelum dilakukan perluasan pembangunan fasilitas penunjang stasiun Tegalluar.
“Itu jalan itu benar-benar rusak dan itu yang membuat di sekitar stasiun Tegalluar pun belum dibenahi secara betul,” kata Virliya
Transportasi publik di Bandung Timur belum terintegrasi secara menyeluruh, sehingga masyarakat di wilayah tersebut kesulitan untuk mengakses berbagai moda transportasi publik dengan mudah. Akses ojek online di wilayah ini juga masih terkendala, dengan faktor yang menyebabkannya, seperti kurangnya jangkauan layanan ojek online. Hal ini disebabkan oleh penolakan dari ojek konvensional yang merasa terancam dengan keberadaan ojek online.
“Salah satu permasalahan kompleks lainnya di Bandung Timur itu adalah banyak driver konvensional yang tidak menerima adanya driver online,” kata Virliya.
“Banyak juga sebenarnya masyarakat yang mengharapkan kenapa stasiun utama kereta cepat ini, enggak di pusat kota Bandung,” lanjutnya.
Baca Juga: Kasus Korupsi PLTU 2 Cirebon, Iklim Panas dan Uang Panas
Bandara Kertajati Ramai di Musim Haji, Sisanya Sepi
Para Petani Paling Merasakan Dampak Pembangunan Pelabuhan Patimban

Bukan Prioritas
Heranisty Nasution, dari Institute Studi Transportasi (Instran) memandang bahwa Kereta Cepat Jakarta Bandung Whoosh sebagai proyek strategi nasional bukanlah prioritas. Pembangunan Whoosh justru memperparah ketimpangan sektor transportasi di wilayah luar Pulau Jawa.
“Kita awalnya tidak setuju dengan pembangunan kereta cepat ini, karena kita menganggapnya ini terlalu Jawa sentris. Selama ini kita tahu pembangunan angkutan umum, publik transport itu, sampai sekarang pun masih terlihat lebih banyak fokus di Pulau Jawa,” ungkap Heranisty Nasution.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan perkembangan jumlah kendaraan pada tahun 2022 berdasarkan jenisnya dengan rincian; sepeda motor 125.305.332 unit, mobil penumpang 17.168.862 unit, mobil barang 5.544.173 unit, bus 243.450 unit. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah transportasi umum di Indonesia masih belum merata, sehingga masyarakat cenderung memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk sarana transportasinya.
INSTRAN sebagai Non-Governmental Organization (NGO), melalui buku Regenerasi Urban, dengan menghimpun 13 tulisan mahasiswa yang dilombakan sebelum launching Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Setidaknya menyoroti sedikit banyak catatan krisis yang harus direnungkan guna memaksimalkan nilai manfaat dari keberadaan Whoosh ini.
Pertama, upaya membangun bangkitan penumpang dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk mencoba beralih dari kereta konvensional ke Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Kedua, interkonektivitas dinilai jauh dari kata mumpuni. Letak stasiun Whoosh hanya tersedia tiga saja yaitu Stasiun Halim, Padalarang, dan Stasiun Tegalluar. Sarana-prasarana dari stasiun menuju Kota Bandung sangat terbatas untuk menampung seluruh penumpang.
Ketiga, pengembangan wilayah. Keterbatasan akses informasi sehingga mahasiswa masih belum mampu mengetahui secara pasti terkait apakah Whoosh memberikan kemudahan dalam transportasi.
*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Proyek Strategis Nasional