PAYUNG HITAM #37: Menakar Genosida di Indonesia
Raphael Lemkin mendefinisikan genosida sebagai pemusnahan dari identitas nasional, dari golongan yang tertindas (dan) pemaksaan identitas nasional dari penindas.
Ressy Rizki Utari
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba)
25 Juli 2024
BandungBergerak.id – Melalui layar gadget enam inci, pada abad ini ketika segelintir orang sibuk bicara Hak Asasi Manusia (HAM), kita terus menonton suatu negara melakukan kekerasan secara sistematis dan terang-terangan tanpa tahu malu. Saat kita hanya mampu menjadi tentakel dari kengerian yang terjadi, rasa frustrasi selalu tiba-tiba menyergap namun juga kian pudar saat layar di handphone berganti isi konten. Tetapi, setidaknya upaya paling keras yang bisa dilakukan oleh orang kebanyakan memang hanya kampanye boikot dan kecaman melalui media sosial atau demonstrasi konvensional. Meski protes itu telah masif dilakukan nyatanya genosida tetap terjadi, seperti yang dilakukan Israel pada Palestina.
Namun pernahkah kita pikirkan jika kekejian yang serupa juga dilakukan oleh Negara Indonesia. Tetapi, tidak ada demonstrasi dan protes yang mengecam peristiwa pembantaian kala itu. Jangankan demonstrasi, masyarakat justru di hipnotis agar tak sudi membicarakannya. 1965-1966, sejarah yang kabur di ingatan banyak orang di negeri ini.
Seharusnya semua tahu dan ingat dengan jelas pembantaian ratusan ribu manusia tahun 1965-1966 pernah terjadi di Indonesia. Namun, Negara tak kunjung bertanggung jawab atas kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan atas tindakan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui rantai komando. Kejahatan kemanusiaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu meliputi, pembunuhan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan dan propaganda.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #34: Polisi dan Bom Waktu Yang Mereka Ciptakan
PAYUNG HITAM #35: Bank Tanah Wujud Redefinisi Hak Menguasai Negara untuk Kepentingan Pemodal
PAYUNG HITAM #36: Cinta, Darah, dan Api Perlawanan ini Tak akan Padam
Pembunuhan
“Cantik jatuhnya, kaya parasut jatuhnya,” komentar Anwar Congo dalam film Jagal 2012 sambil memperagakan cara membuang mayat. Ia dan rekan-rekannya sesama preman melakukan reka ulang eksekusi dan menyombongkan kebengisan mereka. Mereka mengatakan jika pihak Angkatan darat menurunkan rombongan tahanan terikat di markas organisasi kepemudaan Pemuda Pancasila, dan para anggota organisasi itu, mencekik para tahanan sampai mati. Mereka kemudian membawa keluar mayat-mayat yang sudah dimasukkan ke dalam karung, menaikkan semuanya ke atas truk, pergi ke ujung jalan, lalu melempar mayat-mayat itu dari jembatan ke Sungai Deli.
Tidak hanya Anwar, Amir Hasan salah seorang Algojo pada peristiwa 65 memperagakan bagaimana ia di tepi sungai membacok mati tahanan-tahanan yang dalam keadaan terikat, lalu membuang mayat-mayat mereka ke sungai itu. Katanya Angkatan Darat yang membawa tahanan-tahanan itu. Mereka hanya dijadikan alat bantu proyek ambisius Angkatan Darat melenyapkan puluhan ribu buruh perkebunan yang berserikat, Jhon Rossa (2020).
Pembunuhan itu tidak hanya terjadi di Medan, Sumatera Utara. Namun juga di banyak wilayah lain di Indonesia seperti Bali, Surakarta, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jakarta, banyak wilayah dari Aceh hingga Flores. Tak ayal jika menurut Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965 korban yang terbunuh kemungkinan besar mencapai 400.000-500.000 jiwa. Sebelum dibunuh ada juga mereka yang telah mengalami penahanan dan penyiksaan.
Pemenjaraan
Dalam penjara itu terdengar beberapa orang yang bersenandung menyanyikan lirik,
maju tak gentar
membela yang benar
maju serentak
tentu kita menang
bergerak-bergerak
serentak-serentak
Termasuk Sakono juga dua teman lamanya Ada Sutrisno dan Suhada. Mulanya, sekitar pukul dua siang, sepasang polisi menjemput Sakono. Salah satu dari mereka memegang sepucuk surat. Mereka berkata bahwa surat itu menyatakan jika Sukono harus ikut dengan mereka.
Kemudian ia pergi bersama kedua orang polisi tersebut tanpa perasaan apa pun. Ia bukan anggota PKI, tetapi berulang kali dengan bangga terlibat dengan berbagai kegiatan PKI. Di Kantor polisi ia bertemu dengan kawan-kawan lamanya, jadi ia merasa bahagia karena melakukan reuni dengan mereka.
Namun malam itu, ketika semua terlelap dua belas tahanan dibawa. Mereka membawa Sutrisno. Mereka membawa Suhada. Mereka membawa teman-temannya Kamdi, Sumarno dan Suharjo. Tapi mereka tidak pernah kembali. Diceritakan dalam buku Metode Jakarta, Vincent Bevins.
