Salah Tangkap Pegi Setiawan Momentum Evaluasi Kinerja Polri
Tim Advokasi Koalisi untuk Reformasi Kepolisian menyatakan, putusan praperadilan Pegi Setiawan menunjukkan kelemahan profesionalitas kinerja polisi.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 Juli 2024
BandungBergerak.id - Hakim tunggal praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Bandung Eman Sulaeman memerintahkan polisi membebaskan Pegi Setiawan yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon. Penetapan tersangka terhadap Pegi Setiawan dinyatakan tidak sah, Senin, 8 Juli 2024.
Tim Advokasi Koalisi untuk Reformasi Kepolisian Aulia Rizal menyebut, putusan hakim PN Bandung menjadi momentum bagi kepolisian untuk melakukan evaluasi baik secara institusional dan kultural. Putusan praperadilan ini menunjukkan minimnya profesionalitas kepolisian dalam proses penegakan hukum khususnya dalam konteks penyelidikan dan penyidikan.
”Kasus ini menunjukan buruknya kontrol dan pengawasan terhadap kinerja institusi kepolisian, khususnya kualitas pengawas dan praktik pengawasan penyidikan di internal kepolisian. Sehingga menyebabkan kepolisian dengan sangat mudah untuk menjadikan seseorang ditangkap dan dijadikan sebagai tersangka," kata Aulia Rizal, dalam keterangan resmi yang diterima BandungBergerak, Kamis, 11 Juli 2024.
Rizal menyatakan, penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka merupakan tindakan ceroboh dan tidak profesional. Padahal kasus ini sedang dalam sorotan publik. Ia khawatir dengan kasus-kasus lain yang tidak terjangkau oleh pengawasan publik.
Kinerja polisi yang tidak profesional akan memicu kekhawatiran serta ancaman bagi masyarakat. Sebab, Rizal menyebut, masyarakat akan khawatir menjadi korban kesewenang-wenangan ataupun korban salah tangkap oleh aparat kepolisian.
Di tengah-tengah ketidakprofesionalan di tubuh institusi kepolisian, saat ini RUU Polri sedang dibahas oleh DPR RI dan pemerintah. Koalisi untuk Reformasi Kepolisian menegaskan, RUU Polri akan semakin menjadikan kepolisian tidak dapat dikendalikan.
Alih-alih mereformasi instrumen di tubuh kepolisian dengan melakukan revisi terhadap UU Polri, koalisi mendesak agar pemerintah dan DPR RI mempriotaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara atau prosedur hukum agar memberi jaminan perlindungan dan kemajuan bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Cederai Amanah Perlindungan dan Pengayoman kepada Masyarakat
DPR turun menyoroti kasus salah tangkap terhadap Pegi Setiawan. Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyatakan, kasus salah tangkap ini adalah contoh nyata bagaimana kesalahan dalam penegakan hukum dapat merusak kehidupan seseorang. “Kesalahan seperti ini tidak boleh terulang,” kata Gilang, dalam keterangan resmi.
Menurut Gilang, kasus yang dialami Pegi merupakan kesalahan cukup besar dalam penegakan hukum. Pasalnya akibat dari salah tangkap ini dapat merusak kehidupan seseorang di masa yang akan datang.
Anggota Komisi Bidang Hukum, HAM dan Keamanan itu pun menekankan agar polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dilakukan secara benar dan adil. Menurutnya, Polri telah mencederai amanah dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam kasus Pegi tersebut.
Gilang mengingatkan, penegakan hukum harus dilakukan dengan teliti dan berdasarkan bukti yang kuat. Kasus Pegi menunjukkan adanya salah standard operational procedur (SOP) yang dilakukan polisi sehingga perlu dilakukan evaluasi. "Kami mendorong agar pihak kepolisian melakukan evaluasi SOP mereka untuk mencegah terjadinya salah tangkap di masa mendatang," tukas Gilang.
Ia berharap, setiap penegakan hukum dilakukan dengan sangat hati-hati dan berdasarkan pada bukti yang jelas. “Demi mewujudkan hukum yang benar-benar adil dan transparan di Indonesia," tutup Gilang.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Jabar Jules Abraham menyatakan akan mematuhi putusan sidang praperadilan. “Kami dari Polda Jabar penyidik menjalankan putusan hakim pada sidang praperadilan sidang Pegi Setiawan," kata Abraham dari live streaming Humas Polda Jabar di Instagram, Senin, 8 Juli 2024.
Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #26: Dua Edisi yang Disita Polisi
Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan
Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
Catatan untuk Polisi
Koalisi untuk Reformasi Kepolisian menyatakan, selain salah tangkap, kasus lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya adalah tindakan kekerasan baik intimidasi sampai penyiksaan. Bahkan, Koalisi menemukan adanya korban salah tangkap sering kali tidak didampingi oleh kuasa hukum.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat dari tahun 2019-2024, terdapat 188 kasus salah tangkap oleh polisi dengan rincian: Juli 2019-Juni 2020 terdapat 39 kasus salah tangkap; Juli 2020-Juni 2021 terdapat 12 kasus; Juli 2021- Juli 2022 terdapat 22 kasus; Juli 2022- Juni 2023 terdapat 20 kasus; Juli 2023- Juni 2024 terdapat 25 kasus.
Lembaran Fakta Rekayasa Kasus Oleh Polri yang disusun KontraS menyatakan, anggota kepolisian sering kali tindak mengindahkan hak atas peradilan yang adil. "Padahal, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945," kata KontraS.
Kekerasan berupa intimidasi yang digunakan oleh polisi untuk memperoleh informasi dan pengakuan, menurut KontraS sebagai pelanggaran hak setiap orang untuk tidak disiksa yang diatur dalam Pasal 22 huruf I UUD 1945.
"Padahal, berbagai instrumen nasional dan internasional jelas melarang setiap anggota Polri untuk melakukan tindak kekerasan, penangkapan sewenang-wenang, serta menerapkan prinsip praduga tak bersalah untuk mencapai peradilan yang adil. Namun sampai saat ini, peristiwa rekayasa kasus, dengan dugaan salah tangkap disertai tindak kekerasan masih terus terjadi dan berulang," beber KontraS.
KontraS mengatakan, berbagai kasus salah tangkap di tubuh Polri sebagai implikasi bentuk kegagalan mencapai keadilan (miscarriage of justice). Alat bukti yang salah akan berakibat pada kesalahan pembuktian di pengadilan yang selanjutnya membuat orang yang tidak bersalah menjadi disalahkan.
Sementara itu, Sabungan Sibarani dalam artikel Analisis Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (Error In Persona) Dalam Putusan No.26161 K/PID/2021 menuturkan, kinerja polisi yang melakukan tidak taat prosedur dan tidak profesional dapat dipidanakan sesuai penyalahgunaan wewenang polisi.
"Berkewajiban untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara tertutup atau secara terbuka. Perlu adanya pemberian sanksi yang tegas terhadap polisi yang melakukan tindakan salah tangkap, selain proses peradilan pidana yang di lakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum," kata Sabungan diakses, Kamis, 11 Juli 2024.
Peneliti dari Universitas Borobudur Jakarta ini menyebut, penyidik yang melakukan salah tangkap harus mengikuti sidang disiplin dan sidang kode etik profesi dengan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Polisi