MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #51: Inikah Namanya Jodoh?
Cinta itu ada di hati dan otak itu sebagai ukuran untuk membaca diri. Dengan cinta semua menjadi terasa indah, cinta bukan untuk bikin susah.
Asmali
Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.
6 Januari 2025
BandungBergerak.id – Aku dan Titin resmi berpacaran. Pulang dari Holis ke flatku di Sarijadi rasanya jadi enggak keruan. Dari yang semula deg-degan, kini berubah menjadi bahagia, senang dengan sifat keramahan keluarganya, Titin yang pendiam tanpa ekspresi tapi hatinya mau menerima kehadiranku membuat kedatanganku dari jam 10 pagi hingga pukul 19.00 jadi tidak berasa.
“Mungkin inikah yang namanya jodoh?” gumamku dalam hati.
Aku belum paham konsep jodoh kalau itu, tetapi aku percaya, jodoh itu selain sudah ada yang mengatur, tapi tidak lepas dari usaha dan menurutku pribadi, jodoh itu ada, tergantung dengan frekuensi pertemuan kita dengannya. Tambah sering kita bertemu menjadikan tambah dekat kita dengannya.
Begitu juga datangnya rasa cinta dan suka pada seseorang, bisa karena dilihat dan didengar dari suaranya, kata-kata, gayanya, pembawaan kepribadiannya, penampilannya. Atau bahkan mungkin dari gesturnya saat berjalan, lenggangnya, keserasian cara berpakaian, senyumnya, kalemnya, dan mungkin masi banyak lagi tergantung penilaian masing-masing orang.
Yang jelas kalau aku menilai bukan dari harta seseorang, tapi pendidikan. Cinta itu ada di hati dan otak itu sebagai ukuran untuk membaca diri. Dengan cinta semua menjadi terasa indah, cinta bukan untuk bikin susah, cinta bukan sekedar kata-kata, tetapi dengan perilaku dan perbuatan.
Sepanjang perjalanan di angkot minderku datang lagi. Masak iya Titin menerimaku yang hanya bermodal angkot ini. Mestinya orang secantik Titin, gadis Bandung ini paling enggak punya calon seorang Sarjana yang waktu itu belum banyak. Bukan lulusan STM sepertiku. Ah, tapi aku berdoa saja, semua ini sudah kehendak Allah rupanya menyatukan kami berdua.
Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #48: Ke Rumah Titin
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #49: Aku yang Pesimistis
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #50: Aku dan Titin Bersama
Digoda Kawan
Tak lama kemudian aku sampai ke flatku yang terletak di Blok M. Bukan “Blok M” di Jakarta ya, tetapi di Blok M dari beberapa blok yang ada di flat tersebutnya. Flat ya sendiri saat ini masih menjulang di Sarijadi sana.
Aku menaiki angkot bentuk mobil Kijang jurusan Ciroyom-Sarijadi dari Holis, tempatnya Titin. Jalannya agak memutar sampai ke Geger Kalong. Sepanjang perjalanan, banyak penumpang yang naik turun, jadi terasa aman dalam perjalananku.
Setiba di flat, aku lihat teman-teman sedang asyik nongkrong. Ada yang main kartu ada yang hanya duduk saja sambil bercengkerama.
“Ehem! Yang baru pulang apel, kirain lupa pulang,” kata salah satu teman yang tahu aku pergi cukup pagi.
“Biasa pendekatan dulu sama keluarganya, makanya lama,” aku menimpali.
“Kenapa enggak ngajak-ngajak gua Li apelnya?,” temanku yang lain terus membercandaiku.
“Gua enggak percayaan sama elu orang pada,” kataku dan disambut tawa kami.
Senin paginya, seperti biasa aku bekerja di kantor. Rutinitas sebagai karyawan dimulai dari masuk pukul 7.30, dibuka oleh ceramah agama sekitar 45 menit sebelum kemudian memulai kerja di bidang masing-masing.
Tetapi di jam istirahat kini ada aktivitas yang berbeda. Aku memberanikan diri menelepon Titin di ruang kerjanya yang berada di gedung berbeda. Tidak berlama-lama telepon berdering, gagang telepon langsung diangkat. Tapi aku masi ragu, aku bilang: “Ini dengan siapa?”.
Suara di seberang balik bertanya. “Mau bicara sama siapa?.”
“Mbak Titin,” kataku.
“Oh ya saya sendiri,” kata orang di seberang yang ternyata Titin.
“Oh iya, saya ini Asmali, semula takut bukan Titin yang mengangkat teleponnya, makanya saya tanya dulu,” kataku agak salah tingkah.
“Istirahat mau ke mana?” Titin menanyakan.
Aku bilang mau makan siang dan kami bikin janji untuk bertemu lagi siang itu. “Asmali ke sini dulu ya,” kata Titin dari seberang telepon.
Aku langsung bergegas ke tempatnya.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau