Aksi Massa Bandung Menyerukan Pengusutan Kasus Kematian Afif Maulana
Komite Antikekerasan Negara (Kontra) mengkampanyekan kasus-kasus kekerasan oleh polisi. Kematian Afif Maulana penuh kejanggalan.
Penulis Salma Nur Fauziyah19 Juli 2024
BandungBergerak.id - Ada hal tidak biasa di Taman Braga pada Kamis sore, 18 Juli 2024. Taman yang pada biasanya sepi, kini terdapat sejumlah orang melakukan orasi. Mereka membawa spanduk dan poster. Di antrara poster itu bertuliskan Abolish The Police dan This is Trash yang tidak lupa dilengkapi sebuah ilustrasi kekerasan yang dilakukan kepolisian. Justice for Afif!
Kasus Afif Maulana, seorang anak SMP yang ditemukan meninggal di bawah Jembatan Kuranji, Padang, memicu kemarahan publik. Pasalnya ditemui sejumlah kejanggalan dalam kematian anak berumur 13 tahun tersebut. Kesaksian LBH Padang dan keluarga menduga kuat bahwa Afif meninggal karena dianiaya polisi.
“(Kami) menentang segala bentuk represif dari segala bentuk.Tidak ada lagi kata oknum!” teriak salah satu peserta aksi.
Sekitar pukul 16.37, massa melakukan longmars dari Taman Braga menuju Taman Vanda, tepat di depan Polrestabes Bandung. Mereka berjalan melewati Jalan Braga yang sempit, kemudian belok kiri mengambil Jalan Suniaraja dan Jalan Perintis Kemerdekaan. Di sepanjang jalan, aksi ini menarik perhatian warga. Tidak sedikit warga yang berjalan di trotoar untuk berhenti dan juga memvideokan aksi.
Di taman Vanda, mereka sudah disambut polisi yang sedang bertugas. Namun, tidak menyurutkan niat aksi kolektif ini. Mereka berorasi dengan lantang tanpa mempedulikan polisi.
“No justice. No peace. Fuck the police!” teriak massa aksi.
Aksi hari itu ditutup dengan menempel beberapa poster protes di bawah patung macan hitam dan menaburkan bunga-bunga. Foto Afif Maulana diletakan di tengah, mewakili beribu-ribu korban kekerasan polisi, dan mengheningkan cipta bersama untuk menghantarkan doa untuk para korban.
Baca Juga: Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan
Ketika Organisasi Para Pembela HAM dan Demokrasi Didemo Massa dan Dijaga Polisi
Aksi Menolak KUHP di Bandung Berujung Ricuh, Sejumlah Mahasiswa Ditangkap Polisi
Kekerasan Aparat Kepolisian
Kasus kematian Afif Maulana ini bukanlah yang pertama. Begitu pula dengan serentetan kasus kekerasan dan represivitas yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Laporan terbaru KontraS mencatat sepanjang Juli 2023-Juni 2024 ada sebanyak 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian. Dari 645 kasus menyebabkan 759 korban luka dan 38 korban tewas.
Maraknya kasus kekerasan yang melibatkan aparat berseragam abu cekelat ini menimbulkan keresahan di antara masyarakat. Melihat urgensi seperti ini beberapa komunitas, masyarakat, mahasiswa, dan beberapa kelas pekerja membentuk sebuah gerakan kolektif bernama Kontra atau Komite Anti Kekerasan Negara. Aksi Justice for Afif adalah langkah pertama mereka dalam menyuarakan keresahan masyarakat tersebut.
“Dan sekarang momentum kita untuk menyamakan persepsi bahwa kekerasan negara ini harus dilawan,” tutur Ben, salah satu koalisi Kontra.
Namun, pada 1 Juli lalu, survei Litbang Kompas menyatakan citra baik kepolisian naik 73,1 persen. Ben menanggapi hal itu dengan membandingkan anatara realitas dan kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak masyarakat yang mengutarakan keluh kesahnya di media sosial. Di tambah kasus polisi yang terlibat dalam narkotika. Hal ini kembali dilaporkan oleh KontraS bahwa ada 69 peristiwa keterlibatan anggota kepolisian dalam tindak pidana narkotika yang mencakup kasus penggunaan, peredaran, dan penyimpanan.
“Mungkin mereka ngomong oknum ini tuh ke beberapa orang yang melakukan, tapi kenapa oknum ini bisa terus ada dari hari ke hari, tahun ke tahun? Apakah oknum ini terus dirawat atau dijaga atau dibiarkan?” ungkap Ben saat menanggapi hasil survei Litbang Kompas.
Ben dan kawan-kawan juga berencana untuk berkampanye dan menyebarkan hal ini kepada masyarakat yang lebih luas.
Di antara peserta aksi, hadir Denanda Mulya Lingga, yang sejak longmars berlangsung lantang menyuarakan keresahannya. Ia merupakan aktivis hukum yang tergabung dalam PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) Cabang Bandung. Ia melihat sudah saatnya rakyat turun untuk bergerak dan berani speak up dengan kasus yang sedang marak terjadi.
Sebagai aktivis hukum, Denanda memandang banyak hal yang disembunyikan dalam kasus Afif Maulana. Aparat pun tidak tegas dalam mengungkapkan kasus dan menetapkan tersangka. Hal ini yang dirasa Denanda jauh dari asas hukum equality before the law. Ia dan juga para kolektif menununtut agar Kapolda Sumbar untuk turun dan semua pelaku diadili.
Di sisi lain, menanggapi Revisi UU Polri yang sedang ramai diperbincangkan karena materinya memuat hal yang tidak substansial, Denanda mengaku hal tersebut masih dalam tahap pengkajian oleh mahasiswa lainnya.
Denanda menyarankan aparat kepolisian untuk mencontoh pada Jenderal Hoegeng agar dapat menjadi aparat penegak hukum yang baik.
“Polisi harus berkaca, lihat marwahnya, berpatokannya kepada Pancasila, ideologinya ditegakkan. Jangan sampai sekarang ditutup atau dibungkam oleh amplop-amplop, ataupun oleh orang-orang yang di belakangnya itu sudah ada yang, bahasa sekarang itu apa ya, intel-intel, atau misalnya orang-orang yang sudah dimusnah-musnahkan.”
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau artikel-artikel lain tentang Kekerasan Polisi