• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #75: Dari Hijau ke Abu-abu, Nasib Bukit Candi Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #75: Dari Hijau ke Abu-abu, Nasib Bukit Candi Cicalengka

Bukit Candi di Cicalengka adalah saksi bisu bagaimana eksploitasi tanpa batas dapat merusak keseimbangan ekosistem.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Proyek Pembangunan Perumahan di Bukit Candi Cicalengka. (Foto: Andrian Maldini Yudha)

23 Desember 2024


BandungBergerak.id – Bukit Candi. Demikian masyarakat Cicalengka menyebutnya. Sebuah tempat yang telah menjadi oase kehidupan, di mana manusia dan alam bersanding dalam harmoni yang indah. Dengan hamparan hijau dedaunan yang lebat dan udara segar yang seolah memeluk jiwa, bukit ini menjadi tujuan utama bagi siapa saja yang mencari kedamaian. Bukit Candi tak hanya menawarkan pemandangan, tetapi juga ketenangan yang meresap hingga ke lubuk hati setiap pengunjungnya. Seolah alam dengan segala kebesarannya tengah berbicara, memberikan pelukan hangat untuk mengobati lelah dan penat yang menumpuk dari rutinitas sehari-hari.

Setiap Minggu pagi, Bukit Candi berubah menjadi ruang interaksi yang penuh dengan canda dan tawa. Keluarga-keluarga berkumpul di sini untuk menikmati waktu berkualitas bersama. Para orang tua berjalan santai sambil menggandeng tangan anak-anak mereka, yang dengan riang berlarian. Ada yang memilih joging, sementara lainnya mendaki bukit kecil dengan semangat. Piknik sederhana pun menjadi momen istimewa di tempat ini. Di atas tikar yang digelar, makanan ringan dan teh hangat menjadi pelengkap suasana. Tawa anak-anak, obrolan hangat antar keluarga, dan kicauan burung menciptakan harmoni yang seolah mengisi setiap sudut bukit ini dengan kehidupan.

Namun, seperti halnya banyak tempat indah lain, Bukit Candi tak mampu sepenuhnya melawan arus waktu. Keindahannya perlahan mulai terkikis oleh tuntutan pembangunan. Semakin hari, ruang hijau yang menjadi identitas Bukit Candi semakin menyusut. Perubahan ini tak terhindarkan, yang barangkali dikemudian hari akan menyisakan jejak-jejak kenangan yang perlahan memudar dari pandangan. Hamparan alamnya kini, digantikan oleh struktur beton yang berdiri dengan gagah namun dingin. Bukit yang dulunya menjadi pelarian dari hiruk-pikuk kota kini mulai menyerupai kota itu sendiri, kehilangan esensinya sebagai ruang alam yang menyatu dengan manusia.

Tak menutup kemungkinan di waktu yang akan datang, kenangan akan masa lalu Bukit Candi niscaya tersimpan dalam cerita-cerita para orang tua yang pernah merasakan keindahannya. Mereka mengenang betapa berbeda suasana di sana pada masa lalu. Para pengunjung yang dahulu begitu leluasa menikmati hijaunya alam kini harus berbagi ruang dengan kendaraan dan bangunan. "Bukit ini dulu seperti surga kecil," ujar seorang pria tua yang duduk di salah satu bangku kayu yang tersisa. Ia menghela napas panjang, seolah mencoba menghirup kembali aroma masa lalu yang telah hilang.

Meski demikian, Bukit Candi masih menyimpan daya tariknya. Sifat natural alamnya tetap memberikan keteduhan, walau tak lagi sedikit demi sedikit mulai pudar. Beberapa keluarga masih datang, mencoba menghidupkan kembali kebiasaan lama. Anak-anak yang bermain di sana, tetap memancarkan keceriaan. Barangkali, inilah pesan Bukit Candi untuk kita: meskipun perubahan tak bisa dihindari, menjaga sisa-sisa keindahan adalah bentuk rasa syukur kita terhadap apa yang telah diberikan oleh alam.

Perlahan tapi pasti, Bukit Candi menjadi simbol refleksi bagi masyarakat Cicalengka. Ia mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam. Di tengah derasnya arus modernisasi, Bukit Candi mengingatkan bahwa keharmonisan dengan alam bukan hanya sebuah kemewahan, tetapi kebutuhan yang harus diperjuangkan. Jika tidak, maka keindahan yang dimiliki Bukit Candi akan tinggal menjadi cerita, kenangan yang hanya bisa kita bayangkan tetapi tak lagi bisa kita nikmati.

Bukit Candi adalah pelajaran. Ia adalah pengingat bahwa setiap keindahan yang kita miliki hari ini adalah titipan yang harus dirawat. Sebab, ketika kita abai, alam pun akan berbicara, mungkin tidak dengan kata-kata, tetapi melalui hilangnya pelukan hangat yang selama ini begitu kita dambakan.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #72: Tantangan Edukasi Politik di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #73: Pencurian Motor di Cicalengka, Krisis Keamanan yang Meresahkan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #74: Urbanisasi dan Ironi Kerja di Cicalengka

Betonisasi Bukit, Kikisnya Warisan Alam

Pembangunan perumahan baru telah mengubah wajah Bukit Candi yang hijau menjadi abu-abu. Mesin-mesin berat seperti monster lapar yang tak henti melahap hijau rerumputan dan dedaunan. Pohon-pohon yang dahulu menaungi kini satu per satu tumbang, berganti dengan struktur beton yang dingin dan kaku. Habitat alami yang menjadi rumah bagi flora dan fauna lokal pun tinggal menunggu waktunya untuk luruh tak tersisa.

Bukit Candi yang menjadi kebanggaan warga Cicalengka kini harus berhadapan dengan ancaman eksploitasi lahan. Kehadirannya sebagai ruang hijau yang menyediakan udara segar, menahan limpasan air hujan, dan menjadi tempat berkumpul masyarakat perlahan tergantikan oleh deretan rumah dan jalan beton. Transformasi ini tidak hanya mengubah lanskap, tetapi juga cara masyarakat memanfaatkan dan memandang lingkungan mereka.

Lebih dari itu, dampak ekologis mulai terasa. Bukit yang selama ini menjadi penopang ekosistem lokal kini tak lagi mampu menahan limpasan air hujan. Risiko longsor meningkat, banjir menjadi ancaman baru, dan kualitas udara menurun drastis. Pembangunan ini juga membuat bukit kehilangan fungsinya sebagai tempat penyerapan karbon alami, memperburuk polusi udara di kawasan tersebut.

Sedari dulu, masyarakat lokal memandang Bukit Candi sebagai simbol kelestarian alam dan tempat untuk menghubungkan diri dengan kekayaan hayati. Kini, simbol tersebut tercoreng oleh deretan perumahan yang memancarkan ketidakseimbangan. Ketika bukit ini perlahan kehilangan jiwa ekologisnya, masyarakat turut kehilangan warisan hijau yang seharusnya dijaga untuk generasi mendatang.

Bukit Candi adalah saksi bisu bagaimana eksploitasi tanpa batas dapat merusak keseimbangan ekosistem. Tetapi bukit ini juga dapat menjadi simbol harapan, bahwa dengan kesadaran dan tindakan kolektif, kita masih dapat memperbaiki apa yang telah rusak. Kini, saatnya kita bertanya: apakah kita ingin meninggalkan cerita tentang kehancuran atau tentang penyelamatan untuk generasi mendatang? Bukit Candi menanti jawabannya, dari kita semua yang peduli akan masa depan.

Apakah pembangunan ini benar-benar membawa kemajuan? Pertanyaan ini pantas direnungkan. Di satu sisi, perumahan baru memberikan ruang bagi urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi lokal. Proyek-proyek perumahan sering kali dijual dengan narasi "kemajuan," menjanjikan gaya hidup modern dan fasilitas lengkap bagi penduduknya. Namun, di sisi lain, harga yang harus dibayar terlalu mahal. Kehilangan ruang hijau, ancaman lingkungan, dan perubahan estetika kawasan tak dapat diabaikan.

Bukit ini adalah simbol harmoni alam yang tak ternilai harganya. Sayangnya, nilai tersebut sering kali diabaikan demi keuntungan jangka pendek. Ketika bukit ini berganti wajah, kita kehilangan lebih dari sekadar pemandangan indah. Kita kehilangan identitas, tempat masyarakat bersandar, dan harapan akan masa depan yang lestari.

Eksploitasi bukit ini tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada masyarakat yang bergantung pada ruang hijau untuk kesejahteraan psikologis mereka. Dengan hilangnya area hijau seperti Bukit Candi, masyarakat kehilangan tempat untuk merasakan kedamaian dan pelarian dari stres kehidupan sehari-hari. Perubahan ini bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal emosional dan spiritual.

Cicalengka Hijau, Harapan atau Ilusi?

Kita masih memiliki waktu untuk bertindak. Meski Bukit Candi telah berubah, upaya pelestarian tetap dapat dilakukan. Konsep pembangunan berkelanjutan dapat menjadi solusi. Revitalisasi lahan hijau, penghijauan kembali area yang tergerus, dan pembangunan dengan pendekatan ramah lingkungan adalah langkah-langkah yang bisa diambil.

Pemerintah harus memainkan peran lebih aktif dalam melindungi ruang hijau yang tersisa. Misalnya, dengan menetapkan peraturan ketat mengenai tata ruang yang melarang pembangunan di area yang memiliki nilai ekologis tinggi. Selain itu, pengembang perumahan dapat diarahkan untuk menyisakan bagian dari proyek mereka untuk ruang hijau yang memadai.

Selain regulasi, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam upaya pelestarian. Edukasi lingkungan yang menekankan pentingnya ruang hijau dapat membantu menciptakan kesadaran kolektif. Kolaborasi antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat lokal adalah kunci untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.

Mari jadikan Bukit Candi ini simbol perjuangan kita. Sebuah perjuangan untuk membuktikan bahwa kemajuan tak selalu harus mengorbankan lingkungan. Bukit ini masih memiliki potensi untuk menjadi ruang hijau yang hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.

Hari Minggu di Bukit Candi selalu dipenuhi senyuman, keringat, dan kebahagiaan. Namun, apa yang akan terjadi ketika semua ini hilang? Jika kita tidak bertindak sekarang, Bukit Candi hanya akan menjadi kenangan samar dalam cerita rakyat, disebut-sebut sebagai "bukit yang pernah ada."

Jika kita gagal menyelamatkan Bukit Candi, apa yang akan kita katakan pada anak cucu kita? Bahwa kita memilih keuntungan sesaat di atas keberlanjutan hidup mereka? Atau bahwa kita memilih bijak, menjaga warisan ini untuk mereka nikmati? Pilihannya ada di tangan kita.

Bukit ini adalah kanvas alam yang tak boleh sepenuhnya ternoda. Masih ada ruang untuk memperbaiki lukisan ini, untuk menyisakan hijau di tengah abu-abu, dan untuk memberikan harapan bahwa harmoni antara manusia dan alam masih mungkin terwujud di Cicalengka. Dengan menjadikan Bukit Candi sebagai contoh sukses kolaborasi pelestarian lingkungan, kita dapat menunjukkan pada dunia bahwa Cicalengka tidak hanya mengejar kemajuan, tetapi juga berkomitmen pada pelestarian lingkungan.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//