CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #74: Urbanisasi dan Ironi Kerja di Cicalengka
Urbanisasi di Cicalengka bukan hanya masalah keberpihakan pada masyarakat lokal. Tapi tentang manusia, warisannya, dan cerita-cerita yang seharusnya penuh harapan.
Andrian Maldini Yudha
Pegiat Literasi di RBM Kali Atas
16 Desember 2024
BandungBergerak.id – Cicalengka, sebuah daerah yang dikenal sebagai gerbang timur Bandung, telah berkembang pesat dengan hadirnya berbagai pabrik besar seperti PT Karina, ABC Kogen, Mayora, dan lainnya. Pabrik-pabrik ini seolah menjadi magnet yang menarik urbanisasi, memunculkan harapan akan perbaikan ekonomi bagi masyarakat setempat. Namun, siapa sangka, harapan itu lebih mirip fatamorgana. Keberadaan industri besar ini justru membuat masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tengah hiruk-pikuk urbanisasi yang tak terelakkan.
Seperti sebuah kapal besar yang berlabuh di pelabuhan kecil, industri-industri ini membawa gelombang pendatang baru. Mereka yang berasal dari luar daerah datang dengan semangat mencari penghidupan lebih baik. Sayangnya, mereka yang datang ini sering kali melupakan penduduk asli yang telah lama hidup di tanah Cicalengka. Ironisnya, masyarakat lokal kerap tidak mendapatkan manfaat langsung dari kehadiran pabrik-pabrik tersebut.
Urbanisasi yang masif ini juga menciptakan perubahan besar pada tatanan sosial dan lingkungan. Harga tanah melambung, permukiman padat semakin menjamur, dan konflik kepentingan antara penduduk asli dan pendatang menjadi isu yang tak terhindarkan. Di balik gemuruh mesin-mesin produksi, ada jeritan sunyi masyarakat lokal yang seakan terpinggirkan di kampung halaman mereka sendiri.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #71: Stasiun Cicalengka, Ketika Sejarah Luruh di antara Pilar-pilar Modern
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #72: Tantangan Edukasi Politik di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #73: Pencurian Motor di Cicalengka, Krisis Keamanan yang Meresahkan
Antara Kualifikasi dan Uang Sogokkan
Mengapa masyarakat Cicalengka sulit menembus dunia kerja di pabrik-pabrik besar yang berdiri megah di tanah mereka? Jawabannya terletak pada tiga kata: kualifikasi, pelatihan, dan konon sogokan.
Pertama, kualifikasi. Banyak masyarakat lokal yang tidak memenuhi persyaratan kerja yang ditetapkan perusahaan. Pendidikan formal yang rendah dan kurangnya keterampilan teknis menjadi penghalang besar. Dunia kerja modern membutuhkan tenaga ahli, tetapi masyarakat lokal masih berkutat dengan keterbatasan akses pendidikan dan pelatihan yang relevan. Bak seorang pelari tanpa sepatu, mereka kalah di garis start.
Kedua, kurangnya pelatihan atau pendidikan vokasi yang mendukung kebutuhan industri. Pemerintah dan perusahaan seolah hanya berbicara di podium tanpa tindakan nyata di lapangan. Tidak ada program konkret yang menjembatani kebutuhan tenaga kerja industri dengan potensi lokal. Seperti kapal tanpa kompas, masyarakat lokal dibiarkan mengarungi lautan ketidakpastian tanpa arah.
Ketiga, dan yang paling menyakitkan, adalah praktik sogokan. Untuk mendapatkan pekerjaan di beberapa pabrik, isu yang beredar adalah uang berbicara lebih keras daripada kompetensi. Fenomena ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga membunuh harapan masyarakat lokal yang benar-benar ingin bekerja dengan jujur. Praktik ini bak duri yang menusuk dari dalam, merusak kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan maupun pemerintah setempat.
Dampak Sosial dan Ekonomi Keluarga
Kondisi ini menciptakan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Kesenjangan antara penduduk asli dan pendatang menjadi semakin nyata. Pendatang yang mendapatkan pekerjaan lebih mudah menikmati hasil industri, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh serabutan atau pedagang kecil di pinggiran pabrik.
