RESENSI BUKU: Membaca Catatan Hasil Semedi di Toilet
Mari membaca catatan-catatan tak suci penuh refleksi karya Sanghyang Mughni. Lahir dari kesunyian kamar mandi, dihimpun dalam buku Toilet dan Wahyu.
Penulis Salma Nur Fauziyah23 Juni 2024
BandungBergerak.id - Bagaimanakah kalian mendapatkan ihwal untuk menulis? Setiap orang pasti punya cara, kondisi, ataupun tempat tersendiri saat menulis sesuatu. Tapi, pernahkah kalian menulis di toilet?
"Toilet seperti Gua Hiro bagiku, tempat turunnya wahyu," tulis Sanghyang Mughni Pancaniti, mengutip perkataan teman ketika ditanya "kenapa kalau di kamar mandi selalu lama?".
Mughni, seorang penulis yang menyamar menjadi tukang buku, kerap kesal saat temannya di pesantren selalu lama saat buang air besar. Menganggap jawaban temannya itu hanyalah sebuah candaan agar tidak dimarahi.
Tapi, beberapa tahun setelahnya, perkataan itu benar adanya. Kesunyian toilet memacu otak lebih liar dalam berpikir sesuatu. Wahyu atau ide untuk menulis pun turun tidak terelakkan.
"Saya pernah mencoba menulis di dalam sebuah kafe, tapi ide tak kunjung ditemu," tulis Mughni, dalam kata pengantar bukunya.
Toilet dan Wahyu: Catatan-catatan Tak Suci, berisi tulisan pendek Sanghyang Mughni Pancaniti yang hampir semuanya ditulis di dalam kamar mandi. Ada hampir 80 lebih tulisan pendek dengan mencangkup berbagai tema. Seperti tentang Tuhan, Nabi Muhammad SAW, para tokoh, tentang buku, perempuan, kebebasan, sampai cinta.
Bentuknya bermacam, ada sebuah tulisan yang menyerupai komentar terhadap suatu fenomena atau bahkan dalam bentuk sebuah puisi. Beberapa di antara catatan itu terkadang memantik diri sendiri untuk berefleksi terhadap suatu hal.
“Karena buku ini tak jelas mana ekor mana kepala, Anda bisa mulai membacanya dari mana saja. Bebas. Merdeka,” tulis Mughni.
Memang, buku ini tidak menyediakan sebuah alur khusus seperti buku-buku lain yang membuat kita mesti tunduk untuk runut membacanya. Tidak perlu merasa khawatir tidak paham jika kita membaca acak tulisannya. Toh, semua tulisan ini berdiri sendiri dan tidak berkaitan satu dengan lainnya.
Cocok untuk dibaca saat waktu senggang, ketika jadwal kesibukan menghimpit diri dan tidak ada waktu banyak untuk membaca buku cerita tebal. Barangkali, sekadar jaga-jaga, buku ini banyak mengandung tema dan judulnya yang nyentrik dan nyeleneh. Bagi kalian yang sering terbawa perasaan dan berpikiran sempit, lebih baik membacanya dengan pikiran dan hati lapang.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Perempuan di Titik Nol, Menyuarakan Keadilan dalam Jeruji Patriarki
Membangun Kekuatan Narasi Geowisata Jawa Barat Melalui Buku
RESENSI BUKU: Menyelaraskan Hubungan Batin Manusia
Sesat itu (Ada) Baik(-nya)
Tulisan-tulisan Mughni yang berbicara soal agama dan fenomena sosial sangat mendominasi. Hal yang menarik adalah bagaimana judulnya terdengar sangat nyeleneh. Misalnya, ada beberapa judul tulisan yang terdengar kasar dan jorok seperti “Anjiiiiiiing…” (Iman Yang Tak Melebihi Tenggorokan) atau Taiku, Taimu, Tai Kita Semua. Lalu, adapula yang judulnya berbau kontradiktif seperti Ikhlas Adalah Terpaksa dan Goblok Itu Baik. Seterusnya, seterusnya.
Namun elemen eksentrik itu yang membuat saya lebih bisa berefklesi lebih dalam. Sebutlah satu tulisannya yang berjudul Keraguan adalah Iman (hlm. 14-15). Tulisan ini sangat menarik karena salah satu kalimatnya dikutip di belakang sampul buku. Bagi saya tulisan ini punya arti yang cukup dalam. Tentang menjadi sesat. Pun saya mulai bertanya-tanya mengapa kata kesesatan itu sering dikonotasikan secara negatif.
Gambaran sederhananya seperti para ilmuwan yang hidup di zaman kegelapan. Mereka dijuluki orang sesat hanya karena menciptakan sebuah inovasi yang sebenarnya akan membantu pekerjaan manusia di masa depan.
“Dalam keberagamaan, kesesatan hanya disematkan pada mereka yang sudah mulai berjalan, sudah mencoba berpikir, serta berani berijtihad,” tulis Sanghyang Mughni Pancaniti.
Mudah bagi orang menuduh orang lain sesat hanya karena mereka mengutarakan isi pikirannya yang berbeda dengannya. Padahal normal bagi kita memiliki perbedaan sudut pandang dengan orang lain.
Bahkan lewat tulisan ini, sebenarnya kesesatan itu berguna dalam menjalani kehidupan yang absurd. Tanpa kesesatan, mungkin kita tidak bisa mendapatkan pelajaran kehidupan baru dan berefleksi penuh dengan hal itu. Mughni menggambarkannya sesederhana saat kita pergi ke suatu tempat menggunakan kendaraan dan coba menyesatkan diri di jalanan. Kita akan menemui sebuah jalanan atau bangunan yang baru kita lihat.
“Banyak hal baru yang kau dapat dalam ketersesatan itu. Tapi pada akhirnya, kau akan menemukan jalan yang kau jadikan tujuan.”
Tulisan ini ditutup dengan perkataan sang kawan, Harri Gieb yaitu “Dalam perjalanan menuju Tuhan, keraguan adalah iman.” Dan Mughni melihat tidak kaitan dengan tulisannya mengenai kesesatan.
Meski begitu, saya pikir sebaliknya. Pernyataan kontradiktif itu sebenarnya mempunyai benang merah tersendiri dengan kesesatan. Bukankah tanpa keraguan, kita tidak bisa menguji dan mempertanyakan keyakinan ini sudah sesuai dengan tujuan keimanan atau malah masih tersesat di dalamnya?
Informasi Buku
Judul Buku: Toilet dan Wahyu - Catatan-catatan Tak Suci.
Penulis: Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit: PAKU (Pasukan Anti Kuliah)
Cetakan: Kedua, September 2020
Jumlah Halaman: 178 halaman.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Resensi Buku