• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #49: Aku yang Pesimistis

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #49: Aku yang Pesimistis

Sudah hampir dua pekan lamanya sejak aku ke rumah Titin dan aku belum bertemu lagi dengannya. Dulu komunikasi belum semudah sekarang.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Namanya Titin. (Foto: Asmali)

3 November 2024


BandungBergerak.id – Gara-gara ucapan temanku yang bilang kalau Titin banyak yang suka, aku jadi kepikiran sendiri. Justru bukan PD aku bisa main ke rumahnya sementara banyak orang yang dia cuekin. Aku malah pesimistis. "Mau enggak yah Titin sama aku?" tanyaku dalam hati.

Aku coba semangati diriku. Dalam hati aku berujar, kalau dia enggak mau sama aku, enggak mungkin dia mau nemenin aku ngobrol di rumahnya. Tapi cowok yang di Jogja, yang tempo hari dia ceritakan di mobil dengan temannya, juga sepertinya pacarnya.

Lagi pula, kalau katanya Kabid (Kepala Bidang) aja ditolak, apa lagi aku?

Aku sambil menarik napas panjang sambil berkata dalam hati. "Ah, bagaimana jodohku aja. Walaupun Titin seperti apa yang aku harapkan, tapi aku kadang minder juga kalau tahu banyak yang mau sama dia."

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #46: Setelah Enyak Tiada
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #47:Titin Namanya
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #48: Ke Rumah Titin

Pergi ke Rumah Titin

Sudah hampir dua pekan lamanya sejak aku ke rumah Titin dan aku belum bertemu lagi dengannya. Dulu komunikasi belum semudah sekarang, meskipun tidak ketemu bisa lihat kesehariannya di sosial media. Dulu tidak begitu. Tapi aku kangen juga mau ketemu dia.

Suatu hari, di hari Minggu pagi antara jam 9 aku pergi ke rumah Titin di Holis. Dengan rasa semangat bercampur ragu aku memaksakan pergi ke rumahnya.

Sengaja aku pergi hari Minggu. Sabtunya aku cuci pakaianku, mempersiapkan diri agar lebih santai kalau aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Titin nantinya.

Aku pergi ke rumahnya dengan menggunakan mobil Angkot jurusan Lintas Husein dari flatku di Sarijadi . Dengan dua kali ganti angkot untuk sampai ke rumahnya.

Aku pergi naik angkot karena kebetulan mobilku sudah banyak yang mesti diganti. Lagi pula mau aku jual juga. Terlalu banyak yang perlu diperbaiki, mahal jadinya.

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, hatiku ini bicara sendiri. Dalam anganku, Titin orangnya pandai menahan diri. Padahal untuk aku sendiri rasanya ingin selalu ketemu dengannya. Padahal satu kantor cuma beda kawasan, tapi dua pekan tidak bertemu aku yang enggak kerasan.

"Nelepon kagak nyamperin juga kagak. Memang aku baru ketemu sekali dengannya, tapi kalau dilihat-lihat orangnya tidak gampang penasaran," ucapku dalam hati.

Tak lama kemudian sampailah aku ke rumahnya. Sekitar jam 10 pagi waktu itu. Alhamdulillah, Titin juga lagi ada di rumah. Ibunya sedang melayani para pembeli, sementara Titin sedang duduk santai berada di dalam rumah.

Sebetulnya aku deg degan begitu sampai di rumahnya, takutnya dia tidak mau ketemu aku. Ya aku hanya serahkan pada Allah saja.

Untungnya saat itu aku disambut ramah, meski terlihat Titin agak malu karena banyak pembeli. Aku sendiri kikuk, khawatir di antara ibu-ibu yang memerhatikanku ada orang tua dari pria di Jogja yang aku kira pacar Titin.

Siapa tahu?

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//