• Berita
  • Suara Mahasiswi Bandung Menolak Politik Dinasti Jokowi

Suara Mahasiswi Bandung Menolak Politik Dinasti Jokowi

DPR dan pemerintah tidak berhak menganulir putusan Mahkamah Konstitusi. UU Pilkada bukan karpet merah bagi politik dinasti Jokowi.

Selebaran dan poster yang dibawa para demonstran menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Penulis Noviana Rahmadani23 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Gelombang aksi unjuk rasa yang menjalar di Bandung diikuti beragam kalangan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa dan mahasiswi. Mereka lantang menyuarakan penolakan politik dinasti Presiden Jokowi yang dibangun melalui revisi UU Pilkada.

Iqssyzia, salah seorang mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, mengkritik beberapa poin dalam revisi UU Pilkada 2024 yang berpotensi mengikis prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu pasal kontroversial adalah pembatasan usia calon kepala daerah. Menurutnya, revisi ini membuka peluang bagi anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri sebagai gubernur.

“Dampak daripada revisi UU Pilkada ini lebih kepada negatif karena secara tidak langsung akan menciptakan dinasti politik. Dari keluarga Jokowi secara tidak langsung masing-masing anaknya bisa untuk mencalonkan entah itu gubernur, entah itu akhirnya sekarang juga jadi wakil presiden dan itu tentunya tidak lagi bersifat demokratis,” kata Iqssyzia di sela-sela aksi ‘Rakyat Gugat Negara’ yang digelar di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. 

Menurut Iqssyzia, Revisi UU Pilkada akan mengurangi pengaruh suara rakyat dalam Pilkada 2024. Keputusan pemilihan kepala daerah akan lebih ditentukan oleh dominasi partai politik tertentu daripada oleh visi, misi, dan dukungan masyarakat.

Iqssyzia juga menyoroti keterwakilan perempuan dalam politik yang,  baik sebelum maupun sesudah revisi, masih sangat minim. Kesadaran akan pentingnya partisipasi perempuan dalam politik perlu ditingkatkan, terutama di kalangan generasi muda. Dia mendorong perempuan-perempuan yang kredibel dan berkualitas untuk terlibat dalam politik, bukan hanya berdasarkan nama besar atau popularitas.

“Dilihat dari calon-calon gubernur ataupun wali kota, rasanya masih sedikit yang perempuan,” ujarnya.

Langkah awal yang harus diambil untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam Pilkada adalah dengan meningkatkan kesadaran bahwa isu politik bukan hanya masalah sekelompok orang atau golongan tertentu, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh elemen, termasuk perempuan. Suara perempuan sangat penting dalam memperjuangkan ruang yang lebih besar dan kesempatan yang lebih baik bagi perempuan.

Iqssyzia menegaskan, perjuangan belum berakhir jika revisi UU Pilkada tetap disahkan. Mahasiswa dan masyarakat harus terus bersuara untuk menjaga demokrasi agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Kerja membangun kesadaran kolektif, mutlak dilakukan.

“Ketika kita diam saja, tentu kita akan secara tidak langsung semakin ditindas,” ucap Iqssyzia.

Para orator demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)
Para orator demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Baca Juga: Ricuh Demonstrasi Menolak Revisi UU Pilkada di Bandung, Korban Luka-luka Berjatuhan
Ekskalasi Demonstrasi Mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi di Bandung Meningkat
Demonstrasi Rakyat Gugat Negara Tumpah di Bandung

Paham Isu

Marlin, mahasiswi dari Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan, menggarisbawahi pentingnya pemahaman yang mendalam sebelum mengambil sikap.

"Jelas harus tahu dulu isinya apa, apa yang dimasalahkan," tuturnya. "Jangan cuma ikut tolak, tapi gak tau tuh yang ditolak apa."

Menurut Marlin, mahasiswa harus memahami isi revisi UU Pilkada dan alasan penolakannya agar tidak hanya menjadi suara yang hampa. Setelah memahami, langkah selanjutnya adalah mengajak berbagai kalangan, mulai dari keluarga hingga tetangga, untuk bersama-sama menolak revisi tersebut.

"Semoga dengan adanya pecah aksi di mana-mana, pemerintah jadi lebih melek lagi bahwa rakyatnya sebenarnya aware untuk keberlangsungan demokrasi di negara ini," ungkapnya. 

Marlin berharap, pemerintah tidak mengambil keputusan sepihak yang dapat merusak demokrasi, melainkan mempertimbangkan aspirasi masyarakat luas.

Para orator demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Para orator demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

Manipulasi Hukum

“Perubahan undang-undang Pilkada ini untuk siapa? Saya sebutkan saja untuk Kaesang (putra Presiden Jokowi), sang anak haram konstitusi kedua,” kata Rifqi, mahasiswa pascasarjana di salah satu universitas negeri di kota Bandung. 

Menurut Rifqi, RUU Pilkada menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya mengutak-atik sistem demokrasi di Indonesia demi kepentingan segelintir orang. Kekuasaan politik seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa.

Klaim bahwa revisi ini mewakili generasi muda adalah tidak mendasar. Menggantikan generasi tua dalam politik hanyalah retorika belaka karena nyatanya hanya generasi muda yang dekat dengan lingkaran penguasa yang bisa berkuasa.

“Untuk menggantikan generasi-generasi tua di dalam politik itu omong kosong,” kata Rifqi.

Dijelaskan Rifqi, masalah utama muncul ketika politik digunakan untuk memanipulasi hukum demi kepentingan tertentu. Idealnya, politik tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Kekecewaan Rifki terhadap RUU Pilkada mencerminkan ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dianggap hanya melayani kepentingan segelintir elite.

Rifki tegas menolak revisi UU Pilkada dan menyatakan bahwa UU tersebut harus dijalankan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Dia mengkritik keras upaya DPR yang dianggapnya mencoba mengabaikan putusan MK demi kepentingan kelompok tertentu. Menurut Rifqi, alasan DPRD dengan membawa-bawa marwah lembaga, tidaklah beralasan. 

"Padahal tujuannya satu. Tujuannya adalah untuk Kaesang. Nah itu yang munafiknya para pejabat negara ini,” tuturnya.

*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel tentang Demonstrasi Mahasiswa

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//