• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #64: Perlawanan Mahasiswa pada Revisi UU Pilkada

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #64: Perlawanan Mahasiswa pada Revisi UU Pilkada

Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa menjadi bukti bahwa ruh demokrasi masih ada dan dijaga oleh mereka.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Para orator demonstrasi menolak Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Kamis, 22 Agustus 2024. (Foto: Audrey Kayla F/BandungBergerak)

30 Agustus 2024


BandungBergerak.id – Genderang demokrasi bertalu kembali. Negeri ini kembali diliputi oleh kesangsian pada lembaga-lembaga bangsa! Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan kemunculan fenomena-fenomena politik yang ada.

Di seantero penjuru bangsa, terasa sekali spektrum perlawanannya. Pelbagai gema aksi demonstrasi yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat menjadi suatu pertanda bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Tidak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa memang menjadi peran yang paling menonjol dalam melantangkan dan menggelorakan suara aksi untuk menanggapi kegamangan dan ketidakpastian politik di negeri ini.

Masih hangat untuk diingat dalam waktu yang belum lama, fenomena bercengkeramanya partai-partai politik yang tadinya berseberangan dengan wilayah eksekutif. Yang seharusnya berfungsi sebagai stabilitas kekuasaan politik, justru malah merapat dan berkiblat pada tubuh eksekutif yang kemudian menghasilkan instabilitas atau ketakseimbangan pada tubuh politik.

Pada saat yang bersamaan, revisi UU Pilkada di arena legislatif telah memantik persoalan. Yaitu, tentang penetapan batas usia pencalonan kepala daerah. Hal ini berakar pada suatu putusan Mahkamah Agung yang seperti dielaborasi interpretasinya. Yang kira-kira dalilnya berbunyi “berusia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan Wakil Gubernurnya” dipelintir menjadi “ Berusia paling rendah 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon terpilih.”

Ironisnya hal ini selaras dengan putra kedua Presiden Jokowi yaitu Kaesang, yang akan berusia 30 tahun di bulan Desember 2024 nanti. Seumpama karpet merah yang telah diselonjorkan, hal ini tentu menjadi sebuah pemantik kecurigaan dan kekhawatiran bahwa putra kedua Presiden berpotensi maju sebagai calon di Pilkada nanti. Ini seperti karpet merah yang digelar.

Hal ini memantik reaksi. BEM Universitas Ma’soem pada tanggal 22 Agustus 2024 mulai mengumpulkan massa untuk melakukan perlawanan dan menjalin konsolidasi dengan pelbagai universitas lainnya. Dia antaranya  Unikom, Ukri, Al-Ghifari, PTDEK, ITB, Polban, IPI Garut, Sanggabuana, Piksi Ganesha, ULBI, LDKIA, UBK, IKOPIN, Polkesban, Polteksos, STIALAN, KBMK, Unpad, Upi, dan Unpas.

Hasil dari konsolidasi ini menghasilkan massa ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan gedung DPRD Jawa Barat di Kota Bandung. Mereka saling berpegangan tangan menyatukan kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian iklim politik di negeri ini.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #61: Mengenang Bioskop Baron yang Hit di Cicalengka Tahun 80-an
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #62: Jalan Petak Kaca-kaca di Cicalengka yang Membahayakan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #63: Semarak Gema Kemerdekaan di Cicalengka

Mahasiswa dan Demokrasi

Pada tanggal 23 Agustus 2024, massa mahasiswa berkumpul dalam jumlah yang masif. Mereka menyatukan tekad dan tujuan dalam melakukan aksi menyikapi ketidakpastian suasana politik di negeri ini. 

Mahasiswa memadati jalan di depan Gedung DPRD Jawa Barat untuk menyatakan sikap kekecewaannya pada lembaga negara. Ada yang menganggap bahwa aksi ini tidak ada faedahnya dan hanya menghasilkan kekisruhan yang tak jelas arah tujuannya. Tetapi, tudingan itu tidak serta-merta menyurutkan langkah aksi para mahasiswa itu.

Aksi tersebut bukan tanpa tujuan, tetapi sebagai keharusan untuk bersikap menghadapi kejanggalan yang ada di arena politik negeri ini. Partai-partai politik yang tadinya berlawanan, malah berselingkuh dan merapat dengan kekuasaan.

Partai politik sejatinya memang harus saling berlawanan dengan kekuasaan guna menciptakan keseimbangan. Justru dengan tidak adanya partai politik yang berlawanan dengan kekuasaan maka akan terjadinya absolutisme kekuasaan karena sudah tidak ada lagi kontrol pada kekuasaan.

Sejatinya, demokrasi memang harus terbentuk dalam nuansa dua kutub perlawanan antara pemerintahan dan oposisi, di mana partai politik menjadi salah satu oposisinya. Tujuannya agar keseimbangan pemerintahan dapat terjadi dan absolutisme kekuasaan dapat dihindari.

Para mahasiswa, BEM Universitas Ma’soem dan mahasiswa lainnya, mengkritik situasi ini. Mereka menentang perselingkuhan partai politik dengan kekuasaan eksekutif yang akan berdampak buruk bagi iklim demokrasi Indonesia karena ketidakseimbangan kekuasaan. Situasi ini tentu akan berdampak ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Mereka melihat bahwa presiden begitu sakti dapat menyapih dan menyederhanakan partai politik sebagai kolega pemerintah.

Kemudian, persoalan batas usia pencalonan kepala daerah yang tengah jadi bahan bahasan di legislatif, yang menafsirkan batas usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, menjadi berusia paling rendah 30 tahun pada saat pelantikan pasangan calon terpilih. Ini adalah suatu bentuk penafsiran yang reduktif dan inkonsisten, yang membuat publik curiga pada anak presiden dapat kemudian bisa mengikuti kontestasi pilkada lewat penafsiran sepihak batas usia calon kepala daerah.

Para mahasiswa kemudian memprotesnya. Bahwa negara ini bukan perusahaan keluarga yang melanggengkan kekuasaan dengan diberikan pada anak-cucunya. Negara dan sistem demokrasi justru menghendaki terjaminnya hak-hak setiap warga negara, bukan malah didominasi satu keluarga. Suara protes itu yang disuarakan dan di ekspresikan para mahasiswa dalam aksi demonstrasi depan gedung DPRD Jawa Barat pada tanggal 23 Agustus 2024.

Memang sudah kodratnya bagi mahasiswa untuk peduli dan peka pada kondisi negerinya. Oleh karena itu, aksi mahasiswa tersebut bukan tanpa tujuan semata. Lebih dari itu, ini merupakan panggilan hati nurani yang cinta terhadap bangsa dan membela hak-hak rakyatnya.

Demokrasi akan mati bila sudah tidak ada lagi yang turun ke jalan menggelar aksi demonstrasi dan memperjuangkan hak-hak warga negara. Alhasil, dengan adanya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa menjadi bukti bahwa ruh demokrasi masih ada dan dijaga oleh mereka.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//