• Kolom
  • CATATAN PERJALANAN PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Antoine Payen di Curug Jompong

CATATAN PERJALANAN PRIANGAN ABAD KE-19 #2: Antoine Payen di Curug Jompong

Antoine Payen melanjutkan perjalanannya ke arah timur menuju Curug Jompong. Ia tinggal hampir dua pekan di Tjipatat yang letaknya di selatan Gunung Lagadar.

Malik Ar Rahiem

Geolog, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung

Lukisan Curug Jompong. Mengingat selama di Tjipatat sangat sering turun hujan, maka lukisan Payen tidak diselesaikan dan hanya berbentuk seperti ini. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

9 September 2024


BandungBergerak.id – Ini adalah lanjutan dari tulisan Antoine Payen di Cipatik, yang diterjemahkan dari buku Antoine Payen: Peintre des Indes Orientales karya Marie-Odette Scalliet. Jika sebelumnya Payen berada di Cipatik selama 12 hari (30 Mei 1819-10 Juni 1819), kini Payen melanjutkan perjalanannya ke arah timur, yaitu menuju Curug Jompong. Lokasi tujuan Payen adalah sebuah desa bernama Tjelegong (letaknya di sebelah timur Gunung Lalakon). Namun ternyata menurut Payen melukis Curug Jompong lebih baik dilakukan dari sisi kanan sungai, sehingga ia memutuskan untuk menyeberang Ci Tarum dan bermukim di kampung Tjipatat, yang letaknya di sebelah selatan Gunung Lagadar.

Hari-hari pada waktu itu sangat sering mendung dan hujan, sehingga menghambat pekerjaan Payen. Secara total Payen berada di Tjipatat antara tanggal 10 Juni – 24 Juni 1819, kurang lebih 14 hari. Beberapa gambar dihasilkan dari periode ini antara lain: gambar suasana perkampungan, gambar orang-orang di kampung, gambar Curug Jompong, dan sebuah peta lokasi daerah sekitar.

Berikut catatan harian Antoine Payen.

Baca Juga: PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #1: Zaman Kolonial
PENELITIAN PENINGGALAN PURBAKALA DI BANDUNG RAYA #2: Pascakemerdekaan
CATATAN PERJALANAN PRIANGAN ABAD KE-19 #1: Kisah Antoine Payen di Cipatik, Melukis Dua Curug yang Hilang di Citarum Tahun 1819

10 Juni 1819

Aku berangkat dari Cipatik pagi ini pada pukul 6. Dari kepala desa dan saudaranya aku mendapatkan semua yang mampu mereka beri dan usahakan. Dari hatiku yang terdalam aku sangat berterima kasih atas itu semua. Mereka sama sekali tidak tidak memiliki kesombongan, seperti para tuan-tuan tanah pada umumnya.

Ketika sampai di Tjelegong, aku tiba di kampung yang bahkan lebih merana daripada Tjisambang. Di sini terdapat 4 rumah, yang paling besar ukurannya tidak lebih dari 20x10 (kaki). Aku pergi ke air terjun yang disebut-sebut sangat dekat, namun ternyata sebaliknya. Jalannya sangat jauh dan melelahkan, sekurang-kurangnya 2 mil. Air Terjun Tjompong meskipun mirip dengan Kapek dan Lanang, namun di sini pemandangannya lebih indah. Air menggerus bebatuan di kiri kanan dengan cukup kuat, sehingga reruntuhan batuan tersebar di kedua sempadan sungai, yang sangat terjal dan dipenuhi dengan pohon dan tanaman merambat.

Bukit-bukit yang mengelilingi daerah ini adalah bukit-bukit batu. Beberapa bukit ini menyingkapkan bebatuannya, terutama Gunung Pantjir, yang di kakinya terletak air terjun. Deretan perbukitan bermula dari Gunung B, kemudian berlanjut ke Tjililin, Gagar Poeloes, Pasir Gaboes, Kamouning. Gaboes terhubung dengan Gounung Boelante (Buleud). Sekitar 1,5 mil di depan Tjipatik, perbukitan ini memutar setengah lingkaran melewati Bukit Klotok (?), Sitoe Wangi, Pasir Kalapa, Lalakon, Panendjoan, Hawboel Iesok, Pantchir, Koreh Kotok, dan berakhir di sungai. Di bukit yang terakhir inilah pegunungan bertemu dengan sungai, yang dilewati oleh Curug Jompong, Lanang, dan Kapek.

Di seberang sungai bukit-bukit berlanjur: Tjimayi, Salatjaw, Bahoon, Pada kassi, Sanggar. Tjililin dan Tjipatik berada di dataran-dataran di antara bukit-bukit. Jalan utama dari Parung Serab ke Cililin berada di antara Panendjoan dan Hawboel Iesok. Di sini pemandangannya sangat luas, menghampar ke arah Dataran Bandung. Dari kiri ke kanan terdapat Burangrang, Tangkuban Prahu, Boukit Toengoel, dan Boekit Tjarian. Kemudian terdapat Malabar,yang tersambung dengan Kendang lewat Gunung Tiloe dan Sombong. Gunung Buleud berada sejajar dengan Malabar, dan di antaranya terdapat Distrik Tjisondari. Di kaki Malabar terdapat Banjaran, di baliknya terdapat Guntur.

Aku kembali ke air terjunku. Air terjun ini sangat menarik untuk digambar, namun aku harus ke seberang, karena pemandangannya lebih baik. Aku memutuskan untuk menyeberang dan menetap di Tjigoegoer, sehingga aku bisa lebih nyaman. Aku mengirim orang kepada seorang Radin yang aku kenal ketika bertemu di Tjisambang, kemudian aku kembali ke kampung. Aku melewati kebun kopi di lereng bukit antara sungai kemudian turun menuju Kampung Gajah. Desa ini adalah desa yang indah, yang berada di tepi sungai, yang alirannya mengalir tenang. Keadaan desa ini sangatlah memesona. Konon dulu terdapat gajah di daerah ini, sehingga desa ini diberikan nama demikian. Setelah menyeberangi Tjitarum, aku melwati kebun kopi yang luar biasa dan tiba di Kampung Tjipatat, di mana aku bermukim satu mail jaraknya dari Tjompong. Di sini mereka mengeringkan kopi yang diproduksi dari berbagai kebun di sekitar.

Sudah delapan hari tidak turun hujan. Untuk pertama kalinya sejak keberangkatan, aku melihat debu. Aku mengunjungi air terjun dan tahu bahwa aku bisa menggambar sama baiknya di sore hari dan siang hari, karena keduanya memberikan pemandangan yang indah.

11 Juni (Tjipatat)

Astaga! Aku rasa awan mengikuti jejakku. Hujan turun pada pagi hari dan langit sangat berawan. Aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali membuat sketsa untuk gambarku. Cuaca yang sama juga pada sore hari. Aku menembak seekor merak betina dan dua ekor merpati Amboine, yang sering disebut caneel duyven. Aku menerima surat dari professor dan sebotol Madeira.

Pada sore hari aku memikirkan rencana untuk melukis esok hari, membuat sketsa dan gambaran-gambaran atas apa yang ingin aku lukis, termasuk tempat-tempat yang ingin aku datangi.

Desa Tjipatat. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Desa Tjipatat. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

12 Juni (Tjipatat)

Aku menjawab surat dari Profesor dan mengembalikan grafometer kepadanya. Hari itu hujan turun. Aku menghabiskan pagi hari dengan membangun instrumen yang aku perlukan. Pada pukul 11 aku sudah selesai dengan peralatanku dan cukup puas. Namun hujan masih belum berhenti. Sudah tiga hari percuma tidak bisa melukis.

Profesor menulis kepadaku bahwa Dataran Tjililin itu datar, namun diselingi oleh beberapa rantai pegunungan yang sudah aku sebutkan sebelumnya. Bapaknya Kahiran membawakanku kentang. Dia mempunyai kebun kentang di sekitar Bandong.

Gambaran orang-orang, atap rumah dan dekorasinya, serta perabotan rumah tangga. Perhatikan perempuan pada jaman itu bertelanjang dada, atau hanya berutupkan kain lebar. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Gambaran orang-orang, atap rumah dan dekorasinya, serta perabotan rumah tangga. Perhatikan perempuan pada jaman itu bertelanjang dada, atau hanya berutupkan kain lebar. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

13 Juni (Tjipatat)

Cuacanya sangat bagus, sehingga aku tidak bisa meninggalkan rumah sampai malam! (satir). Aku menerima surat dari Profesor dan juga dari Theodorus Bik (yang menulis kepadaku dalam bahasa Melayu). Aku membalas dengan bahasa yang sama. Semoga semua iblis membawa awan hujan ini. Aku bisa mengamuk seperti orang gila. Ayo tidur!

14 Juni (Tjipatat)

Aku bisa melukis pagi ini. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menggambar langit pada lukisanku. Mungkin cuaca akan lebih baik lagi nanti. Elangku mati dan bangkainya kini masuk ke dalam koleksi kulit burung yang aku punya.

Entah apakah ini hanya perasaanku saja, namun seharian aku tak terpikir apa pun selain Brussel. Tuhanku, Pauline, pikiran-pikiran buruk terbayang dalam kepalaku! Aku tidak menerima surat sejak April. Sudah setahun lebih sejak aku begitu cuek dengan takdirku. Aku takut menerima berita buruk dari Eropa. Tapi surat dari Eropalah satu-satunya yang aku inginkan, lebih dari apapun. Andai saja aku punya teman di sini. Tapi semuanya aku tinggalkan di Brussels: Freins, Adan, De Cellier, Carton, Leuquain, mereka ada di sana semua. Sementara aku sendiri di sini.

15 Juni (Tjipatat)

Hari ini luar biasa. Aku melanjutkan 2 proyek lukisanku. Aku menangkap burung. Tidak ada hal yang baru.

16 Juni (Tjipatat)

Pagi yang indah, namun siang hari turun hujan. Aku sudah menyiapkan catatan untuk Augusto yang akan segera berangkat ke Buitenzorg untuk membelikanku barang-barang. Tapi aku malu gara-gara uang. Profesor belum membayar kami dan aku masih berhutang 12 Rupiah di sana.

17 Juni (Tjipatat)

Aku bekerja cukup baik hari ini. Di perjalanan menuju air terjun siang ini aku menembak burung pemakan lebah. Aku menerima surat dari T.  Bik. Dia telah mendaki Tambag Royong, yang ketinggiannya 5.500 kaki di atas permukaan laut.

18 Juni (Tjipatat)

Hari ini menandai 4 tahun sejak negeriku selamat dari kehancuran akibat Waterloo dan kemeranaan akibat orang gila yang sangat kubenci. Betapa banyak orang sengsara karena ambisi orang ini! Betapa bodohnya manusia itu. Empat tahun lalu aku menghabiskan tiga hari dan tiga malam yang kini serasa mimpi. Waktu itu aku begitu dekat dengan Pauline-ku, kebahagiaanku bermula di sana. Kini aku begitu jauh darinya. Apakah aku akan bertemu dengannya lagi? Dia begitu baik, begitu cantik, sehingga siapa pun yang melihatnya sepertinya akan jatuh cinta kepadanya. Tapi dia berjanji kepadaku akan mencintaiku, dan aku memberinya cincin ibuku. Ini akan menjaga Pauline tetap bersamaku.

Saat makan malam aku bersulang untuk para tentara yang memperjuangkan negeri kami. Aku meminta ronggeng untuk menari. Kami bernyanyi dan menari sepanjang malam dengan bayaran 2 rupiah. Itu adalah pesta yang menyenangkan dengan harga yang sangat murah!

19 Juni (Tjipatat – Bandong – Tjipatat)

Cuaca cukup cerah hari ini. Aku berkuda untuk bertemu dengan Tuan Steitz de Wilde di Bandung. Dia ikut denganku kembali ke air terjun. Pada malam hari ia bermalam di Lewi Gadja. Besok ia mau ikut melukis denganku.

Gambaran bale-bale dan rumah bambu. Perhatikan tiga orang ibu-ibu, ketiganya bertelanjang dada. Payen menulis pada gambar ini: Saung dan Gubuk. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Gambaran bale-bale dan rumah bambu. Perhatikan tiga orang ibu-ibu, ketiganya bertelanjang dada. Payen menulis pada gambar ini: Saung dan Gubuk. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

20 Juni (Tjipatat)

Kami bekerja sampai jam 11. Aku berharap bisa menyelesaikan lukisanku besok, yang sepertinya sangat memungkinkan. Tuan Steitz telah kembali ke Bandung. Mungkin dia akan ikut ke Tjiwidey denganku.

Sore ini aku mengerjakan lukisan matahari terbenamku yang progresnya cukup lambat. Gambar airku seperti wol.  Aku ingin menyelesaikan ini dengan cepat, tapi semakin kumelukis, semakin banyak kesulitan yang aku rasakan. Aku menangkap satu ngengat besar yang baru keluar dari kepompong.

21 Juni (Tjipatat)

Aku tidak bisa bekerja hari ini. Suasanya sangat tidak menyenangkan. Aku menulis kepada profesor pagi tadi untuk meminta uang.

Aku keluar dan menembak seekor merak. Pembantuku segera mengulitinya. Rasanya tidak enak dan hambar.

22 Juni

Hari ini memungkinkanku untuk menyelesaikan dua lukisan. Tapi aku tidak menerima kabar dari utusan-utusan yang aku kirim ke Lamayang dan Bandung. Aku tidak tahu apakah aku bisa berangkat besok. Tadi sore ketika aku menggambar, sepasukan monyet datang dan berkumpul di batuan di kaki air terjun. Permainan mereka membuatku tertawa. Aku ingin menggambar objek di dekat lukisanku, mungkin monyet-monyet ini bisa jadi objeknya.

Aku menembakkan pistolku dan mereka bergegas berlarian.

23 Juni

Hari ini hujan seharian, sehingga kau tidak bisa bekerja. Pada sore hari aku menerima 50 Rupiah, 14 botol anggur, dan setengah ekor babi. Ini cukup untuk logistikku sementara.

Profesor menulis bahwa dia sudah mendaki puncak Gunung Tilu yang ketinggiannya sekitar 5.000 kaki. Tiloe dalam bahasa Sunda berarti Tiga. Dia mengundangku untuk bergabung dengannya dalam beberapa hari dan mendorongku agar segera menyelesaikan gambar bukit-bukit di sini. Aku akan mengerjakannya besok dan pergi dua hari lagi. Waktuku habis begitu banyak di sini.

Peta Gunung-gunung sekitar Curug Jompong. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)
Peta Gunung-gunung sekitar Curug Jompong. (Foto: Dokumentasi Malik Ar Rahiem)

24 Juni

Pagi ini aku menyelesaikan peta gunung di sekitar. Ada beberapa kesalahan tapi tidak apa-apa. Sisa hari ini aku gunakan untuk membereskan bawaanku dan besok aku akan pergi.

Bawaanku bertambah lagi. Aku punya 16 dongdang, yang memerlukan 32 orang untuk membawanya. Di sini mereka disebut Kuli atau Batur. Mereka dipandu oleh dua orang mandor. Ada delapan orang yang membantuku, 4 ekor kuda, 3 ekor anjing, dan 2 ekor monyet yang jinak tapi sangat nakal, sehingg harus selalu aku ikat. Monyet ini mengikuti aku ke mana-mana. Dia punya lebih dari satu trik yang dia pakai untuk mencuri makanan. Anjingku namanya Bruxelles. Dia sudah terampil untuk berburu tikus dan menjaga rumah.

Ini adalah nama orang-orang yang membantuku: Augusto, dia pembantu yang memastikan semuanya; Bousous dan Dederone, adalah juru masak. Mereka banyak berbicara dan membuat makananku gosong. Kahiran menjaga burung-burungku dan berkuda bersamaku. Dia masih muda dan sering aku harus menendang pantatnya agar dia bangun dari tidurnya. Gamet dan Hamit menjaga kudaku. Hamit punya keterampilan menguliti burung. Rariam memotong rumput. Tjandra adalah anak yang baik dan pemberani, yang bisa aku andalkan sewaktu-waktu. Dia membuatkan aku rokok dari tembakau Jawa. Ada juga Ki Hankas, lelaki tua yang mencarikan aku serangga, kupu-kupu, ulat, dll. Dia bisa menyanyikan lagu Radja Poelang dengan sangat baik dan juga roman-roman sejenis. Mereka semua masing-masing dibekali dengan satu keranjang. Aku juga ditemani oleh seorang Juragan yang berganti-ganti setiap kali berpindah kabupaten. Dia yang bertanggung jawab untuk rumah dan juga makanan.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem, atau artikel-artikel lain tentang Situs Geologi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//