MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #43: Kehidupan Asmara
Meski sibuk bekerja masih banyak kesempatan untuk melakukan banyak hal di luar kantor termasuk mengenal banyak orang baru.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
4 Agustus 2024
BandungBergerak.id – Pertanyaan Enyak soal pendamping hidup sempat menjadi pikiran bagiku. Lagi pula wajar, selama merantau ini fase demi fase kehidupan telah kujalani. Kalaulah aku menghitung, mungkin fase pertamaku sebagai orang dewasa adalah saat aku ke terima di STM Penerbangan, karena ini adalah pilihanku, bukan pilihan Baba atau Enyak.
Lalu fase kedua adalah bisa merantau dan bekerja di luar kota, fase ketiga adalah bisa kuliah. Ini aku ceritakan nanti. Fase keempat barulah menikah. Saat itu usiaku sudah menginjak 26 tahun. Tapi siapa ya orangnya?
Sebetulnya dari sejak di STM aku sudah mengenal beberapa gadis. Baik yang satu sekolah, maupun yang dari sekolah lain. Ada yang dekat di hati, ada pula yang memang sekadar kenal. Apa lagi setelah aku tinggal di Bandung, secara tak terasa tambah banyak yang kukenal.
Dari bermacam suku, latar belakang pendidikan dan tingkat sosialnya, termasuk juga ada yang Tionghoa dengan bermacam gaya dan tingkahnya. Ada yang dari Bandung, ada pula yang berasal jauh dari Bandung. Ada yang orang tuanya seperti sudah memberi lampu hijau ada juga yang terang-terangan melarang. Seperti Delies yang aku ceritakan sebelumnya. Perempuan yang aku kenal di bus.
Iya, aku sempat datangi rumahnya di Lengkong. Kemudian aku tahu dia anak tunggal. Orang tuanya kepala sekolah di sebuah SMA di Cirebon. Bahkan aku sampai beberapa kali datang ke rumahnya. Dikenalkan dengan kakek neneknya. Semua baik padaku. Tapi aku heran hubungan kami putus juga.
Seingatku putusnya cukup sepele. Ibunya menyangka aku orang Padang dan si ibu enggan kalau setelah menikah, anak tunggalnya ini aku bawa merantau. Padahal sudah aku bilang aku ini anak Betawi asli. Tetap ibunya enggak percaya. Aneh.
Lain orang, ada juga teman SMP-ku dulu. Namanya Nia. Ia pernah dekat denganku. Namun ketika aku merantau ternyata dia sudah punya pacar yang tidak lain adalah teman kerjanya. Pernah sekali waktu aku mampir ke rumahnya saat pulang ke Jakarta. Ibunya yang menyambut.
“Masih di Bandung De?” tanya ibunya. Aku iyakan.
“Gadis Bandung cantik-cantik ya,” komentar ibunya lagi. Aku hanya bisa tersenyum.
Tak lama Nia yang kutunggu datang.
Nia ini meski tinggal di Jakarta adalah keluarga perantau dari Sumedang. Dan sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke rumah Nia. Rasanya terakhir aku ke sini ya di masa awal-awal aku di Bandung saat aku baru keterima kerja. Saat itu aku pun belum punya pikiran membangun rumah tangga dan sebagainya.
Namun kali ini berbeda. Aku sudah ada keberanian untuk berkeluarga. Tapi pikiranku bercabang juga mengingat Nia sudah bekerja di Jakarta dan katanya sudah punya pacar. Kalau aku lamar dia, apakah dia mau meninggalkan pekerjaannya dan bersamaku pindah ke Bandung? Akan kerja apa dia? Jadi ibu rumah tangga? Aku rasa itu akan menyulitkannya karena ekonomiku pun tidak seberapa. Aku tidak mau bikin anak orang susah.
Kalau ia tetap kerja di Jakarta sementara aku di Bandung? Tidak baik juga rasanya membangun keluarga seperti itu.
Kami berbincang ke sana ke mari. Dan rasanya itu kali terakhir aku bertemu dengannya. Nia memastikan alamatku di Bandung dan kemudian beranjak untuk mengambil beberapa lembar foto sebagai kenang-kenangan. Aku ambil satu, lalu pamit. Aku memilih tak lagi mengejarnya. Aku berpisah bukan karena benci, tapi aku berpisah karena sayang dengannya. Berpisah karena kasihan, aku tak bisa memberi harapan hanya untuk menggantung waktu, tanpa kepastian.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #40: Ditikam di Angkot, Hampir Dicopet di UGD (2)
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #41: Ajak Enyak ke Bandung, Pindah ke Flat di Sarijadi
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #42: Namanya Delies
Bingung
Selain itu Nia dan Delies aku mengenal beberapa perempuan lain dengan cukup dekat. Di zamanku dulu, rasanya meski sibuk kerja masih banyak kesempatan untuk melakukan banyak hal di luar kantor termasuk mengenal banyak orang baru.
Ada salah satu perempuan yang bikin aku penasaran. Ia asli Bandung, sepertinya anak pengusaha karena bapaknya punya beberapa toko di Miramar. Dia juga atlet Perbakin, mobilnya Fiat 124. Beberapa kali aku dijemputnya dengan mobil itu dan datang ke rumahnya. Tapi dipikir-pikir setelah jalan beberapa kali aku minder juga. Rasanya jauh banget dengan hidupku. Aku enggak mau jadi laki-laki yang memanfaatkan kesempatan ini. Akhirnya aku pergi darinya, menolak banyak ajakannya dengan seribu alasan.
Dari hari ke hari terus berganti, aku mempelajari terus tentang hidup ini. Terutama untuk masa depanku di kantor tempat aku bekerja. Sebetulnya banyak para gadis atau karyawati yang cantik-cantik, cuma aku takut mendekatinya. Yang pertama karena banyaknya saingan, yang kedua pasti para gadis memilih laki-laki yang sarjana. Di kantorku banyak sarjana yang masih pada muda-muda. Kebanyakan dari ITB, ITS, universitas bagus semua, dari Polban juga, anak pejabatnya juga banyak. Lulusan luar negeri. Mana mungkin aku bisa ke pilih, apalagi aku ini hanya perantau yang tinggal di rumah susun.
Selain itu aku ragu mendekati teman kantor. Apalagi kalau sampai enggak jadi nikah setelah pacaran, bisa-bisa bikin aku jadi enggak betah kerja.
Setiap aku berkunjung ke rumah gadis yang sedang aku dekati, aku tidak pernah menceritakan tentang latar belakang keluargaku. Aku tidak bisa menawarkan banyak hal soalnya. Cuma punya cinta.
Aku juga tidak enteng bawa kenalanku ke rumah. Jujur saja aku pemalu orangnya. Jangankan gadis yang kukenal di Bandung yang jauh dari rumahku, gadis yang ada di Jakarta saja belum pernah aku bawa ke rumah. Kecuali kalau dia tahu dengan sendirinya.
Ah, bingung juga aku jadinya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau