Tubuh-tubuh Antroposen, Gambaran Bumi yang Dirusak Manusia
Karya patung tubuh manusia dan lukisan pemandangan alam di pameran Antroposen menggambarkan hubungan manusia dengan alam yang sudah rusak sedemikian rupa.
Penulis Muhammad Wijaya Nur Shiddiq 31 Juli 2024
BandungBergerak.id - Karya seni dapat dipahami sebagai manifestasi dari pengalaman pribadi seniman yang dituangkan melalui sebuah medium. Perwujudan pengalaman tersebut menyampaikan pesan yang mencari dirinya sendiri, yaitu otonom, ataupun bersifat heteronom, yaitu karya yang menyampaikan esensinya secara gamblang.
Namun di sisi lain, penciptaan karya seni dalam lingkup akademik kemudian menjadi fenomena yang tidak lazim ditemui. Dalam hal ini, karya ciptaan Asmudjo J. Irianto bertajuk “Pameran Tubuh Antroposen” yang diselenggarakan di Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, 5 Juli - 18 Agustus 2024 merupakan karya yang berangkat dari penelitian tentang hubungan tidak harmonis antara manusia dan bumi.
Pada lingkup akademik, upaya untuk membingkai karya seni dalam ranah ilmu pengetahuan menjadi hal yang tidak dapat terhindarkan. Karya seni dapat dilihat sebagai praktik dari pengetahuan yang menjadi bagian integral juga dalam metode penelitian. “Karya seni sebagai manifestasi dari pengetahuan” merupakan hal yang ingin ditekankan oleh karya seni Asmudjo ini.
“Antroposen itu kan gambaran tentang satu dunia yang rusak karena perilaku manusia. Jadi kita hidup di dunia yang fragile–mungkin kita belum merasakan, cuma dampaknya akan luar biasa ke anak-cucu kita nanti,” tutur Asmudjo ketika menjelaskan karyanya sekaligus keterkaitan dengan pameran sebelumnya yang berjudul “Fragile".
Akan tetapi, pembingkaian karya seni dalam sains pun menyoroti perbedaan antara keduanya. Sebagai ilmu pengetahuan, sains dapat difalsifikasi dan diverifikasi. Suatu wacana ilmu pengetahuan yang dihasilkan dapat ditolak kebenarannya apabila terdapat data yang lebih akurat. Berbeda dengan hal itu, seni sejatinya dimulai dengan verifikasi, namun tidak dapat difalsifikasi sebab karya seni tidak memiliki tafsiran tunggal.
Karya patung tubuh manusia dan lukisan pemandangan alam yang ditampilkan dalam pameran Antroposen ini menggambarkan hubungan manusia dengan alam yang sudah rusak sedemikian rupa. Representasi manusia yang tertuang melalui patung yang sudah tidak karuan bentuknya, sekaligus potret lanskap alam yang gersang menjadi pertanda bahwa manusia dan alam merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lebih dari itu, refleksi kritis Asmudjo yang digabungkan dengan hasil penelitiannya mengenai ekologi kemudian menjadi kritik terhadap kerusakan lingkungan–yang berangkat dari pengalaman pribadi–dan perenungan terhadap kondisi bumi yang sudah sedemikian rusaknya, sehingga sukar untuk diselamatkan.
Hubungan manusia dengan lingkungan sejatinya merupakan aktivitas manusia sebagai bagian dari ekosistem yang berpengaruh terhadap kondisi ekologi. Hal tersebut merupakan esensi istilah ‘antroposen’. Konsep ini kemudian diekspresikan melalui karya seni yang juga diwujudkan ke dalam ‘tubuh’ sebagai sistem yang utuh.
Baca Juga: Pameran Seni Oh Tina! Mengemas Nasib Pernikahan Tina dan Joi
Memaknai Pameran Lukisan Mahasiswa Seni Asal Bandung dan Yogyakarta
Poetical Urgency, Pameran Seni Kontemporer Alam dan Industri di Lawangwangi Creative Space
Layaknya tubuh manusia, alam pun memiliki mekanismenya sendiri yang dapat bereaksi apabila dirinya dirusak. Namun di sisi lain, sistem pemulihan alam memiliki kemampuan terbatas yang tidak dapat disandingkan dengan tubuh manusia. Bumi tidak hanya dirusak manusia, namun sejatinya manusia pun melakukan hal itu untuk kesejahteraannya, sehingga ‘antroposen’ menyiratkan kepunahan massal yang diakibatkan oleh ketamakan manusia.
Simbolisme tersebut merupakan narasi yang berusaha dibingkai melalui topik antroposen. Unsur normatif dari karya seni ini pun tampak oleh sifatnya yang bersifat joint-effort; representasi bersama. Karya merepresentasikan dunia dalam bentuk simbolik dan metafora, namun lebih dari itu, karya “Tubuh Antroposen” ini bersifat partisipatif dan kolektif, sebagaimana yang dituturkan oleh Asmudjo J. Irianto.
Dengan demikian, peran ilmu pengetahuan pun dalam perspektif ini menjadi disorot. Riset, layaknya karya seni yang ditampilkan, seharusnya berguna bagi komunitas manusia. Sebagai bagian dari pengetahuan, refleksi kritis pun menjadi unsur yang perlu diangkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemudian tema ekologi menjadi topik yang sulit diangkat apabila unsur ‘refleksi’ tersebut gagal diciptakan dalam karya.
Namun di sisi lain, familiaritas audiens terhadap tema ini dapat disorot melalui natur ekologi yang kerusakannya merupakan permasalahan lokal yang mengglobal; ataupun global yang melokal.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Wijaya Nur Shiddiq atau artikel-artiikel lain tentang Pameran Seni