MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #50: Aku dan Titin Bersama
Aku mengutarakan perasaanku pada Titin. Aku ingin hubungan yang serius.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
17 November 2024
BandungBergerak.id – Rasanya itu apel pertamaku ke rumah Titin setelah semula hanya mengantarkan ia dan sekadar mengenalkan diri pada keluarganya. Namun setelah tak jumpa beberapa pekan dan aku beranikan diri mendatangi rumahnya, aku ingin mengutarakan perasaanku secepatnya saja. Aku ingin tahu isi hatinya. Aku ingin hubungan yang serius.
Bersyukur hari itu Titin menerimaku. Tapi entah dari mana dulu aku mulai bicaranya. Tetapi setelah para pembeli meninggalkan dagangan ibunya, perbincangan antara aku dan ibunya pun terjalin.
“Aslinya orang mana, De?,” kata ibunya membuka percakapan.
“Saya Jakarta ibu, bapak ibu saya orang Jakarta,” jawabku.
“Kalau ibu asli Sumedang, tapi pernah tinggal di Jakarta sampai punya anak empat,” begitu ibunya melanjutkan.
Dari situ percakapan pun mengalir. Dari mulai tempat tinggal Titin di Jakarta yang terletak di daerah Kebon Sirih Jakarta Pusat. Latar belakang keluarganya dan ibunya yang ternyata pernah berjualan kain di Pasar Tanah Abang. Sama seperti Almarhum Baba, ayahku.
“Mungkin dulu pernah liat Titin waktu masih pada kecil di pasar Tanah Abang ya?,” kata ibunya ketika tahu orang tuaku juga pedagang di pasar Tanah Abang.
“Mungkin ya Bu,” ucapku dan kami sama-sama tertawa.
Sedang asyik mendengarkan cerita ibunya, datang seorang perempuan yang tampaknya lebih tua dari ibu Titin. Perempuan yang belakangan aku kenal sebagai Uwak Imi, adalah kakak dari ibu Titin. Ia pun terlibat perbincangan dan menanyakan asal usulku mesti tidak lama. Perangainya juga ramah, sama seperti ibu Titin.
“Engke kumpul di Cimahi minggu hareup acara keluarga. Bawa ka ditu, biar pada kenal. Hayu cep ameng ka rumah uwa,” kata Uwak Imi sebelum meninggalkan rumah ibu Titin.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #47:Titin Namanya
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #48: Ke Rumah Titin
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #49: Aku yang Pesimistis
Mengutarakan Perasaan
Selepas Uwak Imi pergi, saya langsung utarakan perasaan saya ke ibu Titin. Sementara Titin duduk tidak jauh dari tempat aku dan ibunya berbincang. Aku bilang kalau aku bukan datang ke sini untuk sekali saja. Dari perbincanganku dengan ibunya, dan cerita soal asal usulku dengan Uwak Imi yang juga didengar ibunya, sedikit banyak telah memperlihatkan latar belakangku pada keluarga Titin. Semoga bisa jadi pertimbangan.
“Keadaan saya, saya ingin sungguh-sungguh ke anak ibu. Dan saya juga enggak bisa memberi harapan banyak. Akan begini, akan begitu, belum ke bayang ibu. Jadi ibu mungkin paham maksud saya ini. Pengen saya, biar saya bisa jadi keluarga ibu,” kata saya dengan sedikit gugup tentunya.
Saat aku sedang bicara dengan ibunya Titin, Titin pun tak memberi jawaban. Titin hanya duduk tenang, sambil memandangi wajah ibunya dengan tatapan mata yang sejuk dan wajahnya yang alami dengan rambutnya di bando kawat warna hitam serta mukanya yang putih bersih.
Sambil menggoyang-goyang garpu di atas piring sisa makan, ibu Titin pun mendengarkan aku bicara sambil menopang dagunya, dan aku pun tak berani untuk menatapnya. Sambil mengatur napas ibunya berkata. “Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik. Bagaimana Titin aja, karena yang menjalankan selanjutnya kalian berdua.”
Begitu mendengar ucapan ibu Titin, aku merasa terharu, seraya hatiku berdoa, semoga aku bisa menyenangkan Titin nanti di kemudian harinya dan semoga Titin bisa menjadi istri yang baik dan jadi ibu yang baik bagi anakku nanti.
Setelah itu ibu Titin beranjak dari tempat duduk, meninggalkan kami berdua. Suasana cair kembali.
Ia beranjak sambil berkata, “Enak masakannya, Li?,”.
“Alhamdulillah Ibu enak,” ucapku. Dia sudah memanggil namaku, tidak ‘dek’ lagi.
Hari sudah menjelang Magrib. Aku pulang tak lama ketika adik Titin pulang ke rumah satu per satu dan dikenalkan padaku.
Sesaat sebelum pulang Titin bilang padaku. “Awas main-main sama Titin, ibu sudah tahu. Kalau ninggalin Titin, ke mana pun akan Titin cari,” katanya sambil bergurau.
Aku tersenyum. Enggak ada niatan untuk mempermainkan, sungguh.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau