Bertandang ke Kampus UIN SGD Bandung: Semangat Warga Dago Elos dan Tamansari Melawan Ketidakadilan Penggusuran
Warga Dago Elos dan Tamansari berbagi cerita tentang penggusuran. Kebersamaan warga berperan penting dalam menolak perampasan ruang hidup.
Penulis Pahmi Novaris 11 November 2024
BandungBergerak.id - Warga Dago Elos dan Taman Sari berbagi pengalaman tentang penggusuran di diskusi “Bertandang ke Kampus” di kampus UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Sabtu, 9 November 2024. Orang-orang muda diajak melawan penggusuran karena melanggar hak asasi manusia dan hak atas tempat tinggal yang layak.
Dhea, warga Dago Elos, menceritakan bagaimana awal mula warga menghadapi ancaman penggusuran. Bermula dari pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Muller dan kawan-kawan, di mana warga Dago Elos sudah membuat laporan ke polisi tetapi ditolak sampai tiga kali. Situasi ini semakin memburuk dengan peristiwa 14 Agustus 2023 yang diwarnai penangkapan, perusakan rumah, dan penembakan gas air mata oleh aparat.
Perjuangan warga Dago Elos akhirnya sampai di ranah pidana. Laporan warga kemudian berbuah tersangka anggota keluarga Muller. Persidangan kasus ini menyatakan bahwa duo keluarga Muller bersalah menggunakan dokumen palsu. Selama memperjuangkan hak atas tanah, warga selalu menguatkan solidaritas.
“Perjalanan pelaporan ke persidangan selalu didampingi oleh warga yang saling mendukung,” ungkap Dhea, dalam diskusi yang dihadiri mahasiswa dari dalam dan luar kampus UIN SGD Bandung.
Hal ini menekankan pentingnya solidaritas dalam menghadapi tantangan. Berkat dukungan masyarakat, mereka berhasil memenangkan persidangan pada bulan Oktober lalu.
“Kami tidak menganggap diri sebagai korban, melainkan pejuang,” tambahnya, menyoroti peran penting para ibu di Dago Elos yang selalu sedia dan semangat mendukung apa pun yang sedang terjadi di Dago Elos serta ditambah dengan bantuan solidaritas dari komunitas yang terus berjuang bersama-sama untuk memperjuangkan dan merebut kembali hak-hak warga.
Di Taman Sari, Eva Eryani yang juga hadir dalam diskusi ini, mengungkapkan bahwa penggusuran di wilayahnya melibatkan banyak organisasi masyarakat dan dilakukan tanpa kejelasan mengenai hak atas tanah.
“Tanah di Tamansari dan Pasopati diakui sebagai milik pemkot, sementara kami sebagai warga tidak mendapatkan akses yang seharusnya,” kata Eva.
Pada 12 Desember 2019, penggusuran yang dilakukan Pemkot menunjukkan adanya maladministrasi. Pemerintah Kota Bandung mengklaim tanah dengan AJB dari masa penjajahan.
Selain itu, penggusuran di Taman Sari telah terjadi beberapa kali, pada tahun 2019, 2021, dan 2023, melibatkan aparat gabungan yang menggunakan gas air mata, penyiksaan, penangkapan, dan perusakan rumah. Hingga saat ini, Eva menjadi satu-satunya warga yang tetap bertahan menolak rumah deret Tamansari. Kasus Tamansari juga menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilaporkan kepada Komnas Perempuan.
Menurut Deti Sopandi dari PBHI Jawa Barat, penggusuran ini merupakan pelanggaran berat HAM. “Pembangunan di lingkungan warga seharusnya melibatkan partisipasi aktif dari publik dan harus ada kejelasan yang pasti mengenai penggantian yang adil untuk kedepannya itu seperti ,” jelasnya.
Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa penggusuran paksa bertentangan dengan berbagai prinsip yang diatur dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 tentang Hak atas Perumahan yang layak. Pengusiran paksa didefinisikan sebagai pemindahan permanen atau sementara yang bertentangan dengan keinginan individu, keluarga, dan komunitas dari rumah dan tanah yang mereka tempati tanpa penyediaan dan akses ke bentuk perlindungan hukum.
“Penggusuran bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah martabat,” jelas Deti. “Kami harus berani menduduki lahan dan terlibat aktif dalam melawan ketidakadilan.”
Ia juga mengingatkan bahwa hak-hak yang direnggut termasuk hak atas permukiman, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang baik harus diperjuangkan. Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 menegaskan hak setiap individu untuk hidup sejahtera, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam konteks ini, hak-hak yang direnggut dari warga termasuk hak pemukiman, makanan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan pribadi yang layak.
Baca Juga: Merawat Solidaritas Orang-orang Bandung dalam Menolak Penggusuran dan Menyemai Perlawanan
KITA DAGO ELOS: Iri dan Ade Tegar Melawan Penggusuran
Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Dampak terhadap Anak-anak
Kondisi anak-anak di Dago Elos juga harus mendapatkan perhatian khusus. Banyak dari mereka mulai menyadari situasi yang dihadapi oleh orang tua mereka yang terancam penyerobotan tanah.
“Ada anak yang bertanya, kenapa polisi berbuat seperti ini, padahal polisi baik?” ungkap Dhea, menyoroti kebingungan dan trauma yang dialami anak-anak akibat kehadiran aparat terkait peristiwa 14 Agustus 2023.
Untuk mengatasi trauma ini, banyak teman-teman solidaritas yang memberikan trauma healing kepada anak-anak, membantu mereka mengatasi dampak psikologis dari situasi yang sulit ini.
“Harapan kami kepada generasi muda adalah untuk selalu peka dan peduli menggambarkan situasi yang tidak adil di sekitar mereka,” ungkap Dhea.
Ia menekankan bahwa kesadaran akan berbagai hak mereka sangat penting untuk melawan ketidakadilan. “Mungkin hari ini terjadi pada warga Dago Elos, tetapi bisa jadi besok terjadi pada teman-teman yang lain,” tambahnya, menunjukkan bahwa penggusuran bukan hanya masalah lokal, tetapi bisa menular ke wilayah yang lain.
Dhea dan warga Dago Elos menegaskan bahwa penggusuran yang mereka alami bisa menjadi cermin bagi masalah yang lebih besar di masyarakat. “Penggusuran itu menular. Jika hari ini terjadi pada kami, besok bisa terjadi pada orang lain,” ujarnya.
Mereka berharap agar masyarakat luas dapat lebih sadar dan peduli terhadap isu-isu ini, serta berperan aktif dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk PBHI dan kelompok solidaritas, warga bertekad untuk terus memperjuangkan hak-hak mereka.
“Kami berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masa depan generasi mendatang,” tambah Deti, menegaskan tekad dan harapan warga untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Pembelaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ini menjadi semakin penting di tengah ancaman penggusuran yang terus berlanjut.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang Sengketa Tanah Dago Elos