• Liputan Khusus
  • Mempertanyakan Kehadiran dan Keberpihakan Negara dalam Kasus-kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Jawa Barat

Mempertanyakan Kehadiran dan Keberpihakan Negara dalam Kasus-kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Jawa Barat

Kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, bersifat laten dan kompleks. Negara terkesan abai.

Penyegelan masjid milik jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Selasa, 2 Juli 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul12 Agustus 2024


BandungBergerak.idMenjadi provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia, masyarakat yang majemuk menjadi fakta tak terelakkan bagi Jawa Barat. Sayangnya, kemajemukan ini agaknya belum berjalan ideal lantaran gesekan antarkelompok yang berbeda masih sering terjadi.

Menurut laporan tahunan SETARA Institute yang dirilis, Selasa, 11 Juni 2024 lalu, Jawa Barat kembali menempati urutan pertama provinsi dengan jumlah pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan (KBB) terbanyak di Indonesia pada tahun 2023, dengan 47 kasus. Dalam satu dekade terakhir, Jawa Barat selalu berada di puncak dalam daftar pelanggaran KBB. Satu-satunya pengecualian terjadi pada tahun 2022 ketika posisi puncak digeser oleh Jawa Timur. 

Sepanjang tahun 2023, SETARA Institute mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran KBB di Indonesia. Dari 329 tindakan pelanggaran itu, 114 tindakan dilakukan oleh aktor negara dan 215 tindakan dilakukan oleh aktor nonnegara. Umat Kristen dan Katolik menjadi korban pelanggaran paling tinggi, yakni sebanyak 54 peristiwa. 

SETARA Institute menggarisbawahi tiga kondisi KBB pada tahun 2023. Pertama, jumlah kasus gangguan tempat ibadah terus mengalami kenaikan yang signifikan dalam tujuh tahun terakhir. Kedua, tren pelanggaran masih menunjukkan tingginya penggunaan delik penodaan agama.

“Ketiga, intoleransi oleh masyarakat dan diskriminasi oleh elemen negara menunjukkan bahwa situasi kebebasan beragama berkeyakinan belum mengalami perbaikan. Hal itu diindikasikan dengan masih tingginya angka intoleransi oleh masyarakat dalam 26 tindakan dan diskriminasi oleh elemen negara dalam 23 tindakan yang tercatat di tahun 2023,” dikutip dari laporan kondisi KBB 2023 dengan judul “Dari Stagnasi Menuju Stagnasi Baru”.

BandungBergerak bekerja sama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI melakukan reportase pada lima kelompok mikrominoritas di Jawa Barat, mulai dari komunitas penghayat, pelaku Sunda Wiwitan, hingga jemaat Ahmadiyah. Kerja sama ini sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama, dan berkeyakinan, serta inklusivitas.

Melalui lima reportase yang dikerjakan oleh BandungBergerak mudah saja melihat bagaimana kondisi kebebasan beragama berkeyakinan di Jawa Barat. Beberapa kelompok mikrominoritas di Jawa Barat rentan mengalami tindakan intoleran dan diskriminatif. Meski demikian, reportase juga menunjukkan bagaimana mereka secara konsisten menyuguhkan praktik-praktik baik untuk sesama yang membuat mereka tegap berdiri untuk terus melangkah. Bertahan.

Sebagai pengganti mata pelajaran agama di Sekolah, kelas agama anak-anak penghayat diadakan setiap Sabtu-Minggu, 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Sebagai pengganti mata pelajaran agama di Sekolah, kelas agama anak-anak penghayat diadakan setiap Sabtu-Minggu, 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Tiga Cerita di Bandung Raya

Murid-murid penghayat kepercayaan Budi Daya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat masih mengalami perundungan. Candaan semacam “Ayo login!” atau panggilan “Kris” yang merujuk pada kata Kristen kerap dialami oleh Kenanga dan Melati (bukan nama sebenarnya), murid SMP swasta yang dinaungi Yayasan Islam di kawasan perkebunan dan wisata di utara Kota Bandung tersebut.

“Kalau masuk kelas, kita baca doa masing-masing aja. Kalau lagi kelas mata pelajaran Islam, kita duduk aja sambil memperhatikan yang lain,” ujar Melati yang mengaku sering mengikuti kelas Pendidikan Agama Islam di sekolahnya meski sebenarnya tidak diwajibkan, saat ditemui di Kampung Cibedug, Lembang, Rabu, 12 Juni 2024.

Kenanga dan Melati menimba ilmu agama leluhur penghayat di komunitas mereka di Cibedug setiap Sabtu dan Minggu. Ada 15 orang penyuluh aliran kepercayaan Budi Daya yang memberikan pendampingan kepada anak-anak usia dini dan remaja. Salah satunya, Nanda Shelly Susanti, 21 tahun.

Nanda menjadi penyuluh sejak tahun 2020. Penyuluh setara dengan guru agama. Tugas mereka memberikan penyuluhan agama pada warga penghayat yang tinggal di berbagai pelosok kampung. Terlahir sebagai seorang penghayat dari orang tuanya yang memeluk ajaran karuhun, membuat Nanda akrab dengan ritus-ritus penghayat sejak kecil.

Nanda pernah mengalami tindakan intoleran ketika masih duduk di bangku sekolah. Guru agama pernah mengecapnya memeluk agama yang salah. Namun, Nanda memandang diskriminasi tidak perlu dibalas dengan diskriminasi.

“Kalau ada diskriminasi itu tidak harus dibalas juga. Kita harus leleuy (lembut) aja, harus telaten menjelaskan,” ungkapnya.

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Indra Anggara berpendapat, masih banyak guru di satuan pendidikan tidak tahu bahwa penghayat kepercayaan telah diakui negara. Akibatnya, pemenuhan hak anak-anak berbeda keyakinan dalam mengakses pelajaran agamanya belum sepenuhnya difasilitasi.

“Karena itulah sering terjadi diskriminasi,” kata Indra, ditemui BandungBergerak, Rabu, 12 Juni 2024.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Heri Pramono mengatakan, anak-anak penghayat bukan hanya membutuhkan fasilitas dan layanan pendidikan yang memadai, melainkan juga perlindungan. Heri meyakini, jika nilai-nilai inklusif diterapkan, iklim pendidikan di sekolah akan lebih baik dan ramah terhadap keberagaman. Meski, sayangnya, praktik diskriminatif masih dinormalisasi. 

“Sosialisasi pemerintahnya kurang untuk menyasar seperti itu,” kata Heri. “Terus juga negara masih ragu-ragu untuk bisa menghadirkan nilai inklusivitas itu.”

Jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung kini melakukan ibadah di rumah. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus, Bandung, 16 Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Jemaat Gereja Katolik Bebas di Bandung kini melakukan ibadah di rumah. Mereka pernah memiliki Gereja Katolik Bebas Albanus, Bandung, 16 Juni 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Di Kota Bandung, ada kisah kompleks yang berkaitan dengan proyek revitalisasi bangunan Gereja Katolik Bebas Santo Albanus, di Jalan Banda. Gereja yang bangunannya cukup besar dengan gaya arsitektur romantik ini sedang mengalami perombakan, tetapi bukan lagi untuk jemaat Gereja Katolik Bebas.

Esther, seorang daikon Katolik Bebas, menyebutkan, Gereja Katolik Bebas Albanus mengalami konflik internal pada tahun 2015. Waktu itu, bangunan diambil alih, disegel, serta diklaim sebagai aset Gereja Katolik Bebas Australia. Sengketa kepemilikan tanah dan bangunan gereja ini masuk dalam sidang gugatan perdata pada tahun 2017.

Sengketa kepemilikan gereja memaksa jemaat Katolik Bebas yang tersisa di Bandung, saat ini tinggal lima orang, harus melakukan peribadatan di rumah masing-masing. Sembilan tahun sudah mereka tidak dapat beribadah di gereja. Esther merindukan momen-momen itu, terutama saat menyambut momen besar keagamaan.

“Sudah 9 tahun tanpa misa itu luar biasa sih memang. Di tahun 2017 saya masih bisa minta komuni dari Katolik Bebas di Surabaya, tapi kami tidak punya lagi cadangan hosti tersebut,” tuturnya, Minggu, 16 Juni 2024.

Bagi Esther, menghilangkan bangunan lama dengan bangunan gereja baru adalah bentuk penghapusan sejarah. Gereja Albanus adalah bagian dari sejarah Kota Bandung yang tidak bisa dilenyapkan begitu saja. Terlebih, bangunan gereja yang dirancang oleh arsitektur Hinda Belanda Frans Johan Louwrens Ghijsels ini merupakan Cagar Budaya Kelas A. 

Ketua Bandung Heritage Aji Bimarsono menuturkan, perpindahan tangan atau ganti kepemilikan suatu objek bangunan sejarah sering kali menjadi pintu masuk bagi perubahan gedung. Menurutnya, diperlukan aturan yang mendetail dan jelas dalam melindungi bangunan-bangunan cagar budaya, baik yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya maupun belum.

“Bangunan itu penting, signifikan, budayanya tinggi,” ujar Aji, Rabu, 19 Jun 2024.

Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)
Kondisi permakaman Sentiong di Pangalengan, Kabupaten Bandung, 25 Juli 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Sementara itu, umat Kristen di Pangalengan, Kabupatan Bandung mengalami kesulitan melakukan pemakaman sejak 2014. Proses pemakaman seorang warga Pangalengan mengalami “drama panjang” di permakaman Sentiong, Kampung Danosari, Desa Pulosari, Kecamatan Pangalengan. Sebelumnya, telah terjadi penolakan memakamkan umat Kristiani di Sentiong sebanyak empat kali.

Lahan Sentiong seluas 10.270,3 meter persegi itu merupakan lahan yang dikhususkan untuk Umat Kristen Pangalengan berdasarkan pemberian hak pengelolaan yang diterima oleh Yahya Sukma, pendeta Gereja Bethel Tabernakel Pangalengan pada tahun 2002 dari pengelola sebelumnya, yaitu Narsono. Pada tahun 2004, bersama Kepala Desa Pulosari Jajang Daman dan beberapa saksi waktu itu melakukan pengukuran ulang.

Salah seorang jemaat GKP Pangalengan, Yohanes Irmawandi mengeluhkan ketiadaan lahan makam yang bisa digunakan untuk umat Kristen di Pangalengan. Lahan Citere yang digunakan oleh umat GKP Pangalengan sudah penuh. Lahan itu pun sebenarnya bukan milik umum, melainkan milik militer.

“Sentiong itu sebenarnya salah satu aset yang bisa dimanfaatkan. Cuma ya gitulah,” ungkap Anes, demikian ia kerap disapa, Selasa, 17 Juli 2024.

Anes dan Yahya menyatakan pendapat senada. Ketiadaan lahan makam untuk umat Kristen berdampak banyak untuk urusan finansial. Untuk satu orang yang meninggal, keluarga harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya pengurusan jenazah, jasa gali kubur, peti mati, ambulans, dan ditambah lagi tradisi-tradisi. Akibat persoalan ini, umat Kristen Pangalengan harus mengirimkan jenazah ke Soreang atau Banjaran yang berjarak 25 kilometer.

“Hampir habislah 5-6 juta (rupiah). Belum jauhnya. Terus faktor lainnya ya itu, tidak semuanya mampu. Kalau ada di Pangalengan, kenapa tidak?” terang Yahya, saat ditemui di Pangalengan, Minggu, 19 Mei 2024.

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Venus Nareswari berpendapat, persoalan sengketa makam yang dialami umat Kristen di Pangalengan termasuk ke dalam pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan (KBB). Urusan makam adalah juga hak dan kebutuhan yang melekat di setiap pemeluk agama dan keyakinan. Sama halnya dengan hak dan kewajiban beribadah sebagaimana telah dijamin konstitusi.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)
Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Konflik di Garut dan Kuningan

Berkali-kali harapan Jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut harus pupus untuk memiliki sebuah masjid. Selasa, 2 Juli 2024 lalu, Satpol PP Pemerintah Kabupaten Garut dan jajarannya dari Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) menyegel masjid Ahmadiyah yang hampir rampung dibangun. Penyegelan ini yang kali kedua terjadi. Pada tahun 2021, pemerintah Kabupatan Garut juga melakukan penyegelan ketika pembangunan sedang berlangsung.

Ketua RW 01 Nyalindung, Ali Nugraha menyayangkan sikap pemerintah yang lebih memilih melakukan penyegelan masjid dan menuruti tekanan ormas. Ia menegaskan, masyarakat Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah hidup rukun dan saling bergotong-royong sejak lama. Tidak ada keresahan apa pun dari warga.

“Di Kampung Nyalindung, tidak ada masalah apa pun. Apalagi disebut meresahkan warga,” ucap Ali saat dihubungi BandungBergerak, Selasa, 17 Juli 2024.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) diketahui merupakan pendonor mata terbanyak di Indonesia. Tak jauh dari Nyalindung, inisiatif gerakan donor mata digagas pada Desember 2018 di Desa Tenjowaringin, Kabupaten Tasikmalaya melalui deklarasi Desa Siaga Donor Mata yang pertama di Indonesia.

Gerakan donor mata digagas JAI secara nasional. Gerakan ini tidak bisa dipisahkan dari spirit kemanusiaan Ahmadiyah.

“Susah dipisahkan dari pengaruh spiritual Ahmadiyah. Mereka menjadi donor karena mereka ahmadi,” tutur Dodi Kurniawan, Ketua Komunitas Donor Mata Tasikmalaya, Mingu, 7 Juli 2024.

Sementara itu di Cigugur, Kabupaten Kuningan, perempuan Sunda Wiwitan turut berjuang mempertahankan lahan adat dan tradisi, salah satunya melalui seni. Perempuan Sunda Wiwitan Kuningan menjadi aktor kunci saat melakukan aksi penolakan eksekusi tanah adat di Blok Mayasih pada 24 Agustus 2017 silam.

Mulyati Gustina, 21 tahun, nonoman (orang muda) Masyarkat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Cigugur, masih ingat betul ketika konflik lahan adat bergejolak di Kabupaten Kuningan tujuh tahun lalu. Masih duduk di bangku SMP, dia ikut turun ke jalan bergabung dengan masyarakat adat lainnya.

Tina, demikian dia kerap disapa, meyakini bahwa berkesenian dan rutin mengikuti tradisi dan kebudayaan di Paseban merupakan cara untuk menjaga identitas sebagai nonoman AKUR Sunda Wiwitan. Dia sadar betul dengan berbagai tantangan dan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat AKUR Sunda Wiwitan. 

“Membantu dengan apa pun pengetahuan yang dimiliki untuk mempertahankan tanah adat,” ujar Tina, ditemui di kompleks Paseban Tri Panca Tunggal di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Minggu, 2 Juni 2024.

Girang Pangaping Sunda Wiwitan AKUR Kuningan Djuwita Djatikusuma menyebutkan, Sunda Wiwitan dikepung berbagai persoalan. Pangkal persoalan beberapa sengketa lahan yang dialami masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan adalah ketidakmauan negara untuk mengakui dan melegitimasi masyarakat adat.

Sunda Wiwitan juga masih menghadapi persoalan terkait sulitnya pencatatan pernikahan. Ditambah dengan bergesernya minat generasi orang muda untuk menjaga lahan dengan cara menjadi petani. Menurut Djuwita, upaya mempertahankan lahan tidak cukup dilakukan sekedar tentang tanah wilayat, tetapi harus diperluas maknanya menjadi mempertahankan tanah adegan.

“Caranya, ya kita mencoba terus memberikan penyadaran dan kesadaran pada generasi untuk melestarikan tradisi, budaya. Baik budaya seni, budaya spiritual, ajaran. Itu juga kan bagian tanah yang harus dipertahankan,” ucapnya, Sabtu, 1 Juni 2024.

Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia.  (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).
Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Gagalnya Perlindungan Negara

Lima kisah yang erat hubungannya dengan persoalan Kebebasan Beragama Berkeyakinan di Jawa Barat dipandang sebagai gejala peristiwa yang laten dan terjadi berulang kali oleh pakar hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Valeri B. Jehanu. Ia juga menganalisa bahwa kasus-kasus pelanggaran KBB cenderung meningkat ketika momentum tahun politik. Menurutnya, negara gagal hadir untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Dalam konteks kebebasan beragama kan ada dua hal posisi negara. Negara itu gak bisa intervensi pada persoalan pilihan keyakinan seseorang atau forum internum. Tapi satu sisi, dia harus aktif untuk memastikan perlindungan di aspek forum eksternum,” katanya ketika dihubungi, Jumat, 2 Agustus 2024.

Negara gagal memposisikan diri pada kedua aspek tersebut. Negara terlalu jauh ikut campur pada pilihan berkeyakinan, padahal posisinya hanya cukup menghormati pilihan setiap warga negara. Pada aspek forum eksternum, sayangnya, negara juga gagal memberikan perlindungan kepada warga negara yang didiskriminasi karena pilihan maupun haknya yang telah dijamin konstitusi dan undang-undang.

“Harusnya kan dia memberi perlindungan nih kepada yang didiskriminasi, tapi justru posisi dia (negara) atas nama ketertiban umum justru berada lebih dekat pada golongan yang menekan daripada yang ditekan. Justru gak pasang badan di situ,” sesalnya.

