• Berita
  • Menggugat Ketidakadilan yang Dihadapi Para Wanoja Bandung

Menggugat Ketidakadilan yang Dihadapi Para Wanoja Bandung

Kekerasan berbasis gender, kekerasan seksual, dan bahkan femisida merupakan bentuk-bentuk ancaman terhadap para wanoja Bandung.

Diskusi yang digelar Simpul Puan terkait momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) di Kedai Jante, Bandung, 6 Desember 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah12 Desember 2024


BandungBergerak.id“Bandung Bermartabat Tapi Wajona na Dibabat”, adalah tema paradoks antara kota yang mengaku sebagai kota bermartabat tetapi masih menyimpan persoalan pelik bagi warganya, khususnya bagi para wanojanya, perempuan, dan kelompok rentan. Tema ini dikupas dalam diskusi yang digelar Simpul Puan terkait momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) di Kedai Jante, Bandung, 6 Desember 2024.

Rosa Fauziah, salah seorang narasumber diskusi, mengatakan kekerasan berbasis gender bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. “Tidak mengenal usia, baik tua maupun muda. Itu bisa jadi korban kekerasan berbasis gender (KBG),” kata Rosa Fauziah.

Ia menyorot tiga kategori KBG yang sering terjadi di Kota Bandung. Mulai dari kekerasan fisik, yang termasuk ke dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Selain itu ada kekerasan psikis. Kekerasan ini berdampak pada kondisi psikologi korban. Hal ini dapat terjadi di ranah privat dan publik. Contohnya seperti Non-Consensual Intimate Image (NCII) atau penyebaran konten nonkonsensual, perilaku gaslighting dalam hubungan dan lainnya. Terakhir, ada kekerasan ekonomi. Hal ini umum terjadi pada buruh perempuan di garmen atau pabrik kota.

Beberapa kebijakan di Kota Bandung pun dinilai Rosa masih tidak inklusif. Teman-teman dari kelompok rentan, seperti teman-teman transpuan, kerap menjadi sasaran diskriminasi.

“Mereka pernah merasakan yang namanya dipersekusi oleh masyarakat. Hanya karena mereka seorang trans,” kata Rosa, aktivis dari Woman Study Centre, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tersebut.

Selain itu di ranah universitas, Rosa menganggap pengawasan dari dinas terkait (dalam hal ini dinas pendidikan) sangat kurang terhadap pengawasan pemberlakuan Permendikbud 30 Tahun 2021. Ia juga mengungkap masih banyak universitas di Bandung yang belum memiliki Satgas PPKS.

Di sisi lain, saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan meningkatnya kasus femisida, yakni pembunuhan terhadap perempuan. Pada bagian ini Sherly Rachma, perwakilan dari gerakan Indonesia Hapus Femisida, memaparkan apa sebenarnya femisida itu.

Femisida terjadi karena korbannya adalah perempuan. Pembunuhan ini terjadi berdasarkan rasa kebencian terhadap perempuan (misogini), dominasi patriarki atau kontrol terhadap tubuh perempuan. Hal ini menjadikan perempuan sebagai objek dan kehilangan otoritas atas diri mereka sendiri.

Femisida bukanlah sebuah bentuk pembunuhan biasa. Pembunuhan ini terjadi secara sistemik dan merupakan manifestasi dari kekerasan struktural dan kebudayaan.

“Perempuan dalam sistem yang seperti ini mengalami objektivitas tubuh sampai taraf kekerasan yang ekstrem yaitu femisida. Kita (perempuan) tuh jadi kehilangan otonomi eksistensial,” jelas Sherly.

Sejauh ini, kata Sherly, data formil kasus femisida di Indonesia belum diketahui. Namun ia mengungkapkan, ada 185 laki-laki membunuh 180 perempuan. Sebanyak 16 persen korban adalah anak perempuan dan ada dugaan pemerkosaan. Data ini berdasarkan Jakarta Feminis dan Komnas HAM.

Sherly menekankan, perlu adanya analisis gender dalam melihat sebuah kasus pembunuhan tersebut. Hal yang menjadi sorotan adalah tidak adanya hukum formil yang dapat mengklasifikasikan femisida di Indonesia. Pembunuhan perempuan pun akhirnya dianggap sebagai kasus pembunuhan semata.

Penderitaan perempuan tidak hanya sebatas ancaman yang berada di sekitar, tetapi juga direpresi pemerintah. Siska dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) membagikan kisah bagaimana perempuan kerap kali mendapat represi tidak hanya dalam lingkungan internal, tetapi juga eksternal.

Perempuan di Papua sangat erat berkaitan dengan hutan dan tanah. Mereka yang merupakan titik sentral dalam proses produksi dan distribusi pangan. Namun, konflik agraria yang terjadi di Papua mengancam kegiatan mereka.

“Kalau kita lihat dampaknya kan, kalau di hutan atau tanah air rampas diambil secara paksa. Bagaimana rakyat Papua itu mau hidup begitu. Bagaimana kelompok Papua maupun kerja agar orang Papua itu bisa hidup di atas tanah Papua,” kata Siska.

Selain represi dari luar, perempuan Papua berhadapan dengan kebudayaan patriarki dan seksisme di lingkungan internal mereka. Perempuan Papua tidak punya hak untuk memiliki tanah dan berpendapat.

“Selain daripada pembatasan-pembatasan atau tidak diberikan ruang kepada perempuan Papua. Memang perempuan Papua juga itu mengalami kekerasan dari keluarga juga lingkungan,” ujar Siska.

Baca Juga: Menyibak Penyebab Terjadinya Femisida, Mengurai Latar Belakang Pembunuhan Perempuan
Menyoal Absennya Perlindungan Negara pada Perempuan Pekerja sekaligus Ibu Tunggal, Potret Perempuan dalam Film Mai
Dari Caleg Perempuan ke Parlemen yang Melahirkan Kebijakan Pro Perempuan di Kota Bandung

Atribut Simpul Puan, organisasi perempuan, di acara memperingati momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) di Kedai Jante, Bandung, 6 Desember 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Atribut Simpul Puan, organisasi perempuan, di acara memperingati momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) di Kedai Jante, Bandung, 6 Desember 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Perlu Keterlibatan Perempuan

Dalam membangun sebuah kebijakan publik yang lebih inklusif, khususnya pada perempuan, perlu adanya keterlibatan dari perempuan itu sendiri. 

Koalisi Perempuan Indonesia merupakan organisasi atau gerakan perempuan yang sudah lama mengadvokasi permasalahan kebijakan publik. Putri Nabila, sebagai salah satu perwakilan KPI, membagikan bagaimana gerakan massa ini bisa melakukan advokasi kebijakan yang ada di kota Bandung hingga Jawa Barat.

Perjuangan KPI untuk dapat mengadvokasi sampai ke tahap itu bukan suatu hal yang mudah. Putri bercerita, gerakan ini masih mendapat tanya dari pihak pemerintah, seperti KPI itu organisasi apa ataupun kegiatan apa saja yang sudah dilakukan oleh organisasi tersebut.

“Enggak jarang teman-teman, ketika kita perempuan dari organisasi perempuan sendiri pun masih ditanya gitu kayak gitu,” cerita Putri.

Putri juga mengungkap, banyak dari pihak pemerintah yang membuat kebijakan untuk perempuan ternyata masih banyak didominasi oleh laki-laki. Maka profiling pada pembuat kebijakan pun perlu dilakukan. Jika tidak, maka akan ada kemungkinan kebijakan yang dikeluarkan akan menjadi diskriminatif.

Saat ini fokus KPI dan teman-teman jaringan adalah mengawal Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Dengan adanya Perda ini diharapkan pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan mempunyai payung hukum yang jelas dan komprehensif. 

“Biar kebijakan itu tidak salah dalam merefleksikan kita semua. Terus juga tidak mengesampingkan suara kita dan akan tepat sasaran (karena) manfaatnya buat kita semua gitu. Dan semua orang sih saya harapkan berperspektif gender,” ujar Putri.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Salma Nur Fauziyah atau tulisan-tulisan tentang Perempuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//