Ketimpangan ini tidak hanya memengaruhi stabilitas ekonomi keluarga, tetapi juga merusak harmoni sosial. Konflik antar kelompok mulai muncul, dari persaingan dalam mendapatkan pekerjaan hingga perebutan lahan. Seperti api dalam sekam, ketegangan ini hanya menunggu waktu untuk meledak.
Selain itu, perasaan terpinggirkan membuat masyarakat lokal kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan pengelola industri. Mereka merasa seolah menjadi tamu di rumah sendiri. Dampak psikologis ini dapat berujung pada alienasi sosial, di mana masyarakat lokal merasa tidak memiliki tempat dalam pembangunan yang seharusnya menjadi milik mereka.
Sementara itu, secara ekonomi, daya beli masyarakat lokal cenderung stagnan. Mereka yang tidak bisa mengakses pekerjaan tetap di pabrik harus berjuang dengan penghasilan tidak menentu dari sektor informal. Situasi ini semakin kontras ketika melihat bagaimana pendatang lebih mapan secara finansial. Pada akhirnya, industri yang diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi justru menjadi tembok pemisah sosial.
Refleksi dan Jalan ke Depan
Industrialisasi seharusnya menjadi berkah, bukan ironi. Pabrik-pabrik di Cicalengka harus lebih memerhatikan masyarakat lokal, bukan sekadar menjadi mesin pencetak uang tanpa hati. Jika tidak, kita hanya akan melihat pertumbuhan ekonomi yang timpang dan masyarakat asli yang semakin tersingkir.
Saran utama adalah pemerintah daerah harus lebih aktif mengawasi praktik rekrutmen tenaga kerja. Transparansi dalam proses penerimaan karyawan harus ditegakkan untuk menghapus praktik sogokan yang sudah mengakar. Selain itu, perusahaan wajib memberikan pelatihan keterampilan secara gratis kepada masyarakat lokal, sehingga mereka memiliki daya saing yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Program-program pelatihan yang melibatkan masyarakat lokal harus dirancang dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan. Misalnya, membangun pusat pelatihan kerja berbasis komunitas yang tidak hanya memberikan keterampilan teknis, tetapi juga mengembangkan soft skills seperti komunikasi dan manajemen waktu. Pelibatan langsung masyarakat lokal dalam proses ini akan menciptakan rasa memiliki sekaligus memberdayakan mereka.
Selain itu, tetapkan kebijakan kuota tenaga kerja lokal minimal 60% untuk setiap pabrik di Cicalengka. Kebijakan ini harus diiringi dengan evaluasi berkala untuk memastikan keberhasilannya. Pendekatan seperti ini bukan hanya soal angka, tetapi soal keadilan dan keberlanjutan sosial. Karena pada akhirnya, pembangunan tanpa melibatkan masyarakat lokal hanyalah sebuah gedung megah tanpa fondasi yang kokoh.
Cicalengka butuh perubahan, dan perubahan itu dimulai dari keberpihakan kepada warganya sendiri. Jangan biarkan masyarakat lokal hanya menjadi bayangan di tanah leluhurnya, tertinggal oleh hiruk-pikuk mesin yang terus menderu. Mereka bukan hanya saksi bisu, melainkan bagian yang sah dari perjalanan pembangunan daerah ini.
Seperti akar pohon yang diam-diam menopang kekuatan batangnya, masyarakat lokal adalah fondasi sejati Cicalengka. Namun, jika akar itu dibiarkan layu, pohon besar yang berdiri kokoh hanya akan menjadi raksasa rapuh yang siap tumbang diterpa angin kencang. Cicalengka membutuhkan perubahan yang berakar pada keadilan, pada pemberdayaan yang nyata, dan pada harapan yang tulus untuk masa depan bersama.
Sudah waktunya pemerintah, industri, dan masyarakat bergandengan tangan. Langkah kecil seperti pelatihan keterampilan, kuota kerja lokal, dan transparansi rekrutmen adalah jembatan yang bisa membawa kita menuju masa depan yang lebih baik. Sebuah masa depan di mana setiap individu merasa dihargai, bukan dipinggirkan; diberdayakan, bukan diabaikan.
Cicalengka bukan hanya soal pabrik dan urbanisasi; ia adalah tentang manusia, tentang warisan, dan tentang cerita-cerita yang seharusnya penuh harapan. Kini saatnya menciptakan cerita baru –sebuah cerita yang tidak lagi ironi, tetapi bersinergi.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.