Membedah Van Tricht #1
Diskusi buku Kehidupan Masyarakat Tradisional di Jawa Barat terjemahan karya Van Tricht (1929) membahas masyarakat adat Kanekes, yang lebih dikenal dengan Baduy.
Topik Mulyana
Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi
2 Januari 2025
BandungBergerak.id – Rabu pagi itu, hujan rintik-rintik masih menyirami Kota Bandung dan sekitarnya, termasuk di daerah Jalan Nias. Barangkali, sisa curah hujan yang turun sejak sehari sebelumnya menyebabkan acara bedah buku Kehidupan Masyarakat Tradisional di Jawa Barat di Ruang Kuliah Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) tidak terlalu ramai. Seratus jumlah kursi yang tersedia hanya terisi setengahnya lebih sedikit. Padahal, hingga H-1 acara, para peserta yang mengonfirmasi kedatangannya mencapai 90 orang lebih.
Beruntung, hal itu sama sekali tidak mengurangi kekhidmatan acara tersebut, terlebih lagi buku yang dibincangkan merupakan buku penting yang menjadi rujukan banyak peneliti, baik akademis maupun independen, tentang masyarakat adat, wabilkhusus masyarakat adat Kanekes atau yang lebih dikenal dengan Baduy. Bagaimana tidak, buku karya dr. van Tricht yang terbit pada tahun 1929 ini dinilai penting dalam memetakan alur sejarah dan tata keyakinan masyarakat yang selama berabad-abad hidup mengisolasi diri itu. Kompetensi masing-masing pembicara pun menambah kadar kekhidmatan itu.
Pada mulanya, buku ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul Lavende Antiquiteiten in West Java pada tahun 1929 dan diiklankan dengan cukup masif. Secara pragmatis, terjemahan buku ini diterbitkan dengan sekurang-kurangnya dua tujuan, yakni mempermudah akses terhadap karya penting tentang masyarakat adat ini dan kedua dalam rangka mengenang Mgr. Geise, pendiri Unpar, yang disertasi doktoralnya mengambil tema tentang Badui yang mana buku van Tricht ini termasuk referensi penting yang digunakan Geise.
Acara yang diselenggarakan Pusat Studi Sundanologi Nitiganda bekerja sama dengan Centre for Philosophie, Culture and Religious Studies (CPCRES) dan Penerbit Buku Kompas ini dimulai pukul 09.15 wib dengan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” secara bersama-sama. Kemudian, pewara (MC), membacakan rajah Sunda sebelum menyapa para hadirin dan membacakan rangkaian acara. Pembicaraan mengenai buku van Tricht diawali dengan keynote speaking oleh Dr. Ade Jaya Suryani (Kang Ade), Dosen UIN Sultan Maulana Hasanudin, Banten. Beranjak ke rangkaian pemaparan oleh empat orang pemateri, yakni Dr. Tristam P. Moeliono (Pak Tristam) sebagai penerjemah, kemudian dilanjutkan Dr. Selly Riawanti (Bu Selly), Niduparas Erlang (Kang Nidu), dan terakhir RD. Dr. Alfonsus Sutarno, Lic. Th (Romo Tarno).
Baca Juga: Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda
Masyarakat Adat dan Modernitas
Kang Ade memulai pembicaraannya dengan respons masyarakat adat di seluruh dunia terhadap modernitas. Menurut Kang Ade, ada dua jenis respons tersebut, yakni menerima lalu beradaptasi dengan modernitas sembari menjaga tradisi dan menolaknya karena modernitas dianggap ancaman. Kanekes atau Baduy termasuk yang kedua. Inilah yang menjadi kenyataan hari ini, yakni bahwa Baduy terancam dengan desakan berbagai produk modernitas, baik yang datang secara alami maupun yang sengaja dilakukan oleh pihak pemerintah. Bahkan, dengan mengutip sebuah berita di majalah Pesat tahun 1954, Kang Ade menyebutkan kemungkinan akan terjadi konflik antara masyarakat Kanekes dengan masyarakat luar (urang are) dan orang-orang Kanekes akan kalah. Di antara tanda-tanda kekalahan tersebut, lanjut Kang Ade, adalah kian banyaknya orang-orang Kanekes yang beralih keyakinan sehingga harus dikeluarkan dari wilayah (takdiakui lagi sebagai orang) Kanekes serta pertambahan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan.
Setelah Kang Ade turun mimbar, Andreas Doweng Bolo (Pak Andi), dosen FF Unpar, mengambil alih acara untuk memandu sesi pemaparan dan diskusi. Pemaparan dimulai oleh Pak Tristam yang mengawalinya dengan latar belakang penerjemahan buku van Tricht ini, yaitu atas prakarsa Pusat Studi Sundanologi Niti Ganda Unpar yang dikomandoi Romo Tarno bekerja sama dengan Penerbit Buku Kompas. Proyek ini merupakan yang kedua setelah buku Badujs en Moslims: Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang, Banten Selatan karya N.JC. Geise, sang pendiri Unpar, pada 2022 lalu. Kemudian, berdasarkan pendapatnya pribadi, Tristam menyebutkan bahwa karya van Tricht ini menarik dari berbagai sisi. Pertama merupakan catatan etnografis yang menarik dan komprehensif. Kedua, catatan penting ini penting untuk mengetahui perubahan yang terjadi selama beberapa dekade yang dialami masyarakat Baduy. Ketiga, faktor pengarangnya sendiri; van Tricht seorang dokter yang bekerja pada Pemerintah Kolonial Belanda yang mulanya ditugaskan ke Baduy untuk meneliti masalah kesehatan, lalu ditolak dan misinya pun dianggap gagal, namun menghasilkan catatan yang penting dan menarik.
Benar, pada satu sisi memang menarik karena membuka informasi langka, namun di sisi lain merupakan kekhawatiran bagi orang Baduy karena dengan terbukanya informasi ini, meski bukan yang pertama kali, kehidupan mereka akan terganggu. Gangguan itu kemudian terbukti dengan adanya, paling tidak, misi penyebaran agama (zending) dan pemanfaatan oleh negara sebagai objek wisata yang menjadi salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pak Tristam juga mengutip “Declration on the Rights of Indigenous People” yang menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri. Terakhir, ia mengajukan pertanyaan mengenai buku ini: bagaimana membaca catatan-catatan dari masa lalu yang ditulis orang asing?
Pembahasan lebih mendalam tentang buku ini mulai dipaparkan oleh Bu Selly, dosen Antropologi FISIP Unpad. Dimulai dengan pengertian tradisi dari berbagai literatur, kemudian membandingkannya dengan pengertian modern. Di sini terjadi tumpang tindih karena jika merunut pada pengertian tradisi yang secara umum adalah “kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun”, maka modern sebagai cara hidup juga sudah menjadi tradisi. Meski demikian, terdapat beberapa ciri yang tetap membedakannya, di antaranya yaitu bahwa tradisi identik dengan kesederhanaan, sedangkan modernitas dengan kerumpilan atau kompleksitas. Berdasarkan ciri inilah kemudian Bu Selly mulai membahas buku van Tricht, yakni bahwa van Tricht menyebut kesederhanaan orang Baduy sebagai kekanak-kanakan. Ciri itu menjadi lebih jelas lagi jika melihat pengelompokan tradisi menurut Robert Redfield, antropolog AS, yaitu tradisi kecil dan tradisi besar. Dari kacamata Redfiled, Baduy termasuk tradisi kecil karena memiliki ciri-ciri nontekstual, niraksara, perdesaan, beragam, dan berlandaskan kepercayaan lokal. Demikianlah van Tricht melihat Baduy sebagai kebudayaan parsial, bagian dari masyarakat Sunda yang lebih besar.
Pada masa lalu, mungkin bagian dari Kerajaan Sunda (?), tetapi yang pasti, pada saat van Tricht menulis, Baduy merupakan bagian dari Jawa Barat. Bu Selly mengajukan keheranannya pada pilihan van Tricht karena selain Baduy, di Jawa Barat terdapat masyarakat adat lainnya, tetapi mengapa memilih masyarakat adat di Brebes dan Tegal yang secara administratif berada di wilayah Jawa Tengah. Terakhir, Selly memetakan Baduy berdasarkan konsep skala kebudayaan menurut John H. Bodley, yakni kebudayaan kecil (kesukuan, lokal), kebudayaan besar (nagara, nasional), dan kebudayaan global (jejaring antar-negara), tentu dengan ciri-cirinya masing-masing. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana karakteristik serta interaksi dari ketiganya. Baduy, sebagai budaya berskala kecil, berpotensi terancam oleh kebudayaan besar (kepentingan negara) dan kebudayaan global (jejaring antarnegara) dalam hal pemanfaatan sumber daya alam mengingat besarnya biaya penyelenggaraan kedua kebudayaan tersebut.
Humanisme Masyarakat Baduy
Dari lapangan, kita mendapati paparan dari Kang Nidu, sastrawan dan mahasiswa program doktoral FIB UI, yang sedang menyusun disertasinya mengenai tradisi lisan Baduy. Berdasarkan kutipan dari van Tricht sendiri, Kang Nidu langsung menyebutkan bahwa buku tersebut merupakan penelitian yang gagal, baik secara medis maupun antropologis. Dalang kegagalan tersebut adalah sosok yang disebut Tangkesan.
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Tangkesan tidak pernah dibahas secara panjang lebar. Barulah pada penelitian Geise, yang sudah disebutkan sebelumnya, fungsi dan tugas Tangkesan dibahas. Dapat dikatakan, Tangkesan adalah ujung tombak dari penolakan masyarakat Baduy terhadap modernitas. Berdasarkan hal tersebut, Kang Nidu mengingatkan kepada para peneliti tentang Baduy akan keterbatasan akses, ketertutupan informasi, buyut (larangan, pantangan), kelemahan metode wawancara singkat, dan kesimpangsiuran data primer sehingga seorang peneliti tidak boleh menganggap bahwa data lapangannya adalah yang paling benar. Kang Nidu sendiri mengaku mendapatkan data yang sangat berharga dari buku van Tricht ini, yakni “data ritual”, titik gelap (blind spot) yang selama ini membuat penelitiannya buntu.
Sesi ini ditutup oleh Romo Tarno dengan memaparkan perihal humanisme masyarakat Baduy. Dia memulai dengan komitmen Unpar sebagai komunitas akademis yang humanum yang meningkatkan potensi lokal ke tataran global demi peningkatan martabat manusia. Mengulang Pak Tristam, Romo Tarno menjelaskan bahwa penerbitan ini merupakan proyek kedua Pusat Studi Sundanologi Nitiganda, namun lebih rinci dalam menjelaskan pengaruh van Tricht terhadap Geise dan bagaimana penelitian keduanya dimanfaatkan oleh para peneliti Baduy dan masyarakat adat setelahnya, bahkan karya Geise dikutip oleh Bapak Antropologi Modern, Claude Levi-Strauss, dalam bukunya Structural Anthropology. Selain memaparkan kesamaan kedua peneliti tersebut, Romo Tarno juga memaparkan rincian pengaruh van Tricht terhadap Geise, di antaranya kehidupan sosial dan spiritual orang Baduy, perbedaan antara Baduy dan Muslim, serta pengaruh modernisme terhadap adat dan tradisi Baduy. Terakhir, Romo Tarno merinci poin-poin relevansi penelitian van Tricht bagi kehidupan masa kini, di antaranya terkait kearifan lokal, ekologi, toleransi, dan pendidikan.
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Topik Muyana, atau artikel-artikel lain tentang masyarakat adat Baduy