Valeri berpandangan, jika persoalan ini terus laten dan tak diurai untuk menemukan solusi, muncul tiga dampak yang mungkin terjadi. Stigmatisasi dan diskriminasi akan terus berlanjut sehingga berdampak pada sulitnya akses kelompok minoritas. Dampak akhirnya adalah lahirnya hukum atau aspek kebijakan yang tidak berimbang antara mayoritas dan minoritas.

“Ketiga hal tadi alat ukurnya soal mayoritas dan minoritas lagi. Padahal kan harusnya gak boleh begitu. Setiap orang, warga negara punya hak yang sama untuk diperlakukan setara,” tegas Valeri.

Menurut Valeri, tidak ada persoalan dengan konstituasi negara, UUD 1945. Menurutnya, konstitusi mampu mengakomodasi keadilan dan kesetaraan untuk seluruh lapisan masyarakat. Adanya istilah agama dan kepercayaan dalam konstitusi pun bukan bermaksud untuk membedakan. Sebab, istilah kepercayaan itu sifatnya inheren dengan agama: agama pasti punya sistem kepercayaan masing-masing.

Sayangnya, di level nasional terdapat Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan ini mengatur enam agama “resmi” Indonesia dan turunannya yang kemudian menjadi alasan mendiskriminasi penghayat kepercayaan, Ahmadiyah, maupun Katolik Bebas lantaran dianggap tidak sesuai dengan ajaran dari kitab suci masing-masing agama.

“Materi muatannya itu mengadakan perbedaan terhadap yang agama dan yang bukan, sehingga selama itu tidak dicabut, selama itu tidak diubah, ya maka persoalan ini saya kira akan terus bergulir. Karena dari situ kemudian turunannya pada peraturan-peraturan yang sifatnya teknis dan sektoral,” ungkapnya.

Valeri berpendapat, diperlukan progresivitas tafsir untuk mengubah undang-undang tersebut. Sebab, sepengetahuan Valeri, kebijakan itu telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dua kali. Pun kalau belum bisa, minimal isu ini perlu terus dibahas dan didiskusikan agar suatu saat nanti bisa mempengaruhi cara pandang aparatur negara, termasuk hakim MK. Valeri mendorong agar persoalan KBB dikonstruksikan pada konteks kewargaan.

“Maksudnya, kita bisa bisa gak setuju, menganggap orang lain itu tidak lebih benar secara ajaran. Tetapi kalau dikaitkan dengan hak kewargaan maka negara itu tugasnya bukan menentukan yang masuk surga dengan yang tidak. Jadi harus bisa bertemu dalam konteks kewargaan,” katanya. 

Otoritas keagamaan pun harus mereformasi diri dan penafsirannya agar konteks KBB diberi tempat dan dihargai. Negara juga harus kembali ke posisi semula sebagai pelayan publik yang seharusnya menampatkan hak beragama dan berkeyakinan sebagai suatu hal yang setara, bukan dilihat dengan kacamata mayoritas-minoritas.

Hal lain yang ditekankan Valeri adalah pendidikan. Ia menyatakan, di tubuh masyarakat terdapat lapisan-lapisan keberagaman. Sebagai contoh, Islam dan Kristen masing-masing punya lapisan.

“Jadi dari situ ya ketika itu masuk ke pendidikan, masuk ke kurikulum, kita bisa berharap generasi yang berikutnya mungkin lebih siap untuk melihat Indonesia dengan segala keberagamannya,” ungkapnya.

Doa lintas iman untuk mendoakan jemaat Katolik yang juga keturunan dari Sunda Wiwitan Cigugur di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Sabtu, 1 Juni 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Doa lintas iman untuk mendoakan jemaat Katolik yang juga keturunan dari Sunda Wiwitan Cigugur di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Sabtu, 1 Juni 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Baca Juga: Lima Orang Jemaat Gereja Katolik Bebas Tersisa di Bandung, Sembilan Tahun Beribadah di Rumah
Ditolak di Sentiong, Cerita Umat Kristen di Pangalengan dalam Sengkarut Lahan Makam
Jemaat Tanpa Masjid, Nestapa Warga Ahmadiyah di Nyalindung dalam Belenggu Penyegelan
Merayakan Seni, Cara Perempuan Sunda Wiwitan Kuningan Turut Berjuang Mempertahankan Lahan dan Tradisi

Keterlibatan Seluruh Pihak

Dalam laporan Indeks Hak Asasi Manusia 2023 yang dirilis Desember lalu oleh Setara Institute dan INFID, indikator kebebasan beragama dan berkeyakinan berada di posisi 3,4 poin. Angka ini turun dibandingkan tahun 2022 yang ada di posisi 3,7. Penurunan skor -0,3 ini adalah konsekuensi dari semakin lekatnya iklim intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan (KBB) yang terjadi sepanjang tahun 2023.

Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity INFID Syafira Khairani memandang lima persoalan KBB yang direkam BandungBergerak merupakan sinyal yang cukup memprihatinkan. Terlebih, dari tahun ke tahun, provinsi Jawa Barat “cukup konsisten” memproduksi peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB.

Di samping pelarangan peribadatan dan gangguan rumah ibadah, Syafira menggarisbawahi bahwa persoalan makam bukan hanya dikeluhkan oleh umat Kristiani, tetapi juga penghayat kepercayaan. Syafira menegaskan agar negara, sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi, tidak melakukan favoritisme berdasarkan agama. Siapa pun sama di mata hukum.

“Kalau kita mau melihat idealnya, kita melihat lagi kepada konstitusi dan falsafah negaranya gitu yang sudah secara jelas mengatur dan udah barang pasti juga itu menciptakan keadilan dan kesetaraan hukum. Bukan pada regulasi-regulasi yang diskriminatif,” kata Syafira ketika dihubungi BandungBergerak, Senin, 5 Agustus 2024.

Menurut Syafira, ada jurang pemahaman antara pusat dan daerah sebab aturan diskriminatif banyak lahir di tataran pemerintah daerah. Terbukti, pemerintah daerah sekaligus merupakan aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran. Itulah kenapa INFID mendorong adanya reformasi kebijakan, dari good governance menjadi open and inclusive governance.

“Kita pengin dorong adanya pemerintahan yang lebih inklusif, mendorong prinsip kesetaraan, prinsip HAM, non-diskriminasi, dan juga yang paling penting adalah pelibatan partisipasi yang bermakna dari kelompok minoritas dan rentan. Mereka perlu dilibatkan dalam pembuatan kebijakan,” tuturnya.

Negara seharusnya memiliki komitmen, tanggung jawab, dan peran sebagai pemangku kebijakan dan kepentingan dalam perlindungan, pemenuhan, pemajuan, dan penegakan HAM. Negara tidak seharusnya melanggengkan favoritisme dan mayoritanisme. Negara harus menaruh keberpihakannya kepada kelompok rentan alih-alih kelompok yang memegang “kekuasaan”.

Syafira memberikan rekomendasi untuk menghadirkan ruang bertemu dan dialog antarpihak untuk memecah prasangka. Amplifikasi dialog antaragama untuk memberikan perspektif keadilan perlu terus dilakukan. Sebab, praktik diskriminasi mungkin terjadi sebab tidak adanya ruang dialog yang menimbulkan asumsi yang sebenarnya tidak terverifikasi.

Selain itu, dia juga merekomendasikan penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan organisasi berbasis keagamaan, khususnya terkait mediasi konflik. Masalahnya, dua entitas ini seringnya hadir bukan untuk mengurai persoalan dengan melakukan mediasi, melainkan justru membubarkan atau mengafirmasi keinginan “ormas” tertentu yang pada akhirnya membuat masalah tidak terpecahkan. Promosi dan narasi positif juga penting untuk digaungkan.

Di luar institusi dan lembaga eksternal, Syafira juga menekankan pentingnya membangun ketanggunan atau resiliensi di tengah masyarakat.   

“Ketika masyarakat sendiri itu sudah resiliens, tangguh, maka siapa pun yang datang, ormas mana pun yang hadir itu gak akan bisa menembus pertahanan mereka," ucapnya. "Jadi memang masyarakat sendiri harus dibuat tangguh, harus resiliens dulu.” 

Syafira mengamini bahwa persoalan KBB amat kompleks dan membutuhkan waktu panjang. Namun begitu, dia menegaskan bahwa tanggung jawab melahirkan kesadaran dan daya tahan masyarakat bukan hanya beban pemerintah semata, melainkan seluruh pihak. Syukurnya, ada banyak organisasi masyarakat sipil yang memiliki concern pada isu KBB dan perdamaian dengan berbagai upayanya untuk mencapai situasi yang ideal.

*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//