• Kolom
  • MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #52: Kencan Pertama, Makan Siang di Kantor

MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #52: Kencan Pertama, Makan Siang di Kantor

Kita bersepakat untuk makan di kantin yang jaraknya tak jauh dari gedung Titin di salah satu tempat makan yang disediakan Nurtanio untuk 18 ribu karyawannya.

Asmali

Anak Betawi yang menghabiskan lebih dari 40 tahun hidupnya di Bandung. Banyak menghabiskan waktu membaca buku-buku bertema agama dan sosial.

Titin. (Foto: Asmali)

12 Januari 2025


BandungBergerak.id – Hari itu aku menuju gedung tempat Titin bekerja untuk makan siang bersama. Mungkin kencan pertama kali kami di kantor sesudah kami berdua berkomitmen untuk membina hubungan yang serius. Meskipun kami bekerja untuk perusahaan yang sama, jarak gedung tempat Titin bekerja dan tempatku cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki sehingga aku memilih bus operasional.

Sampai di sana, aku mengetuk pintu, lalu aku masuk, dan aku lihat ada beberapa karyawan-karyawati yang juga bersiap untuk makan siang. Aku bersalaman sambil memperkenalkan diri. Beberapa aku sudah sering lihat walaupun tidak kenal secara personal.

“Bawa kartu makan enggak?” kata Titin, waktu itu karyawan memang menggunakan kupon tersendiri untuk makan di kantin kantor. Aku menunjukkan kuponku dan kita bersepakat untuk makan di kantin yang jaraknya tak jauh dari gedung Titin bekerja di lantai tiga.

Baca Juga: MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #49: Aku yang Pesimistis
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #50: Aku dan Titin Bersama
MEMOAR ANAK BETAWI PERANTAU #51: Inikah Namanya Jodoh?

Makan Siang Bersama

Cara makan dengan sistem seperti ini, di kantin biasanya karyawan akan mengantre. Nanti untuk mengambil makanannya, kami menukarkan kartu makan ke petugas kantin yang sudah dibayar oleh perusahaan setiap bulannya. Kartu ini juga diterima oleh karyawan setiap satu bulan sekali.

Di setiap gedung ada kantin masing-masing. Bahkan ada yang luas lengkap dengan koperasi, bank, tempat pameran, dan ruang pertemuan.

Di dua tempat makan Nurtanio yang sudah di sediakan perusahaan, tidak termasuk kantin siswa perusahaan, kantin ini menjadi tempat istirahat bagi lebih dari 18.000 karyawan yang akan makan dengan waktu yang singkat, tidak lebih dari dua jam.

Dengan sabarnya kami semua menunggu antrean yang terurai panjang, tetapi kami nikmati itu semua dengan penuh rasa kesabaran dan suasana riang. Untuk hal seperti ini, aku sendiri sudah teruji sejak masih sekolah di STM dulu, dan kami rasakan sejak kami menjadi karyawan, dari tahun 1981 sampai dengan tahun 2003 saat aku tak lagi bekerja di Nurtanio. sambil menunggu antrean makan siang sesekali di temani dengan lagu alunan musik penghantar makan.

Setelah selesai makan bersama, Aku kembali jalan bersama Titin ke ruang kerjanya. Sambil berjalan santai bersama teman-teman Titin, salah satu temannya, ada yang berkomentar. “Kapan nih mbak Titin? Saya tunggu undangannya,” kata seorang teman tersebut mengomentari aku dan Titin.

Titin membalas pada orang yang kemudian aku tahu bernama Rudi itu. “Memangnya Rudi mau datang gitu, kalau mbak Titin nikah?”.

Kami tertawa ringan. Salah satu teman yang lain menimpali. “Bang, saya yang jagain mbak Titin di sini, tenang aja bang.”

Terus aku bilang. “Titip yah, mbak Titin-nya tolong diawasi.” Kami kembali tertawa.

Aku hanya antar sampai di depan lift sementara Titin lanjut ke musala.

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Memoar Anak Betawi Perantau

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//