PAYUNG HITAM #45: Jalan Pertobatan yang Terus Negara Punggungi
Mekanisme Keadilan Transisi (Transtional Justice) untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM hanya menjadi akal-akalan rezim untuk memunggungi korban.
Ressy Rizki Utari
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba)
31 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Pembunuhan Munir, Peristiwa Tanjung Priok (1984), Penembakan Pendeta Yeremia (2020), Tragedi Semanggi I & II, Reformasi dikorupsi, Meninggalnya Salim Kancil (2015), Genosida 1965-1966, kiranya itu sebagian rentetan peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan negara. Ini hanyalah sebagian kecil dari daftar pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh negara. Bahkan jika hanya memanfaatkan pengetahuan penulis saja satu halaman ini bisa penuh dengan daftar pelanggaran HAM lain.
Namun perlu disadari jika setiap tragedi itu bukanlah sekedar peristiwa yang diperingati setiap tahunnya. Tetapi terdapat sebuah luka yang harus segera disembuhkan, sebuah duka yang tak berkesudahan. Peristiwa yang merenggut ayah dari sebuah keluarga, orang tua yang kehilangan anak, seorang manusia kehilangan kewarasannya, kelompok kehilangan arah geraknya, sebuah bangsa kehilangan generasi terbaiknya yang mengakibatkan panjangnya degradasi intelektual. Tragedi yang jika dikalkulasikan tak ada jumlah yang bisa mengimbangi ganti ruginya.
Dilain sisi deretan nama yang diduga menjadi pelaku pelanggaran berat HAM malah berada di barisan penguasa. Bukan kepalang, Senin (21/10/2024) sosok yang menjadi ikon penculikan aktivis 98 justru dilantik jadi Presiden.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #42: Pasal 47 Revisi UU TNI Berpotensi Mengembalikan Dwifungsi TNI
PAYUNG HITAM #43: Istirahat untuk Bersiap!
PAYUNG HITAM #44: Tumpas Tuntas Mafia Tanah!
Keadilan Transisi
Meski demikian negara tidak bisa terus acuh dan pura-pura lupa pada kejahatan yang telah dilakukannya. Juga perlu kita sadari, jika pertobatan pada dosa ini tidak pernah dilakukan, maka sejarah serupa juga akan terus berulang dan memang kini terus terjadi. Jalan panjang pertobatan negara yang otoritarian ke yang jauh lebih demokratis ini bisa melalui mekanisme Transitional Justice (TJ).
Transitional justice is the full range of processes and mechanisms associated with a society's attempt to come to terms with a legacy of large-scale past abuse, in order to ensure accountability, serve justice and achieve reconciliation. (UN Guidance note of secretary general, 2010)
Dalam mekanisme ini upaya yang harus dilakukan berupa penemuan kebenaran, reparasi, penuntutan, reformasi institusi, amnesti dan rekonsiliasi. Sebetulnya upaya Transational Justice ini sempat dilakukan, tetapi hanya sekedar formalitas saja.
Menurut Sri Lestari Wahyuningrum seorang peneliti transisi keadilan di Indonesia jika mekanisme TJ di Indonesia telah ada . Tetapi menurutnya selama prosesnya berjalan memiliki beragam masalah. Malah menurutnya ini hanyalah akal-akalan rezim saja. Mekanisme TJ yang disebutkan Sri ini berupa pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, reparasi, kompensasi serta PP HAM.
“Pengadilan Tanjung Priok terjadi tapi saksi diintimidasi saat pengadilan. Seluruh ruangan persidangan di penuhi TNI,” ungkap Sri, Selasa (23/01/2024). Ia mengatakan, meski terdapat orang yang dinyatakan bersalah tapi tidak ada yang dihukum.
Ia menyebutkan dalam pengadilan HAM terdapat 150 orang yang dituntut, namun hanya 50 orang yang diadili dan tidak ada yang mendapat sanksi. Menurutnya itu adalah impunitas total.
Sri juga mengatakan meski ada usaha reparasi berupa dana bantuan. Tetapi negara enggan mengakui mereka sebagai korban melainkan sebagai masyarakat miskin saja. “Tentu, itu dua hal yang jauh berbeda,” tandasnya.
Kapitalisme dan Kekerasan oleh Negara
Tidak ayal, menurut Harvey dalam bukunya a Brief History of Neoliberalism negara memang merupakan instrumen yang digunakan kapitalisme untuk melakukan kekerasan. bentuknya bisa berupa penegakan hukum domestik maupun intervensi militer di tingkat internasional. Kekerasan oleh negara ini digunakan untuk memaksakan pasar bebas. Menurut Harvey negara menggunakan kekerasan untuk memastikan kelancaran pasar. Kekerasan dan kekuatan negara juga dibutuhkan untuk menegakkan pasar bebas dan menjaga stabilitas kapitalisme global.
Mari kita tilik ucapan Harvey ini pada tragedi Genosida 1965-1966 di Indonesia. Cerita ini dimulai dari pasca Perang Dunia II. Kala itu Amerika Serikat sebagai negara yang secara ekonomi setara dengan seluruh Eropa Barat dan Uni Soviet. Bayangkan saja di akhir 1940-an Amerika memproduksi setengah dari barang-barang pabrikan di dunia.
Di tahun-tahun selepas 1945 kemudian muncul istilah “Dunia Pertama”, “Dunia Kedua”, dan “Dunia Ketiga”. Dunia Pertama terdiri dari negara-negara kaya Amerika Utara, Eropa Barat, Australia dan Jepang. Semua negara kaya yang menjalan kolonialisme.
Dunia kedua adalah Uni Soviet dan kawasan-kawasan Eropa tempat Tentara merah mendirikan pangkalan-pangkalannya. Uni Soviet telah secara terbuka menyekutukan diri dengan perjuangan anti kolonial global dan tidak ikut dalam ekspansi imperialisme ke seberang lautan. Meski demikian Moskow tetap melancarkan pengaruhnya ke negara Eropa Timur dan Tengah.
Sedangkan Dunia Ketiga merupakan mayoritas populasi dunia yang tidak termasuk ke dalam Dunia Pertama dan Kedua. Versi sederhana dari bagian selanjutnya kisah ini adalah negara-negara yang baru merdeka di Dunia Ketiga harus melawan serangan balik Imperialis, lalu memutuskan apakah mereka mau turut model kapitalis yang disukai Amerika Serikat dan Eropa Barat atau membangun sosialisme mengikuti jejak Uni Soviet dengan harapan bisa lepas dari kemiskinan.
Kampanye antikomunis Washington telah dimulai sebelum Perang Dunia II. Cita-cita Amerika adalah kebalikan persis dari sosialisme. Penekanan kuat ditempatkan kepada individu, bukan kolektif, serta gagasan bahwa kebebasan identik dengan hak memiliki sesuatu. Inilah yang menjadi alas di masa awal Amerika hanya pria kulit putih berproperti yang punya hak pilih.
Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan partai komunis terbesar di Asia, tentu saja membuat Amerika khawatir pada posisi geopolitiknya di kawasan ini. Misi Amerika dalam mempertahankan stabilitas kapitalisme global, menjadikan Indonesia salah satu proyek strategis dalam penumpasan komunis.
Keterlibatan Amerika dalam tragedi ini diungkapkan oleh Vincent Bevins dalam bukunya Metode Jakarta. Bevins mendapat temuan dari dokumen CIA yang belakangan dibuka ke publik. Ia menuliskan jika Amerika menggelontorkan uang kepada AD dalam misi menumpas komunis di Indonesia.
Bevins menceritakan setelah perseteruan Soekarno dan Washington, semua bantuan langsung ke pemerintah pusat dihentikan sepenuhnya. Amerika kian terganggu setelah Soekarno yang ingin menasionalisasi perusahaan minyak Amerika di Indonesia, menolak menjalankan program IMF sampai ikut terlibat dengan kepentingan Inggris di Malaysia.
Namun, satu program penting terus berlanjut. AS terus menggelontorkan uang secara langsung ke Angkatan Bersenjata, dan penasihat-penasihat militer terus bekerja sama dengan komando tinggi Angkatan Darat Indonesia. (Vincent Bevins, 2023)
Soeharto membuat komunis menjadi devil di Indonesia. Bevins dalam bukunya mengutarakan jika Soeharto memberi legitimasi resmi kepada narasi liar antikomunis, versi fanatik yang lebai dan tidak masuk akal. Mulai dari kebohongan penyiksaan para jenderal, Gerwani yang memutilasi sambil menari telanjang hingga pembunuhan yang kejam dan ganas. Tetapi, kemudian dibuktikan sebaliknya oleh Benedict Anderson. Sayangnya kebohongan keji ini berhasil membuat satu juta lebih orang menjadi korban.
Alhasil setelah Komunis ditumpas di Indonesia, Amerika menang. Meski begitu, Washington masih melakukan tawar-menawar dengan Soeharto. Dana bantuan untuk Indonesia hanya akan diberikan jika Indonesia melakukan program ekonomi IMF.
IMF menuntut adanya semacam program penyesuaian struktural di Indonesia, yang mewajibkan pemotongan belanja negara, peningkatan produksi bahan mentah untuk ekspor, devaluasi mata uang, pengetatan moneter, penghentian subsidi dan pembukaan keran pasar bebas di Indonesia.
Kita kemudian bisa membenarkan apa yang dikatakan oleh Harvey, jika kapitalisme membutuhkan negara dan kekerasan untuk memaksakan pasar bebas. Genosida 1965-1966 yang dimotori oleh AD berhasil memperkuat cengkeraman pasar bebas di Indonesia.
Bagaimana Hari ini?
Pertanyaannya apakah kekerasan oleh negara di Indonesia berhenti setelah kemenangan gemilang Amerika Serikat dan AD pada pembantaian 1965-1966. Tidak! nyatanya sifat asli kapitalisme selalu ekspansif dan eksploitatif. Kemudian kita tahu setiap sebuah upaya ekspansif di dalamnya selalu dibarengi dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Jika merujuk pada yang Harvey katakan aktor kekerasan ini merupakan negara. Sebuah alat canggih yang memiliki beragam perangkat untuk memaksakan.
Mengingat hal ini penulis menjadi pesimis jika harus menggantungkan harapan itu pada negara. Berharap negara berhenti dari tabiatnya sebagai pelaku pelanggaran HAM. Apalagi menapaki jalan pertobatannya. Agaknya negara justru terus memunggungi keadilan sosial itu. Negara justru terus berselingkuh pada kapitalisme yang eksploitatif dan imperialis. Sebuah sinyal jika pelanggaran HAM akan terus terjadi.
Bevins saat mewawancarai penyintas kekerasan 1965 bertanya, “Apakah saat ini merupakan dunia yang Anda cita-citakan saat itu?” Ia kerap kali mendapat jawaban, adalah satu hal bahwa pemerintah melakukan kejahatan kejam, tetapi mengakui kesalahan dan membangun negara yang kuat lagi adil –inilah yang tidak terjadi. Ironisnya mereka justru menjalani hari-hari terakhir hidup di negara kapitalis kroni yang miskin, berantakan dan setiap hari didengungkan bahwa mereka berbuat jahat karena menginginkan sesuatu yang berbeda.
Bagai pungguk merindukan bulan, harapan pada negara hanyalah kesia-siaan. Sebuah rezim yang di dalamnya dipenuhi pelanggar HAM dan nafsu eksploitatif , tidak mungkin sudi menapaki jalan pertobatan itu bukan?
*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung