• Kolom
  • Membedah Van Tricht #2

Membedah Van Tricht #2

Buku Van Tricht memantik diskusi mengenai kelangsungan hidup masyarakat adat di Indonesia, khususnya Baduy. Pemerintah wajib melindungi mereka.

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Dekan FF, Pemateri, dan Panitia Sawala Buku Van Tricht. Dari kiri ke kanan: Pastur Otenius Otenieli Daeli, Ph.D. (Dekan FF Unpar), Andreas Doweng Bolo, M.Hum. (dosen FF Unpar, moderator), Dr. Selly Riawanti (dosen Antropologi FISIP Unpad, pemateri), Niduparas Erlang (mahasiswa S3 FIB UI, pemateri), Dr. Ade Jaya Suryani (dosen UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, keynote speaker), RD. Dr. Alfonsus Sutarno, Lic. Th. (dosen FF Unpar, Ketua PSS Nitiganda), Dr. Tristam P. Moeliono (dosen FH Unpar, pe

3 Januari 2025


BandungBergerak.id – Usai pemaparan dari Romo Tarno, Pak Andi kemudian membuka sesi pertama diskusi. Pertanyaan dimulai oleh Pak Sentosa dari Fakultas Hukum Unpar yang ditujukan kepada Bu Selly, apakah tradisi bisa diinterpretasi lewat konsep perubahan sehingga hakikat tradisi bisa turut dalam membangun manusia itu sendiri?

Bu Selly, sebagaimana tercantum dalam salindianya, menyebutkan bahwa tradisi itu diciptakan terus-menerus. Tradisi baru muncul karena adanya krisis dan ancaman. Secara teoretik, orang Baduy bisa kalah dari modernitas. Akan tetapi, faktanya, orang Baduy masih bertahan dan ini mengagumkan. Dalam hal ini, negara harus melindungi mereka.

Peserta kedua yang mengajukan pertanyaan sekaligus kritik adalah Hady Prastya (Kang Hady), seorang filolog dan peneliti independen. Ia mempertanyakan kenapa para pemateri cenderung membahas Baduy, padahal selain Baduy, van Tricht juga membahas masyarakat adat Kampung Karang dan masyarakat Adat Kampung Sagara di Brebes. Menurutnya, keragaman ini penting kaitannya dengan pembahasan mengenai Sunda Wiwitan. Kang Hady juga menyinggung jika andai Sunda Wiwitan diformalkan jadi agama dan tercantum di KTP, maka konsep tradisi dan kepercayaan lokal mereka akan terganggu. Pertanyaan ini tampaknya diajukan kepada semua pemateri, termasuk pembicara kunci (keynote speaker).

Berikutnya, penanggap dan penanya ketiga adalah Heru Hikayat (Kang Heru), kurator dari Selasar Sunaryo Art Space. Kang Heru mengajak kita untuk waspada terhadap ramalan tentang Baduy. Ilustrasinya, orang-orang suku Bajo merupakan masyarakat yang berpindah-pindah. Karena itu, negara tidak bisa mengakuinya. Namun, jika diakui sebagai warga negara, adat mereka akan berubah. Kemudian, Heru mengajukan pertanyaan, dari kasus Baduy, adakah yang bisa kita pelajari untuk dunia kita yang destruktif?

Kang Nidu menanggapi Kang Hady bahwa hingga kini orang Baduy memang menuntut agamanya dimasukkan ke dalam kolom KTP, namun pemerintah kesulitan mengakuinya karena tidak memenuhi syarat sebagai agama, seperti siapa pendirinya. Namun, Kang Nidu menyatakan bahwa orang-orang Baduy akan baik-baik saja. Mereka tidak khawatir dengan ancaman yang datang dari luar, tetapi justru khawatir dengan ancaman internal, yakni orang Baduy sendiri yang menghancurkan Baduy.

Dr. Selly Riawanti, dosen Departemen Antropologi FISIP Unpad sedang memaparkan tentang konsep adat dan tradisi sebagai titik tumpu pembahasan buku van Tricht. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)
Dr. Selly Riawanti, dosen Departemen Antropologi FISIP Unpad sedang memaparkan tentang konsep adat dan tradisi sebagai titik tumpu pembahasan buku van Tricht. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)

Baca Juga: PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #2: Keraton Pakwan-Pajajaran
PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #3: Raja Sunda
Membedah Van Tricht #1

Sikap Pemerintah pada Masyarakat Adat

Usai Kang Nidu menjawab dan memberikan tanggapan balik terhadap Kang Hady dan Kang Heru, Kang Ade memberikan jawaban dan tanggapannya pula. Ia mempertajam masalah sikap pemerintah terhadap masyarakat adat, khususnya Baduy, terutama perihal agama. Menurutnya, definisi agama di negara ini tidak jelas. Dasar dari penetapan enam agama yang diakui secara resmi oleh negara tidak jelas karena dalam undang-undang tidak ada pemilahan antara agama resmi dan agama tidak resmi. Syarat-syarat agama adalah memiliki kitab suci, menyebut Tuhan, ada nabi, dan ada tempat ibadah. Jika diterapkan kepada orang Baduy, hampir semua syarat itu tidak terpenuhi. Maka dari itu, masyarakat adat lemah karena tidak memiliki akses kepada pihak negara. Kemudian, ia menanggapi masalah kemungkinan “kalahnya” orang Baduy oleh modernitas.

Kang Ade membantah pendapat Kang Nidu dengan mengatakan bahwa bagaimana bisa dikatakan orang Baduy itu baik-baik saja, sementara tokoh-tokoh adat Baduy sendiri sudah memiliki handphone, lebih dari seribu orang telah “keluar” dari Baduy karena konversi keyakinan, serta pertumbuhan penduduk yang tidak sebanding dengan ketersediaan luas tanah. Untuk hal ini, Kang Ade berpendapat bahwa orang Baduy harus bernegosiasi dengan aturan mereka sendiri atau dengan kata lain perlu adanya pelonggaran terhadap aturan adat. Akhirnya, Doktor lulusan Leiden Universiteit itu mengajukan pertanyaan, apakah yang bisa kita lakukan sebagai warga negara untuk membantu mereka, yang keberadaannya sejak jauh-jauh hari sebelum negara ini berdiri?

Pendapat Kang Ade tersebut diperkuat oleh Pak Tristam, yakni bahwa politik hukum kita tidak bersahabat dengan masyarakat adat. Proses pengakuan terhadap mereka sangat rumit. Masyarakat adat hanya dilihat sebagai budaya yang menarik. Tristam pun sepertinya mengamini ramalan yang diungkapkan Ade, yakni bahwa kemungkinan kelak masyarakat Baduy akan hilang.

Pemateri terakhir yang memberikan jawaban dan tanggapan dari para penanya ini adalah Romo Tarno, yang memberikan pengkhususan terhadap masalah konversi agama. Menurutnya, klaim kebenaran dari agama-agama kadang dipaksakan kepada pihak-pihak lain, termasuk di dalamnya masyarakat adat. Jadi, selain modernitas, agama juga menjadi tantangan bagi masyarakat adat. Romo Tarno menyinggung hasil penelitian Kang Ade yang menyebutkan bahwa selain Islamisasi, Kristenisasi juga masif dalam konversi orang Baduy, kemudian menegaskan mengenai istilah “kristenisasi”, bukan “Katolikisasi”, sembari menyebut nama Geise yang seorang Uskup dan melakukan penelitian di Baduy, namun tidak mengonversi orang-orang Baduy ke Katolik. Sangat mungkin pernyataan Romo Tarno ini mengacu pada Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa “ada kebenaran di luar gereja”, artinya Katolik sejak saat itu tidak lagi berorientasi pada misi penyebaran agama secara formal, tetapi pada aspek kemanusiaan yang universal; nilai-nilai Katolisitas harus disebarkan tanpa menjadikan sasaran menganut Katolik.

Kemudian, Pak Andi membuka sesi kedua diskusi. Dua orang mengacungkan tangan, yakni Pastur Fabianus Heatubun (Romo Fabie), dosen purna-tugas FF Unpar, dan Hikmat Gumelar (Kang Hikmat), budayawan dari Institut Nalar Jatinanngor. Romo Fabie memberikan tanggapan bahwa ia mendapatkan informasi penting yang selama ini menjadi pertanyaannya, yakni siapa orang Baduy? Dari pemaparan para pemateri, diketahui bahwa Baduy adalah orang-orang pertapa yang mengucilkan diri. Pendiri Pusat Studi Sundanologi Nitiganda ini membandingkannya dengan dunia Katolik, yakni bahwa ada sekelompok biarawan & biarawati yang sengaja mengasingkan diri dan hidup bersahaja dengan aturan yang ketat. Mereka melakukan apa yang disebut fuga mundi, menjauhkan diri dari dunia, untuk memperoleh gnosis, pengetahuan yang bersifat intuitif, langsung, tanpa perantaraan metode, selayaknya pengetahuan yang diperoleh para nabi dan orang-orang suci. Mereka adalah tempat kita belajar mengenai hidup. Maka dari itu, pemerintah berkewajiban melindungi mereka.

Hikmat Gumelar, pendiri institut Nalar Jatinangor, sedang memberikan tanggapan mengenai awal mula permasalahan yang dihadapi Baduy. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)
Hikmat Gumelar, pendiri institut Nalar Jatinangor, sedang memberikan tanggapan mengenai awal mula permasalahan yang dihadapi Baduy. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)

Kelangsungan Hidup Masyarakat Baduy

Penanggap terakhir, Kang Hikmat, mengajukan sudut pandang lain yang juga menarik. Awalnya, penyair yang baru-baru ini memperoleh Palestine Word Prize for Literature ini mengutarakan ketidaksukaannya dengan pesimisme tentang akan hilangnya Baduy. Dia berpendapat bahwa masalah Baduy bermula dari kehadiran orang-orang Eropa yang memandang kepala adat sama dengan tuan tanah dan masyarakat yang dipimpinnya sebagai para pelayannya. Secara keseluruhan, itulah yang terjadi di Nusantara; tanah yang tadinya diperuntukkan bagi kesejahteraan bersama, milik bersama, kemudian menjadi kekayaan pribadi. Hal itu terus berlanjut hingga kini, sehingga kepercayaan terhadap negara semakin menurun, berbarengan dengan menurunnya kepercayaan terhadap demokrasi liberal.

Atas tanggapan balik terhadap kedua penanggap tersebut, para pemateri memberikannya secara singkat, mengingat keterbatasan waktu. Bu Selly menyebutkan bahwa yang membuat pesimis itu negara. Hal itu salah satunya diakibatkan ketidakmengertian para penyelenggara negara terhadap masyarakat adat. Para pejabat negara harusnya terjun, mengalami, hingga benar-benar mengenal masyarakatnya. Kang Nidu tetap dengan optimismenya, yakni bahwa Baduy memiliki mekanisme adat untuk memperlakukan apa pun terhadap apa pun yang memengaruhi hidup mereka. Itulah sebabnya hingga saat ini mereka masih bertahan. Kang Ade menguatkan pendapat Romo Fabie bahwa orang-orang Baduy memang pertapa, itulah sebabnya mereka menabukan pembangunan dan modernitas. Terakhir, Pak Tristam memperingatkan bahwa kita secara diam-diam memusnahkan suku-suku terpencil dengan membongkar hutan dan mengambil sumber daya alam serta tanah mereka. Terkait dengan politik hukum di Indonesia, ternyata hukum kita tidak mengenal indigenous people sehingga tidak ada undang-undang khusus yang melindungi mereka.

Pastur Fabianus Heatubun (Romo Fabie), dosen purnatugas FF Unpar dan pendiri Pusat Studi Sundanologi Nitiganda, sedang memberikan tanggapan mengenai kepertapaan orang-orang Baduy. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)
Pastur Fabianus Heatubun (Romo Fabie), dosen purnatugas FF Unpar dan pendiri Pusat Studi Sundanologi Nitiganda, sedang memberikan tanggapan mengenai kepertapaan orang-orang Baduy. (Foto: Dokumentasi Topik Mulyana)

Pernyataan Pak Tristam di atas menutup acara bedah buku yang berjalan selama kurang lebih empat jam tersebut. Tercatat ada 60-an orang yang hadir secara langsung dan 367 orang yang hadir secara daring lewat saluran Youtube Live Streaming. Hal ini menunjukkan bahwa minat terhadap masyarakat adat Baduy atau Kanekes memang kian tinggi. Kehadiran buku van Tricht ini diharapkan menambah referensi akan Baduy karena membahas hal-hal yang mungkin jika dilakukan saat ini akan sangat sulit, seperti masalah religi dan Arca Domas. Selain itu, nilai penting lainnya adalah untuk bahan perbandingan kondisi Masyarakat Baduy antara awal abad ke-20 dan awal abad ke-21. Rentang waktu satu abad itu jelas merupakan bentang penelitian yang sangat potensial. Tujuan utamanya, sebagaimana disebutkan Romo Fabie, untuk belajar kepada mereka mengenai pelbagai kebijaksanaan hidup, terlebih dalam dunia modern yang kian hampa-nilai dan destruktif ini.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain Topik Muyana, atau artikel-artikel lain tentang masyarakat adat Baduy

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//