• Berita
  • KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Kesenian Rakyat Semakin Terpinggirkan

KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Kesenian Rakyat Semakin Terpinggirkan

Kesenian rakyat biasa digelar di kampung-kampung Kota Bandung. Mereka terdesak dengan ketiadaan ruang-ruang publik.

Hajat buruan di Kampung Cilameta, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam24 September 2024


BandungBergerak.idUdara sore di Kampung Cilameta, RW 01, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung terasa sejuk, Sabtu, 21 September 2024. Pengukur suhu menunjukkan 29 derajat celcius. Warga kampung Cilameta 01 berkumpul di sepetak ruang tersisa yang dihimpit oleh sawah dan rumah warga. Di sana kesenian Sunda dipentaskan. 

Pentas kesenian rakyat tersebut digagas oleh Pemuda Karang Taruna 01 (Kancil 01) untuk menyambut hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-79. Ini adalah acara puncak, setelah sebelumnya mereka mengadakan mapag 17an pada 16 Agustus lalu di sebuah pelataran rumah warga.

Hajat lembur, demikian acara puncak yang warga selenggarakan. Mengusung tema tuwuh kanthi budaya atau tumbuh bersama budaya, kampung Cilameta sudah terkenal dengan antusiasme warganya yang lekat dengan kesenian buhun, seperti tarawangsa, karinding, sampai bajidoran.

Hajat lembur diadakan seharian suntuk, mulai dari pagi hingga tengah malam. Adapun acara yang dipentaskan ialah; reog, tarian anak-anak dan ibu-ibu, seni reak, rampak sekar, karinding, tarawangsa, kabaret, dan ditutup oleh bajidor. Banyak dari warga antusias mementaskan bakatnya di acara tuwuh kanthi budaya ini, terutama para pemudanya.

Cantika, 18 tahun, warga asli Cilameta sibuk mengabadikan momen menggunakan gawainya ketika pemuda Cilameta memainkan karinding. Grup bernama Karinding Putra Campaka itu mampu menghibur warga, tak terkecuali Cantika. Mereka membawakan lagu kesundaan yang diaransemen menggunakan karinding.

Cantika sudah menyukai kesenian Sunda sejak kecil. Bisa dibilang, dia tumbuh berbarengan dengan kesenian Sunda. Hajat lembur bagi Cantika adalah momen yang ditunggu-tunggu untuk mengenalkan budaya Sunda ke generasi baru.

“Jadi biar ga punah si budaya teh,” tutur Cantika, setelah menonton penampilan karinding. 

Cantika menuturkan, melestarikan kesenian buhun harus dikenalkan kepada anak-anak. Cantika juga berharap agar anak-anak mampu untuk memainkan kesenian Sunda ini.

Wisnu, 23 Tahun, sepakat dengan Cantika. Dia merupakan konseptor di balik acara ini. Pemuda yang berkuliah di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) ini menjelaskan, tujuan di balik acara tuwuh kanthi budaya ialah agar para pemuda tumbuh dengan kesenian Sunda.

“Jadi artinya tuh di mana para pemuda tuh lebih aware lagi terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal,” tutur Wakil Ketua Kancil 01. “Yang artinya tumbuh tuh artinya menyatu dengan kebudayaan itu sendiri.” 

Acara hajatan ini menghabiskan waktu selama tiga bulan. Sebanyak 50an panitia dilibatkan. Bahkan Kancil 01 juga mengundang pemuda RW sebelah untuk ikut berpartisipasi. Wisnu menyebut mereka sebagai volunteer. 

Dalam pendanaan, Kancil 01 menggantungkan dari partisipasi warga. Salah satunya dengan menjual produk makanan atau sembako. Nantinya warga yang ikut berpartisipasi akan diberi kupon berhadiah. Total, Kancil 01 menghabiskan kocek sebesar 7 juta rupiah untuk memeriahkan hajat lembur.

Hajat buruan di Kampung Cilameta, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Hajat buruan di Kampung Cilameta, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Menyepitnya Ruang Berkesenian

Semburat layung menciptakan langit berwarna oranye. Laju kereta membawa angin ke sekitar panggung. Guncangannya menyisakan debu berterbangan. Beberapa warga menutup mulut dan hidung setiap kereta api lewat. Di langit, kumpulan burung blekok berterbangan ke arah selatan.

Sawah-sawah di pesisir kampung Cilameta terlihat sudah siap dipanen. Menghitung tahun ke depan, sawah itu akan segera dibangun gedung. Menurut Wisnu, sawah dan tanah sepetak itu merupakan bagian milik kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Untuk menandai daerah kekuasaanya, kampus UIN Bandung menutup kawasan itu dengan benteng panel beton berwarna putih yang memanjang. Akibatnya, kampung Cilameta dikepung oleh benteng. Untuk jalan di gang saja, nyaris tidak bisa dua arah. Tiap kali berpapasan, salah seorang harus mengalah agar tidak bertabrakan. Kendaraan bermotor pun sulit untuk bisa memasuki kawasan padat bangunan ini.

Cantika masih ingat betul di masa kecil ia suka bermain bola di lapangan, ketika kampung masih punya lapangan. Kini lapangan tersebut sudah berganti dengan bangunan baru. Cantika sedih kampungnya tak lagi punya lahan luas untuk bermain bola.

Maraknya pembangunan seperti masjid Al Jabbar dan Summarecon acap membawa debu dan polusi. Ditambah, jalan yang sempit juga membawa kemacetan tiap hari libur tiba. Banyak wisatawan berdatangan ke masjid apung itu.

Cantika prihatin, anak kecil di kampungnya tidak bisa merasakan bermain di lapangan. Bahkan, acara puncak hajat lembur terasa kurang meriah karena minimnya lahan terbuka.

Warga harus berdesakan dan berdempetan di lahan sepetak itu. Bahkan, panggung berukuran 6x4 itu harus dimaksimalkan dan mepet ke area sawah. “Cuma ya gimana memenej tempatnya yang kurang memadai,” keluh Cantika yang berharap acara hajat warga dapat diadakan secara maksimal.

Wisnu dan pemuda Kancil 01, awalnya berencana mengadakan acara hajat lembur ini di kawasan urugan kampus 2 UIN Bandung. Namun, rencana tersebut diurungkan sebab lokasinya cukup jauh. 

Kampus 2 UIN Bandung ini memiliki luas tanah sebesar 30 hektare. Dari total tersebut hanya 8 hektare yang terpakai. Sisanya masih berupa sawah dan lahan kosong. 

Belum lagi, menurut Wisnu mengadakan acara di pinggir rel kereta api cukup riskan. Selain terganggunya oleh polusi suara yang dihasilkan kereta api, acara dipinggir rel memiliki risiko bahaya yang lebih besar. Untuk lahan parkir pun tidak ada. Padahal, banyak tamu undangan yang datang dari luar untuk menyaksikan hajat lembur.

Namun, dia tak punya pilihan selain mengadakan di lahan yang tersisa itu. Siasatnya adalah warga butuh hiburan dan mengembangkan bakat keseniannya juga. Maka dari itu, Wisnu dan para pemuda Kancil 01 memutuskan untuk mengadakan di lahan yang disebut lahan serba guna. Lahan tersebut sering dipakai acara hajatan juga.

Tidak Dapat Berbuat Banyak

Kampung Cilameta merupakan potret dari menyempitnya ruang terbuka di Kota Bandung. Kampung Cilameta termasuk ke dalam kelurahan Cimincrang yang memiliki luas 1,61 kilometer persegi (data: bps Kota Bandung, terakhir diperbarui 1 Maret 2024). Total penduduk di Cimincrang sekitar 4.114 (BPS, terakhir diperbarui 25 Juni 2020).

Cimincrang merupakan salah satu kelurahan yang masuk wilayah Kecamatan Gedebage. Opendata Bandung menjelaskan, kecamatan Gedebage memiliki luas 965,738 hektare, sekaligus menjadi kecamatan terluas di antara 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung. Selain Cimincrang, kelurahan di Gedebage terdiri dari Cisarantren Kidul, Rancabolang, dan Rancanumpang. Cisarantren Kidul menjadi kelurahan paling luas di kecamatan ini, yakni 413,141 hektare.

Kampung Cilameta dihimpit oleh dua bangunan besar, yaitu Al Jabbar dan Kampus 2 UIN Bandung. Sangat kontras bila dilihat dengan keluasan dua bangunan tersebut. Al Jabbar sendiri memiliki total luas sebesar 25,9 hektare yang mampu menampung 33 ribu jiwa.

Bahkan, masjid bernilai 1 triliun rupiah yang didanai oleh APBD itu memiliki luas wilayah danau sebesar 6,9 hektare. Bahkan, luas parkiran, taman bermain, dan ruang terbuka hijau memiliki luas sebesar 11,1 hektare. Tidak hanya Cilameta yang minim ruang terbuka, kampung sekitarnya pun sama terdampak.

Ketua RW 1 Dedi Wihatna (52 tahun) menyadari kampungnya sudah semakin sempit. Ketiadaan ruang terbuka membuat masyarakatnya tidak bisa leluasa dalam berkegiatan. Kesenian dan olahraga, contohnya. Dedi mengatakan tidak adanya ruang terbuka membuat warganya harus menumpang jika ingin melakukan kegiatan olahraga atau berkesenian.

Untuk memenuhi kebutuhan warganya dalam berolahraga, dengan terpaksa mereka harus patungan untuk menyewa sebuah gelanggang olahraga (GOR) atau lapang bola. Mau gimana lagi, ujar Dedi, hal itulah yang bisa dilakukannya. “Jadi sekarang tuh harus bayar, karena lahannya juga milik orang lain,” kata Dedi.

Dedi sendiri memiliki visi yaitu istiqomah dalam mempertahankan budaya. Tantangan warga kampung Cilameta adalah bagaimana memanfaatkan ruang yang tersisa untuk kegiatan kesenian. Banyak pemuda yang sudah terjun dalam kesenian seperti bermain karinding, tarawangsa, dog-dog, hingga kabaret.

“Jadi jangan sampai punah lah, tidak ada untuk generasi ke depan itu tidak mengetahui budaya asli (sunda),” ujar Dedi.

Keinginan Dedi dan warganya ialah memiliki lahan luas untuk berkegiatan. Namun, dia menyadari bahwa warga tidak bisa melakukan apa-apa, sebab tanah yang tersisa atau yang sudah dibangun merupakan hak orang lain.

“Ya kalau secara prosedural, karena memang wilayah kita memang segini, apa adanya, kemudian tanah juga kan itu tanah milik orang lain,” tutur Dedi yang merupakan warga asli buhun Cilameta.

Dedi bercerita, dulu semasa mudanya tiap ada acara besar, kampungnya selalu mengadakan acara dengan meriah. Panggung besar, warga tidak berdempetan, dan segalanya diakomodir dengan baik. Kendati lahan tersebut berstatus milik orang lain.

Jadi warga kampung Cilameta tidak mempunyai lapangan sendiri. Adapun lahan kosong, itu pun bentuknya hanya numpang. Kendati demikian, para pemuda tidak kehilangan cara agar bisa menyelenggarakan perhelatan kesenian. Lahan seadanya itu bisa jadi tempat untuk menyiasatinya.

Selain itu, Dedi juga mempunyai solusi untuk mengadakan hajat lembur yang lebih besar. Dedi mengatakan para warga yang berada di kawasan kelurahan Cimincrang dapat berkolaborasi untuk mengadakan acara di satu titik. Karena dia sadar, tidak hanya kampungnya saja yang sudah tidak mempunyai lahan terbuka, kampung lain pun senasib dengan Cilameta.

“Tidak ada di suatu wilayah untuk bisa mengembangkan seni di wilayahnya masing-masing itu karena fasilitas lapangannya udah tidak ada,” tuturnya.

Bahkan Cantika pun menyadarinya. Kini di kampungnya lahan kosong dan sawah sudah berganti menjadi beton. Dia dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak.

“Ya kalau misalnya harapan mah pengin agak dibesarin (ruang/lapangannya) cuma kan sekarang gimana yah udah sulit mau dibesarin (diperlebar) juga,” ujarnya. “Soalnya udah makin menyempit, makin banyak tanah yang diperjual belikan lalu dibangun.”

Baca Juga: KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Ramah Bagi Kawan-kawan Difabel
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Persoalan Parkir Lebih dari Getok Tarif, Ada Potensi Puluhan Miliar Rupiah yang Belum Bisa Terserap
KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG: Belum Mampu Memilah Sampah

Hajat buruan di Kampung Cilameta, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Hajat buruan di Kampung Cilameta, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, Sabtu, 21 September 2024. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Aspirasi Warga

Jam di gawai menunjukkan pukul 17.45 WIB. Azan maghrib berkumandang tepat setelah penampilan tarawangsa. Lampu laser di atas panggung pun dinyalakan. Lampu laser warna-warni itu tak kalah cantik dengan lampu yang menyala di masjid Al Jabbar.

Selama jeda satu jam itu dimanfaatkan oleh panitia untuk beristirahat. Sebagian panitia juga sibuk untuk mempersiapkan acara berikutnya, yaitu kabaret dan bajidoran. 

Setiap tahunnya, warga Cilameta sering mengadakan acara berbasis kesenian. Baik itu hari 17an atau Sumpah Pemuda. Wisnu berharap di tengah masyarakat yang semangat untuk melestarikan budaya kesenian ini dapat diperhatikan oleh pemerintah. Salah satunya dengan menyediakan lahan terbuka untuk warganya.

Dia tidak menampik, ketiadaan ruang terbuka dapat menjadi penghambat warganya untuk melakukan kesenian. “Banyak harapan dari kami terutama buat pemerintah lebih aware lagi terhadap sarana fasilitas warga gitu,” harap Wisnu.

Cantika juga melontarkan harapan yang sama. Pemerintah seharusnya mampu mengakomodir kebutuhan warga. Bahkan, Cantika pun berat hati jika kelak dia harus meninggalkan tempat kelahirannya itu. Sudah banyak kenangan dan kontribusi kepadanya yang sudah dia dapatkan selama tinggal di Cilameta.

“Jadi bingung ke akunya juga mau pindah (rumah) atau enggak. Tapi yang jelas pengin ada lapangan kayak masa kecil di Cilameta tuh. Enggak pengin pindah,” tuturnya.

Namun, Dedi menambahkan bahwa yang terpenting adalah warganya dapat melestarikan budaya keseniannya. Dia akan terus mendukung bagaimana pun caranya untuk mengakomodir warganya agar terus aktif berkegiatan. Sebab dia tidak ingin kesenian Sunda punah begitu aja karena lekang oleh zaman.

“Jadi sekarang mah disesuaikan sajalah. Yang penting pelaksanaan untuk menguatkan adanya budaya tidak sampai punah tetap berjalan saja,” ungkap Dedi.

Data keberagaman jenis kesenian di Kota Bandung 2021 menunjukkan seni tradisional Sunda sebagai yang terbanyak. (Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Data keberagaman jenis kesenian di Kota Bandung 2021 menunjukkan seni tradisional Sunda sebagai yang terbanyak. (Olah data: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Serba Menyusut di Gedebage 

Kawasan Gedebage memang sedang tumbuh-tumbuhnya. Pembangunan pun gencar dilakukan di daerah yang sempat menjadi basis persawahan ini. Pada 2023, jumlah penduduk Kecamatan Gedebage sebanyak 43.026 jiwa dengan kepadatan penduduk 44 Jiwa per hektare. Kepadatan ini masih sangat jauh dari rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung yang mencapai 157 jiwa per hektare.

Pesatnya pembangunan di Gedebage dapat dilihat dari menyusutnya jumlah lahan persawahan. Tahun 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat, empat kelurahan di kecamatan Gedebage masih memiliki area persawahan cukup luas. Area sawah di Kelurahan Rancabolang 84,00 hektare, Kelurahan Rancanumpang 70,8 hektare, Kelurahan Cimincrang 90,00 hektare, dan kelurahan Cisaranten Kidul memiliki sawah paling luas 254,00 hektare sawah.

Namun BPS Kota Bandung juga mencatat, tahun 2021 terjadi penyusutan luasan sawah di empat kelurahan Gedebage sebesar 130,43 hektare. Sisa sawah di empat kelurahan ini tinggal 517,2 hektare. 

Di sisi lain, Kota Bandung juga memiliki banyak kesenian rakyat yang sebagian masih dihidupi. Merujuk pendataan termutakhir yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, pada tahun 2021 Kota Bandung memiliki sekitar 882 jenis kesenian dengan berbagai lingkung seni, sanggar, atau padepokan yang tersebar di tiap-tiap wilayahnya. Seni tradisional Sunda menjadi yang terbanyak dengan 251 jenis kesenian.

Adapun tiga jenis kesenian lain dengan jumlah terbesar di Kota Bandung adalah seni tari yang meliputi jaipong dan jenis tari lainnya, pencak silat, serta aneka seni musik seperti degung dan karawitan. Sementara itu, beberapa jenis kesenian dengan jumlah relatif sedikit di Kota Bandung di antaranya adalah seni rudat dan seni bring brung. Kesenian-kesenian ini menghadapi tantangan di tengah menyusutnya ruang-ruang publik.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Yopi Muharam atau artikel-artikel lain tentang KADO 214 TAHUN KOTA BANDUNG

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//