Cerita lain dari penjara terdapat dalam buku Riwayat Terkubur, karya Jhon Roosa (2020). Jika tidak dieksekusi para tahanan dibiarkan kelaparan. Seperti yang terjadi di Pulau Kemarau, Sumatera Selatan, lebih kurang 10.000 orang mati karena hanya diberi makan 50 butir jagung dan satu muk kecil air setiap harinya. mereka adalah masa PKI dari Jambi, Bengkulu, Lampung Sumsel. Menurut Sudisman dalam buku Jhon, keadaan itu jauh lebih keji dari kekejaman penjajahan belanda pasca Perang Dunia II. Menurut Laporan Akhir Pengadilan Rakyat Internasional 1965, jumlah orang yang ditahan, termasuk tahanan kerja paksa dan perbudakan diperkirakan mencapai 600.000 orang dan mungkin saja lebih besar.
Penyiksaan dan Penghilangan Paksa
Dianto Baryadi dalam Genosida di Padang Halaban menuliskan jika penyiksaan dan pembunuhan kepada “orang-orang kiri” atau orang-orang yang dinyatakan sebagai “orang Komunis” atau “pengikut PKI” sering dipertontonkan kepada Warga Desa di Padang Halaban. Bahkan menjadi suatu tontonan yang wajib. Penyiksaan yang dialami Pak Golang misalnya. Ia disiksa dengan cara diseret oleh kendaraan Jeep Wilis dari pagi hingga menjelang petang. Setelah disiksa dimuka umum Pak Golang dibawa pergi, dan tidak pernah ada kabar beritanya lagi.
Penyiksaan juga terjadi pada tahanan di Desa dekat Magelang. Di bawah siksaan Ahmad dipaksa untuk mengaku sebagai anggota PKI. Penyiksaan seperti di Kamp Penahanan Magelang merupakan prosedur operasi standar.
Ahmad Ingat ia dihajar alat kasar buatan sendiri yang menyerupai cambuk abad pertengahan. Alat kantor sehari-hari menjadi instrumen pemicu rasa sakit. Salah satu teknik yang selalu dilakukan menaruh satu kaki meja pada jari kaki tahanan dan kemudian mejanya di duduki sambil bergoyang goyang. Pena menjadi pisau untuk menusuk kulit, rokok menjadi alat pembakar kulit, ekor ikan pari sebagai alat sabetan (Jhon Rossa, 2020).
Pengadilan Rakyat Internasional 1965 memiliki bukti yang cukup jika telah terjadi penyiksaan dan penghilangan paksa dalam skala besar yang dilakukan terhadap tahanan pada masa terjadinya pembunuhan massal dan pemenjaraan.
Perbudakan
Selain mengalami penahanan mereka dikerja paksakan. Seperti yang terjadi di Padang Halaban, Dianto Baryadi menuliskan jika bergiliran ratusan anak laki-laki dewasa atau anak laki-laki yang dianggap ‘sudah besar’ diangkut oleh truk-truk militer atau truk-truk yang disediakan oleh perusahaan dalam kelompok-kelompok yang terpisah untuk dipekerjakan tanpa upah. Mereka dikerahkan untuk membuka hutan dan membangun kebun-kebun dan areal pertanian baru yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha lokal, aparat keamanan, maupun aparat pemerintah setempat. Tindakan tersebut merupakan bagian dari serangan sistemik dan meluas terhadap PKI dan semua yang dianggap terkait dengan partai tersebut.
Kekerasan Seksual
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap perempuan-perempuan yang ditangkap selalu diiringi dengan kekerasan seksual di dalamnya. Aparat memaksa mereka membuka seluruh pakaian mereka untuk menemukan cap Gerwani di tubuhnya, meski akhirnya tak pernah mereka temukan.
Nyonya King Kin Rahayu, sebuah nama samaran. Seorang korban kekerasan seksual yang menjadi saksi dalam pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag 2015 lalu. Ia menceritakan berulang kali ditanyakan soal gerilya politik. Kingkin dipukuli dengan sepeda, ditengkurapkan diinjak-injak, rambut dibakar, kemaluan dibakar.
“Kamu pilih mengaku kenal, melakukan gerilya politik atau kamu saya telanjangi?” sambil bicara terjeda-jeda menahan tangis Kingkin menceritakan peristiwa yang dialaminya.
“Akhirnya kami ditelanjangi. Dalam keadaan saling telanjang dengan disaksikan mereka di situ.” Suaranya gemetar Kingkin berusaha menahan tangis.
“Kalian pilih duduk saling berpangku atau melakukan gerilya politik?” cerita Kingkin.
“Saya hanya bisa menangis, karena jawaban saya tidak pernah mereka dengarkan. Kembali kami dipukuli sampai mereka mengatakan ‘kami tunggu pengakuannya.’”
“Akhirnya tanpa saya duga, badan saya di angkat diposisikan di pangkuan,” ucapannya terhenti disusul tangis yang tak kuasa ia tahan lagi.
Tindakan kekerasan seksual yang terjadi secara meluas ini meliputi perkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Entah bagaimana pertanggung jawaban negara untuk setiap kejahatan yang mereka lakukan ini.
Propaganda
Percayalah, jika kamu bertanya secara acak pada orang di jalanan terkait peristiwa di Lubang Buaya pada 30 September 1965 merupakan kekejian komunis. Bagaimana tidak dalam buku Metode Jakarta dikatakan jika Militer menyebar cerita bahwa PKI adalah dalang utama dari kudeta komunis yang gagal. Suharto dan orang-orangnya mengatakan jika PKI telah menculik para jenderal dan memulai ritual setan yang keji. Mereka mengatakan jika anggota Gerwani menari telanjang sembari memutilasi dan menyiksa para jenderal, memotong alat kelamin dan mencongkel mata mereka sebelum akhirnya membunuh mereka. Surat kabar tentara, Angkatan Bersendjata terus menerbitkan foto-foto jenazah jenderal yang wafat.
Setelah propaganda ini membumi hanguskan satu generasi kala itu, lebih dari tiga dekade berikutnya, Benedict Anderson seorang peneliti Ruth McVey mengatakan G30S merupakan sebuah gerakan internal Angkatan Darat yang tidak melibatkan PKI dalam perencanaannya. Ia menyatakan jika setiap bagian dari kisah yang disiarkan oleh tentara Indonesia adalah dusta. Ia tidak hanya berhasil membuktikan bahwa laporan penyiksaan terhadap para jenderal itu dusta, tetapi bahwa sejak awal Oktober Suharto tahu semua itu dusta. Suharto memerintahkan autopsi yang kemudian hasilnya menunjukkan bahwa semua perwira ditembak kecuali satu, yang kemungkinan ditusuk bayonet dalam perkelahian di rumahnya.
Akan tetapi penemuan itu tak lagi berarti banyak. Cerita kekejaman komunis terhadap tentara baik hati telah menjadi bagian dari kepercayaan nasional, yang terus dikonsumsi setiap tahunnya.
Untuk Bertobat Negara Harus Mengaku
Tidak berlebihan jika pembantaian yang terjadi pada 1965-1966 di Indonesia itu dikatakan sebagai suatu peristiwa genosida bukan? Raphael Lemkin sebagai pemberi konsep aslinya mengatakan jika pemusnahan dari identitas nasional, dari golongan yang tertindas (dan) pemaksaan identitas nasional dari penindas, merupakan definisi Genosida.
Pandangan serupa juga di utarakan oleh Daniel Feirstein (el genocidio como practicia social, 2007). Menurutnya hakikat genosida adalah serangkaian praktik sosial yang secara ekstrem mengubah tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dengan jalan mengganyang dan memberangus kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Sedangkan pendekatan Genosida yang kini kerap kali dipakai masih konservatif, hanya merujuk pada Konvensi di PBB. Pendekatan ini tidak memasukkan pemusnahan golongan politik sebagai genosida yang juga sering disebut politicide atau auto genocide. Padahal, pada tahun-tahun terakhir pendekatan kritis mengenai genosida justru telah dipakai dalam tuntutan di Spanyol dan Argentina pada kejahatan yang dilakukan Militer Argentina pada 1970-an dan 1980-an.
Di Spanyol, grup nasional Argentina telah dimusnahkan “sebagian,” dan cukup substansial untuk mengubah hubungan sosial dalam negara itu sendiri. Pemusnahan di Argentina tidak terjadi secara spontan, kebetulan atau irasional: pemusnahan terjadi secara sistematis terhadap “bagian yang cukup besar” dari grup nasional Argentina, dengan tujuan untuk mengubah, mendefinisi ulang kehidupan hakiki mereka, hubungan sosialnya takdir dan masa depannya. Hakim Federal Tribunal 1 dari kota La Plata juga menyatakan bahwa Negara Indonesia dalam jangka waktu yang relevan, melalui militer polisi, telah melakukan dan mendorong terjadinya pelanggaran HAM berat secara sistematis dan meluas. Para Hakim juga yakin bahwa semua ini dilakukan untuk tujuan politik: untuk menumpas PKI dan semua yang dituduh sebagai anggota atau simpatisannya, dan juga banyak orang lain termasuk loyalis Soekarno, aktivis buruh, dan guru.
Menurut Vincent Bevins dalam bukunya Metode Jakarta “adalah suatu hal bahwa pemerintah melakukan kejahatan kejam tetapi mengakui kesalahan dan membangun negara yang kuat lagi adil ---- inilah yang tidak terjadi. Mereka menjalani hari-hari terakhir hidup mereka di negara kapitalis kroni yang miskin, berantakan, dan setiap hari didengungkan bahwa mereka berbuat jahat karena menginginkan sesuatu yang berbeda.
Mungkin Bevins benar, negara ini memang tidak bisa bertobat, bahkan mengakui kejahatannya saja tidak sudi. Nyatanya negara ini diam-diam entah secara sadar atau tidak, kembali melakukan kekejian yang serupa pada Bangsa Papua.
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung