• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #44: Hari Ini, 41 Tahun lalu, Enyak Meninggal Dunia

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #44: Hari Ini, 41 Tahun lalu, Enyak Meninggal Dunia

Di hari Senin itu aku belum lama tiba di kantor. Sekitar pukul 9 pagi seingatku.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Enyak. (Foto: Asmali)

18 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Di hari ini 41 tahun lalu aku kehilangan lagi satu orang yang aku sayang. Di tanggal 18 Agustus 1983, Enyak, ibuku meninggal dunia.

Aku ingat betul seperti kebiasaanku pulang sebulan sekali, di pertengahan Agustus itu aku sedang ada di Jakarta. Seperti biasa di perjalanan aku kerap membawakan apa pun yang disukai Enyak. Sekadar buah atau makanan yang aku temukan di perjalanan.

Enyak orangnya tidak banyak minta. Bahkan nyaris tidak pernah.

Dulu pernah aku tanyakan hendak dibawakan apa jika aku pulang ke Jakarta. Ia menolak.

“Enggak, Enyak mah enggak pengen apa-apa. Enyak udah kenyang dari muda makan, udah buat elu aja, apa yang elu pengen elu beli,” kata Enyak.

Ucapan yang sama persis ia sampaikan saat aku pulang di pertengahan Agustus itu. Saat itu Enyak memang sedang sakit.

“Tapi jangan sakit begini dong,” aku bilang.

“Besok juga Enyak udah sembuh, badan Enyak udah gemuk lagi,” jawab Enyak.

Aku hanya bisa menghela nafas sambil berdoa semoga Enyak selalu diberi kesehatan.

Minggu tanggal 17 Agustus 1983 aku kembali ke Bandung dengan perasaan berat hati meninggalkan Enyak yang sedang sakit. Bersiap Senin-nya bekerja seperti biasa.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #41: Ajak Enyak ke Bandung, Pindah ke Flat di Sarijadi
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #42: Namanya Delies
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #43: Kehidupan Asmara

Telepon dari Jakarta

Di hari Senin itu aku belum lama tiba di kantor. Sekitar pukul 9 pagi seingatku. Tiba-tiba aku dapat telepon dari atasanku di KP I, sementara aku ada di KP II. Aku tidak tahu apa keperluannya, namun aku tak menunda, langsung pamit dengan teman seruanganku untuk menghadap atasan.

Sesampainya di KP I setelah perjalanan singkat dengan shuttle bus aku langsung datang ke ruangan beliau.

“Selamat pagi pak. Ada kebutuhan apa ya pak memanggil saya ke mari?” tanya saya.

Dengan tenang ia malah balik bertanya padaku. “Kemarin ke Jakarta ya, Li? Bagaimana ibu?” tanya beliau.

“Ibu saya lagi sakit pak,” jawab saya.

“Sudah sekarang Asmali kembali ke Jakarta ya,” kata atasanku.

Aku heran sambil suaraku tercekat. Firasat buruk, aku membatin.

“Memang ada apa pak?” tanya saya.

“Sudah sekarang Asmali telepon dulu ke rumah,” kata atasanku.

Aku segera menelepon Tante Wita, tetanggaku yang saat itu memiliki telepon rumah.

“Ini Asmali, Tante. Ada apa ya di Jakarta,” tanyaku memburu.

“Sudah cepat pulang ke Jakarta, ibu sudah enggak ada, Li,” kata Tante Wita dari seberang telepon.

Aku hanya bisa terdiam sambil memegang telepon. Kemudian gagang telepon itu diambil oleh atasanku.

“Saya ikut duka cita Li atas kepergian ibu,” kata beliau.

“Terima kasih, pak,” ucapku setengah termenung.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//