HUT Aliansi Jurnalis Independen ke-30, Kebebasan Pers di Indonesia dalam Pusaran Teknologi Digital dan Ancaman Rezim Otoriter
Ancaman terhadap kebebasan pers merupakan pintu masuk pemberangusan kebebasan berekspresi masyarakat sipil. Kritik terancam dibungkam.
Penulis Noviana Rahmadani15 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Dunia pers berada di persimpangan jalan. Disrupsi digital yang ditandai pesatnya perkembangan teknologi informasi dan perubahan perilaku konsumen telah mengguncang fondasi industri media tradisional. Platform digital yang menawarkan konten instan dan personalisasi telah menjadi magnet bagi audiens, memaksa media konvensional dihadapkan antara dua pilihan yaitu beradaptasi atau tergilas zaman.
Transformasi digital ini membawa sejumlah tantangan bagi jurnalisme. Model bisnis yang selama ini mengandalkan iklan cetak dan siaran mulai tergerus oleh dominasi platform digital yang menawarkan iklan berbasis data. Persaingan untuk mendapatkan perhatian audiens semakin ketat, sementara tekanan untuk menghasilkan konten yang cepat dan viral semakin meningkat.
Disrupsi media yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya mengubah lanskap industri informasi, tetapi juga menimbulkan berbagai tantangan etis bagi jurnalis. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nani Afrida mengungkapkan, perubahan ini telah menyebabkan beberapa pelanggaran kode etik dalam praktik jurnalistik.
Menurut Nani, disrupsi media telah mendorong beberapa media untuk meminta jurnalis mencari iklan, sebuah tindakan yang melanggar ‘pagar api’ atau batasan etis antara tugas editorial dan komersial. Selain itu, Nani juga menyoroti masalah gaji jurnalis yang berada di bawah upah minimum regional (UMR) yang semakin memperburuk kondisi kerja mereka.
Meski demikian, Nani menegaskan AJI tetap harus bertahan di tengah berbagai tantangan ini. Ia menekankan pentingnya resiliensi, tidak hanya untuk organisasi jurnalis, tetapi juga untuk menjaga profesionalisme dalam jurnalisme.
“AJI tetap harus bertahan dan profesionalisme jurnalis juga membutuhkan resiliensi,” ujar Nani.
Kendala lain yang dihadapi jurnalis masih sama, antara lain kekerasan. Jurnalis bekerja demi kepentingan publik harus menanggung risiko tinggi karena berada dalam posisi rentan mengalami kekerasan. Aliansi Jurnalis Independen melaporkan, kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebanyak 87 kasus, naik 42,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 61 kasus. Bentuk kekerasan paling umum adalah fisik 18 kasus dan serangan digital 14 kasus. Pelaku kekerasan didominasi oleh pihak kepolisian 17 kasus dan warga sipil 13 kasus.
Aliansi Jurnalis Independen yang bulan ini genap berusia 30 tahun mengingatkan, situasi kebebasan pers akan semakin memburuk, ditandai dengan meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis. Nani Afrida menyatakan, 40 jurnalis menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk sepanjang tahun ini. Angka ini merupakan alarm bagi kebebasan pers yang menjadi pilar demokrasi.
“Tahun ini (2024), terjadi 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis baik seksual, digital, fisik,” kata Nani.
Kerja-kerja jurnalistik di Indonesia semakin terhimpit di tengah pemerintahan yang kian otoriter. Rezim saat ini telah meningkatkan tekanan terhadap jurnalis dan masyarakat sipil. Watak represif yang semakin menonjol ini menciptakan atmosfer yang mencekam bagi kebebasan pers.
Salah satu kasus terbaru pada 2024 yang menimpa Hussein Abri Dongoran (nama samaran), pembawa podcast politik 'Bocor Alus' di Tempo, mengalami kejadian menegangkan pada Senin malam, 5 Agustus 2024.
Dilansir dari siaran pers AJI Jakarta, saat Hussein melintas di Jalan Pattimura, Jakarta Selatan, kaca belakang mobilnya tiba-tiba pecah. Peristiwa ini berlangsung di sekitar markas besar kepolisian RI, tepatnya di depan kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kesenjangan Gender dalam Industri Media
Di sisi lain, ketidaksetaraan gender dalam dunia jurnalistik Indonesia begitu nyata, terutama dari segi jumlah. Perempuan masih menjadi minoritas di bidang ini. Data menunjukkan bahwa persentase jurnalis perempuan jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ketimpangan ini menunjukkan adanya struktur sistemik yang menghambat partisipasi perempuan dalam profesi jurnalistik.
Survei Aliansi Jurnalis Independen tahun 2021 mengkonfirmasi bahwa industri media di Indonesia masih sangat maskulin. Data menunjukkan bahwa 80 persen dari total jurnalis adalah laki-laki, sementara perempuan hanya memiliki representasi yang sangat kecil.
Selain itu, jurnalis perempuan nampaknya belum memiliki ruang aman. Survei Aliansi Jurnalis Independen pada Januari 2023 mengungkapkan fakta bahwa 82,6 persen atau 704 responden jurnalis perempuan pernah mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan seksual sepanjang karier mereka. Hanya segelintir kecil, yakni 17,4 persen, yang menyatakan bebas dari pengalaman tersebut.
Bias gender juga tampak dalam cara respons terhadap kekerasan yang mereka alami. Ketika seorang jurnalis perempuan melaporkan pelecehan atau kekerasan, respons yang diterima sering kali mengandung unsur blame the victim di mana korban dianggap bersalah karena situasi yang mereka alami.
“Saat itu saya melakukan liputan malam. Karena rumah saya jauh, narsum menawarkan untuk sekalian pulang bareng karena searah, dengan mobilnya. Saat perjalanan pulang beliau minta singgah beli kopi dulu, lalu keluar pesan kopi. Setelah balik, kopinya dikasih ke saya. Setelah beliau ngasih kopinya, beliau mau langsung cium bibir saya. Saya kaget. Akhirnya enggak jadilah saya pulang sama bapak ini dan pulang dengan taksi,” ujar informan enam, dalam riset ‘Potret Suram Jurnalis Korban Kekerasan Seksual (Dampak Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia)’
Baca Juga: Laporan Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2023 oleh AJI
Indeks Kebebasan Pers 2023 Turun: Kesejahteraan Jurnalis Bermasalah, Media Belum Ramah Disabilitas
Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers
Menilik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Proyek Strategis Nasional
Gedung Usmar Ismail yang berlokasi di Jakarta menjadi saksi bisu perhelatan ruang bagi suara-suara yang sering kali terabaikan. Dalam rangka memperingati ulang tahun ke-30, Aliansi Jurnalis Independen menggelar pameran foto yang menyajikan 30 foto tentang kisah pilu warga terdampak proyek strategis nasional. Hasil jepretan para jurnalis yang bertugas di lapangan ini berhasil mengabadikan sisi lain dari pembangunan yang sering kali tersembunyi.
"Foto ini berbeda dengan yang ada di media pada umumnya, yang katanya PSN memberi dampak positif dan sebagainya. Foto ini memperlihatkan sebaliknya, dilihat dari sisi masyarakat yang mengalami ketidakadilan," ujar Sekjen AJI Bayu Wardhana, dalam keterangan resmi.
Bayu menyampaikan, foto-foto yang dipajang dalam pameran ini merupakan hasil liputan mendalam para jurnalis dari 3 daerah, yakni Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Jawa Barat. Dari 30 bingkai foto itu, 5 di antaranya merupakan hasil karya jurnalis AJI Samarinda yang cukup membetot perhatian.
Karya Kartika Anwar yang berjudul 'Proyek IKN Dikebut, Warga Pemaluan Krisis Air Bersih' ini, mengangkat realitas keras kehidupan warga di lapangan. Dia menggambarkan betapa sulitnya akses air bersih bagi warga yang tinggal di sekitar proyek pembangunan Ibu Kota Negara.
Selain itu, 2 karya lainnya milik Fitri Wahyuningsih di Kalimantan Timur juga menggambarkan dampak ekologis yang menghancurkan lingkungan sekitar akibat proyek pembangunan IKN. Foto itu diberi judul 'IKN Dikebut Debu Bikin Semaput' dan 'Hancurnya Sungai Pemaluan Akibat Pembangunan IKN'.
Tak hanya itu, karya Lutfi Rahmatunnisa, yang berjudul 'IKN Gilas Tanaman Herbal Suku Balik' dan 'Trobos Tanah Warga demi Ambisius Bandara VVIP IKN', menunjukkan bagaimana proyek ambisius pemerintah ini meminggirkan masyarakat lokal dan mengabaikan hak-hak mereka.
Sementara dari Maluku Utara, seperti foto Mahmud Ici, tentang kuburan warga Gemaaf, Halmahera Tengah, yang dibikin di pekarangan rumah lantaran terjadi perampasan lahan oleh perusahaan tambang sehingga tak ada lagi untuk perkuburan umum.
Kemudian foto Rian Hidayat Husni ihwal banjir di Halmahera Tengah yang terjadi akibat perusahan-perusahan tambang yang datang beroperasi. Ditambah foto Fadli Kayoa di Obi, Halmahera Selatan, tentang pembongkaran hutan yang dilakukan perusahaan tambang.
Di Jawa Barat, ada karya Virliya Putricantika meliput soal kereta cepat di Tegalluar dan Panel Surya di Waduk Cirata. Dan ada juga karya Anza Suseno yang mengangkat soal PLTU di Pelabuhan Ratu Sukabumi serta Abdulla Fikri Ashri yang mengangkat perjuangan perempuan petani Indramayu memperjuangkan energi bersih akibat beroperasinya PLTU di Indramayu.
"Ada sisi lain yang perlu dicermati, masyarakat tidak punya kuasa, mengalami ketidakadilan, entah tanah digusur, entah polusi debu, bahkan tidak punya lahan untuk pemakaman. Foto-foto ini justru menangkap kondisi yang 'tidak tertangkap' itu," ujar Bayu.
Sisi Lain IKN
Pemerintah Indonesia telah menetapkan empat pilar utama untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, salah satunya adalah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan konsep forest city dan sustainable city, IKN digadang-gadang mampu mengakselerasi pembangunan manusia, ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Di balik proyek ambisius Ibu Kota Nusantara, tersimpan kisah kelam yang tak banyak diketahui publik. Proyek monumental ini ternyata dihadapkan pada berbagai permasalahan serius yang jauh dari ekspektasi awal.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara telah membawa perubahan besar, termasuk di Kelurahan Pemaluan. Pembukaan lahan secara besar-besaran telah mengancam keberlangsungan hidup berbagai jenis tumbuhan, termasuk sembung dan jemelai, tanaman herbal yang selama ini menjadi bagian penting dari pengobatan tradisional Suku Balik.
Julak Ibud (56 tahun), seorang perempuan adat Suku Balik yang tinggal di Pemaluan, mengungkapkan keprihatinan atas semakin sulitnya menemukan tanaman ini yang telah turun-temurun digunakan sebagai obat tradisional dalam keluarganya.
Bahkan sebelum pembangunan IKN, Ibu Julak sudah merasakan kesulitan dalam mencari daun sembung dan jemelai. Ia menduga bahwa degradasi hutan di Penajam Paser Utara dimulai sejak kehadiran perusahaan pengolahan kayu pada tahun 1970-an. Sejak itulah jumlah tanaman herbal tersebut semakin langka.
“Perubahannya sangat terasa. Hampir semua warga di sini tahu, kalau setiap tahun perusahaan memperluas lahan. Soalnya banyak warga yang mengeluh karena lahan mereka diambil alih (perusahaan). Dari situ saya juga sadar kalau jemelai dan daun sembung sulit ditemui,” jelas Julak Ibud, dikutip dari longtime.id, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Buah pahit pembangunan Ibu Kota Nusantara pun dirasakan oleh Suhada (40 tahun). Ia tinggal 20 meter dari sungai Pemaluan. Kehidupannya tak terpisahkan dari aliran sungai itu. Sejak proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara digalakkan awal tahun 2022, sungai Pemaluan yang semula merupakan nadi kehidupan bagi warga sekitar kini telah berubah. Kualitas air merosot, akibatnya, warga terpaksa membeli air bersih dengan harga yang mahal atau mengantre berjam-jam di sumber air alternatif.
“Dari saya kecil, keluarga kami sudah pakai air sungai untuk sehari-hari, karena masih bagus airnya, tidak keruh seperti sekarang. Dulu bahkan sering banyak ikan, udang yang bisa kita dapat, sekarang susah,” ujar Suhada, dikutip dari Independen.id, Sabtu, 10 Agustus 2024.
*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Kebebasan Pers