• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #46: Setelah Enyak Tiada

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #46: Setelah Enyak Tiada

Pada bulan Mei 1984, aku daftar kuliah di universitas swasta di kota Bandung untuk kelas karyawan. Aku mengambil jurusan Teknik Industri.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Penulis. (Foto: Asmali)

6 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Menjadi yatim piatu di usia dewasa sebetulnya tetap bukan hal yang mudah. Setidaknya itu yang aku rasakan. Banyak cita-cita yang sebelumnya dirancang seakan menguap begitu saja. Semangatnya tidak ada lagi. Orang yang hendak aku banggakan sudah tiada.

Katanya orang akan mudah lupa. Tetapi kita sebagai yang ditinggal tentu tak pernah melupakan. Kita bisa tertawa dan bergembira, sebagai manusia yang tentu tidak hanya bisa bersedih sahaja. Tetapi bukan berarti lupa. Toh tak akan ada yang bisa mengisi lubang yang hilang ini. Namun tentunya aku tidak boleh menyerah begitu saja.

Ada sejumlah rencana yang semula ditunggu Enyak seperti punya pasangan dan menikah yang belum terlaksana sampai Enyak meninggal dunia. Lagi pula aku juga belum tahu akan menikah dengan siapa. Di usia yang cukup muda aku mulai merancang lagi angan-angan ke depan. Salah satunya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi: Universitas.

“Selagi aku di Bandung apa baiknya aku kerja sambil kuliah, untuk antisipasi saja kalau nanti aku pindah ke Jakarta,” kataku dalam hati.

Alasanku karena aku berpikir rumah di Jakarta akan kosong sepeninggal Enyak. Belum lagi kalau nanti hidup membawaku ke rencana yang lain, setidaknya aku sudah punya bekal pendidikan tinggi yang masih jarang saat itu.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #43: Kehidupan Asmara
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #44: Hari Ini, 41 Tahun lalu, Enyak Meninggal Dunia
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #45: Hari Ini, 41 Tahun Lalu, Enyak Meninggal Dunia (Bagian 2)

Memutuskan Kuliah

Pada akhirnya di awal tahun 1984, aku mengajukan surat izin kuliah kepada atasanku, dengan alasan untuk pengembangan diri. Pada bulan Mei 1984, aku daftar kuliah di universitas swasta di kota Bandung untuk kelas karyawan. Aku mengambil jurusan Teknik Industri.

Sebelum dimulai perkuliahan, aku mengikuti Ospek, karena Ospek wajib untuk kelulusan. Meski aku kuliah sambil kerja, semua kegiatan kampus aku ikuti dengan baik, aku jalani sambil bekerja dengan nilai cukup. Semua mata kuliah tidak ada yang mengulang.

“Untuk sekelas aku, aku nilai ini cukup,” gumamku dalam hati.

Memasuki pertengahan tahun 1985, mulai terasa, kuliah sambil kerja, memang tidak semudah yang aku bayangkan. Apalagi bekerja di perusahaan seperti di tempatku bekerja.

Karena pada masa itu aku di tuntut untuk bekerja lembur, tapi aku paksakan untuk terus kuliah. Ternyata aku datang kuliah, masuk kelas selalu terlambat. Di semester tiga aku banyak ketinggalan mata kuliah. Apalagi kalau sudah praktek yang setiap pekan harus membuat laporan.

Memang boleh izin cuti kuliah, tapi aku pikir-pikir tidak bakal mampu juga aku mengejarnya.

Memang enggak semua orang sepertiku, banyak juga, yang kerja sambil kuliah tapi berhasil. Jadi aku tinggalkan bangku kuliah di semester keempat.

Diakah orangnya?

Selepas masa kuliahku yang singkat, aku hanya mengisi hari-hariku dengan bekerja. Tinggal di flat Sarijadi suasananya juga berbeda dengan masa aku tinggal di kos dulu.

Berkenalan dengan Istri Temanku

Di suatu ketika pada jam istirahat, aku pergi menuju rumah temanku di jalan Pajajaran bersama teman laki-laki dengan mengendarai motor vespa tua. Aku di boncengnya.

Setelah sampai di rumah teman aku lihat ada karyawati Nurtanio, berambut lurus panjang, berkulit putih. Dia bersahabat dengan istri temanku.

Penasaran, soalnya aku enggak pernah melihat teman-teman kantorku bergaul dengan karyawati ini. Ya maklum Nurtanio itu luas dan sebagai pekerja tentu kami sibuk dengan tugas masing-masing. Gadis itu bersama teman laki-laki yang aku juga tak mengenalnya.

Akhirnya kita saling bersalaman dan saling mengenal. Kita duduk dan mengobrol bersama, dan aku lebih banyak jadi pendengar.

Tak lama kemudian kita saling bubar, dan menuju kantor, tapi aku keluar lebih dulu bersama temanku.

Hmm, memang aku baru mengenal perempuan ini. Tapi hatiku sedikit penasaran dan bergumam, diakah orangnya?

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//