• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #45: Hari Ini, 41 Tahun Lalu, Enyak Meninggal Dunia (Bagian 2)

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #45: Hari Ini, 41 Tahun Lalu, Enyak Meninggal Dunia (Bagian 2)

Setelah tujuh harinya almarhumah Enyak di Jakarta, aku kembali ke Bandung.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Enyak. (Foto: Asmali)

8 September 2024


BandungBergerak.id – Aku linglung mendengar kabar kepergian Enyak untuk selama-lamanya. Memang betul kata orang, kehilangan orang tua akan meninggalkan lubang di hati menganga yang mungkin selamanya. Boleh jadi kita senang dan teralihkan, tetapi bukan berarti kita melupakan.

“Pakai apa aku ini ke Jakarta? Sudah siang begini,” pikirku dalam hati.

Sekretaris atasanku memberiku minum. Tapi aku abaikan karena yang aku pikirkan hanya bagaimana bisa segera sampai ke Jakarta.

“Asmali pulang ke Jakarta, bereskan semua keperluan di sana. Sampai tujuh harinya, pulangnya ke Jakarta jangan sendiri, nanti ada yang nganter,” kata atasanku memecah keheningan di pikiranku.

Akhirnya aku meninggalkan kantor dan pulang ke flat untuk mengambil keperluan untuk beberapa hari selama di Jakarta nanti. Aku ke Jakarta ditemani oleh mas Gatot, rekan kerjaku.

Setelah sampai Terminal Kebon Kalapa, sudah masuk waktu Zuhur, aku memilih untuk menunaikan kewajiban Zuhur-ku terlebih dahulu.

Ada beberapa orang di masjid. Tanpa pikir panjang, aku bilang kepada beberapa orang yang hendak salat kalau ibuku baru saja meninggal, dan aku meminta doa mereka.

Setelah itu aku salaman, kepada semua jemaah, lalu aku meninggalkan Musala menuju bus ke Jakarta.

Sampai di Terminal Cililitan, Jakarta persis jam 4 sore. Aku turun dari bus langsung mengambil taksi ke rumah. Memang hanya tinggal menunggu aku saja.

Begitu sampai aku menangis sejadi-jadinya, untuk melepaskan rindu buat Enyak yang pergi untuk selamanya meninggalkanku.

Setelah itu disalatkan dan kemudian di bawa ke makam keluarga di depan Masjid Al-Hikmah. Enyak dimakamkan di sebelah Baba. Sebelum waktu Magrib semua prosesi sudah selesai.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #42: Namanya Delies
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #43: Kehidupan Asmara
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #44: Hari Ini, 41 Tahun lalu, Enyak Meninggal Dunia

Kembali ke Bandung

Setelah tujuh harinya almarhumah Enyak, aku kembali ke Bandung. Dalam hati yang masih diselimuti duka, aku bersyukur banyak teman yang peduli. Mereka menyalamiku sambil mengucapkan bela sungkawa.

Entah bagaimana kabar Enyak meninggal dunia terdengar tidak hanya oleh teman dekat tetapi juga yang jauh. Ini membuatku haru, sempat juga aku sampai menangis di tempat kerja karena begitu tambah terasa, begitu menyentuh hati.

Di saat dari perwakilan teman-teman datang padaku, sambil memberikan uang duka, semuanya tak terbayangkan dan aku tak bisa menceritakannya, semuanya hanya bisa kurasakan.

“Semoga kebaikan dari teman-teman semua yang peduli terutama atasanku dibalas oleh Allah dengan yang lebih baik lagi,” gumamku dalam hati.

Sekalipun Enyakku sudah meninggal, aku masih terbiasa pulang ke Jakarta pada setiap bulannya. Apalagi karena di rumah masih ada adik perempuanku dengan dua anaknya yang masih balita.

Namun kegiatan dagang yang biasa Enyak jalani setelah meninggalnya Baba, sudah tidak terlihat. Aku pun tidak menghiraukan isinya.

Walaupun kami dibesarkan dari keluarga pedagang, tapi sepertinya tidak ada yang semangat melanjutkan jejak usaha orang tua. Adik iparku di rumah hanya membuat bahan peci yang belum jadi atau di kampungku di sebutnya nyatur. Malamnya ngajar ngaji anak - anak di rumah orang tuanya di daerah Bintaro. Yang tidak begitu jauh dari kampungku tempatku tinggal.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//