• Cerita
  • Cerita Srikandi Online dari Jalanan, Terhimpit Tarif Murah dan Potongan Aplikasi

Cerita Srikandi Online dari Jalanan, Terhimpit Tarif Murah dan Potongan Aplikasi

Para perempuan pengemudi ojek online di Bandung menjalani pekerjaan berisiko ganda. Dipandang sebelah mata, penghasilan tak menentu, dan kemacetan.

Pengemudi online menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, 25 Juni 2024. Mereka menolak tarif murah dan mendesak pemerintah untuk mendorong perusahaan aplikasi menaikan tarif. (Foto: Noviana Rahmadani/BandungBergerak.id)

Penulis Noviana Rahmadani19 Juli 2024


BandungBergerak.id – Menjelajahi jalanan kota dengan sepeda motor, mengantarkan pesanan tepat waktu, dan melayani pelanggan dengan ramah, inilah realitas sehari-hari para ojek online (ojol). Di balik helm dan jaket mereka, para pahlawan digital ini menghadapi berbagai rintangan dan tantangan yang tak jarang menguras energi dan pikiran.

Rina, telah bergelut sebagai ojek online selama dua tahun. Ia telah terbiasa dengan hiruk pikuk jalanan, tersimpan kisah perjuangannya melawan kemacetan, tarif yang tidak memadai, dan pembatalan order yang sering terjadi.

Kemacetan lalu lintas adalah musuh utama Rina. Jam-jam sibuk di pagi dan sore hari menjadi momok baginya. Perjalanan yang seharusnya singkat bisa molor hingga berjam-jam, membuatnya kehilangan banyak waktu dan pendapatan. Juga boros bensin.

“Satu, macet. Dua, titik jemput sama titik antar kadang tidak sesuai,” ungkap Rina saat ditemui BandungBergerak baru-baru ini.

Jerat tarif murah dan pembatalan order kian marak. Tak hanya waktu yang terbuang, para ojol pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk menutupi biaya operasional yang tak sebanding dengan penghasilan mereka. Ketidakadilan sistem orderan ini diperparah dengan banyaknya orderan fiktif yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

“Kalau tarif sudah pasti itu murah, sangat murah. Tidak sesuai pengeluaran sama waktu. Belum bensin, belum di-cancel customer,” sambung Rina.

Amil, seorang driver ojek online perempuan yang telah berkecimpung sejak 2019, meski berada di pihak aplikator yang berbeda, merasakan betul getirnya perjuangan yang dialami Rina. Pengemudi ojek online menghadapi banyak ujian dalam menjalani profesi mereka sehari-hari. Salah satu isu krusial yang dihadapi adalah ketidakpastian pendapatan, terutama saat kondisi cuaca buruk. Mereka mengeluhkan bahwa Google Maps sering bermasalah ketika hujan, mengakibatkan penurunan jumlah orderan.

“Orderannya itu ngambilnya jauh, tapi tarifnya tetap. Google Maps-nya kadang suka ngaco kalau hujan,” kata Amil.

Bahan Bakar Minyak (BBM), salah satu komponen biaya operasional, menjadi beban berat bagi para driver ojek online perempuan.  "Kalau untuk zaman sekarang, kalau mengandalkan di sini,  dengan pengeluaran kita sehari-hari bensin, jadi nggak bisa diprediksi," ungkap Amil. Ia harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Amil menambahkan, pembukaan pendaftaran pengemudi baru juga menjadi masalah. "Apalagi sekarang kan pembukaan driver baru itu kan banyak ya. Semua aplikator kan buka pendaftaran driver baru," kata Amil. Hal ini menambah persaingan di jalan, sehingga sulit bagi pengemudi lama untuk mendapatkan orderan yang cukup.

Stigma dan diskriminasi juga menjadi batu sandungan bagi para srikandi jalanan ini. Tak sedikit masyarakat yang masih meragukan kemampuan perempuan untuk menjadi driver ojek online, menganggap mereka lemah dan tidak mampu menghadapi situasi yang sulit. “Kadang tidak mau dibawakan perempuan,” kata Rina.

Hanya Mitra, Bukan Karyawan

Di balik gemerlap lampu kota yang tak pernah padam, terbentang kisah pilu para driver ojek online (ojol) perempuan seperti Rina. Bekerja dari siang hingga pukul 11 malam, ia tak hanya berjibaku melawan kelelahan fisik, tapi juga bayang-bayang bahaya yang selalu mengintai. “Takut ada aja tapi alhamdulillah berdoa aja,” kata Rina.

Ketakutan Rina bukan tanpa alasan. Terbayang kembali saat menerima pesan pelecehan verbal dari penumpang laki-laki. Meski belum pernah bertemu langsung dengan pelaku, pengalaman tersebut meninggalkan kekhawatiran dalam dirinya. “Cuma pelecehan di chat. Untung belum diambil orderannya,” lanjut Rina.

Sementara itu, sebagai seorang driver ojek online perempuan, Rina memiliki beberapa harapan untuk meningkatkan kesejahteraan. Rina berharap tarif yang diberikan oleh aplikator ojek online dapat disesuaikan dengan realitas pengeluaran para driver, terutama perempuan yang mungkin memiliki tanggungan keluarga. Tarif yang lebih adil dan transparan akan membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup dengan lebih baik.

Saat ini, driver ojek online hanya dianggap sebagai mitra aplikator, bukan karyawan. Hal ini berarti mereka tidak mendapatkan tunjangan. Rina berharap status mereka dapat diubah menjadi karyawan agar mendapatkan hak-hak dan perlindungan yang layak.

“Kalau saya mah nggak muluk-muluk ya, cuman tarif aja sesuai pengeluaranlah. Disejahterakan dan dibikin karyawan aja. Kalau bisa jangan mitra, soalnya banyak kerugian, sebagai mitra kita nggak dapet tunjangan,” ungkap Rina.

Rina juga menyoroti potongan yang dikenakan kepada driver ojek online, yang menurutnya cukup besar, mencapai 30 persen atau bahkan lebih. Potongan ini dianggap memberatkan dan mengurangi penghasilan mereka secara signifikan. Rina berharap potongan tersebut dapat dikaji ulang dan diturunkan ke angka yang lebih adil dan wajar. 

“Potongan juga lho, gede banget potongannya. Hampir 30 (persen), kadang lebih,” keluh Rina. 

Baca Juga: Di Balik Jaket Hijau, Seorang Habib
CERITA ORANG BANDUNG (48): Lia Sang Pengemudi Online, Gigih Bekerja demi Menguliahkan Anak
Tarif Murah, Beban Berat Pengemudi Online

Pengemudi online menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, 25 Juni 2024. Mereka menolak tarif murah dan mendesak pemerintah untuk mendorong perusahaan aplikasi menaikan tarif. (Foto: Noviana Rahmadani/BandungBergerak.id)
Pengemudi online menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, 25 Juni 2024. Mereka menolak tarif murah dan mendesak pemerintah untuk mendorong perusahaan aplikasi menaikan tarif. (Foto: Noviana Rahmadani/BandungBergerak.id)

Dilema Transportasi Online

Industri transportasi online memposisikan pengemudi sebagai karyawan kontrak, bahkan pekerja lepas. Bukan sebagai pekerja tetap. Status ini memicu kekhawatiran atas jaminan kelangsungan pekerjaan para pengemudi. 

Dalam penelitian “Does Job Satisfaction Influence the Productivity of Ride-Sourcing Drivers? A Hierarchical Structural Equation Modelling Approach for the Case of Bandung City Ride-Sourcing Drivers”, masalah transportasi online memerlukan regulasi yang menjamin lingkungan kerja bagi pengemudi.

Penelitian tersebut merupakan hasil kolaborasi Tri Basuki Joewono dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Muhamad Rizki dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, dan Jeanly Syahputri dari School of Transportation Sciences di Hasselt University yang termuat dalam jurnal Sustainability tahun 2021 terbitan MDPI (Multidisciplinary Digital Publishing Institute) yang berbasis di Basel, Swiss.

“Dalam situasi tersebut, regulasi akhirnya akan bermanfaat untuk menjamin hak-hak pengemudi, yang ujungnya meningkatkan kesejahteraan dan kepuasannya dalam bekerja. Regulasi juga akan melindungi dan meningkatkan daya tawar pengemudi, juga penumpang dalam ekosistem pasar tanpa kontrol harga,” tulis Tri Basuki Joewono dkk., yang memotret situasi Kota Bandung pada tahun 2019.  

Para peneliti menjelaskan, transportasi daring adalah wajah yang merepresentasikan “gig economy” yang saat ini menjadi tren dunia. Tren ini menghasilkan pasar tenaga kerja yang berciri kontrak jangka pendek atau pekerja lepas sebagai lawan dari pekerjaan permanen, merepresentasikan lingkungan bekerja yang fleksibel. Namun, di era fleksibelitas kerja ini cenderung terjadi eksploitasi pekerja. 

Berawal dari kemunculan Uber sebagai pionir ride-hailing asal Amerika Serikat di tahun 2009 yang merambah dunia, inovasi serupa dengan cepat mampir ke Indonesia.

Tahun 2015 menjadi titik balik, setelah diperkenalkannya layanan ojek menggunakan aplikasi di telepon pintar dengan nama Go-Jek. Tak butuh waktu lama untuk ‘menghijaukan’ Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.

Kelahiran Go-Jek diikuti oleh sejumlah aplikator dengan layanan dan model bisnis yang setali tiga uang. Persaingan pun kian ketat, terutama soal tarif. Ditambah lagi munculnya persaingan dengan ojek tradisional yang sering disebut sebagai opang, akronim dari ojek pangkalan.

Menghindarkan saling sikut soal tarif, pemerintah, lewat Kementerian Perhubungan, sedikitnya telah menerbitkan tiga beleid untuk mengatur bisnis ride-hailing di Indonesia, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat, serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi pada tanggal 4 Agustus 2022. Aturan terbaru ini menggantikan aturan sebelumnya, yakni KM Nomor KP 348 Tahun 2019.

"Kehadiran regulasi tersebut diharapkan cukup untuk mengatur ekosistem ojek daring di Indonesia. Faktanya, masih tersisa berbagai persoalan di lapangan. Langkah operator yang mengotak-atik tarif dengan beragam skenario, seringkali berujung perlawanan pengemudi. Pengaturan lebih lanjut yang lebih komprehensif menjadi pekerjaan rumah selanjutnya," tulis Tri Basuki Joewono dkk.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Pengemudi Ojek Online  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//