Menilik Delik Inklusivitas di Kota Bandung
Kota inklusif wajib menyediakan layanan, fasilitas, program, dan bangunan yang memenuhi hak-hak difabel.
Egia Azhari Sitepu, Muhammad Rafi Hidayat, dan Nugraha
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
15 Januari 2025
BandungBergerak.id – “Saya terkadang suka iri, melihat orang tua di luar sana mengajak anak-anaknya untuk berwisata. Keterbatasan saya sebagai disabilitas harus terbatasi aksesibilitas yang belum mumpuni.”
Ialah Taufiq Hidayatullah (44 tahun). Siang hari itu, Taufiq bercerita mengenai kisahnya yang sering kali kesulitan dalam mengakses tempat wisata di Bandung. Ayah tiga orang anak ini sering kali merasa sedih ketika anaknya ingin mengunjungi salah satu tempat wisata tertentu, namun ia tak bisa memenuhi keinginan anaknya akibat keterbatasan akses.
Taufiq merupakan seorang disabilitas tuna daksa kelahiran Bandung yang saat ini aktif di organisasi penyandang disabilitas Bandung Independent Living Center (BILIC). Taufiq tidak bisa berjalan sejak usianya menginjak dua tahun karena terinfeksi virus polio. Ia menderita panas ekstrem selama berhari-hari. Dirinya mengalami pelemahan otak setelah disuntik dengan dosis yang tidak sesuai. Karena itulah hingga kini, kaki Taufiq tidak bisa berjalan.
Tidak hanya dirinya, anak ketiga Taufik juga merupakan seorang pengidap cerebral palsy ringan. Anaknya masih bisa berjalan, hanya saja jalannya tak selancar orang pada umumnya. Kakinya berjalan dengan kaku dan terjinjit-jinjit.
Kisahnya tak hanya menyoal tempat wisata, dua bulan yang lalu tepatnya Agustus 2024, Taufiq mengalami kecelakaan di Stasiun Bandung saat menaiki eskalator. Dirinya sempat terguling beberapa kali karena pegangan ujung eskalator belum cukup inklusif bagi disabilitas.
“Jadi saya semacam apa ya, terguling gitu beberapa putaran. Saking untuk menahan, soalnya kalau langsung jatuh kayak gini, takutnya ini cedera sendi-sendinya, jadi saya mengamankan diri pada saat itu disaltokan aja,” kata Taufiq.
Kisah Taufiq hanyalah salah satu dari sekian banyak kisah masyarakat berkebutuhan khusus di Kota Bandung, yang mengalami kesulitan akibat keterbatasan aksesibilitas. Menurut data yang kami peroleh dari Dinas Sosial terkini tahun 2024, kami mengungkap data sebaran difabel yang tertuang dalam sajian tabel berikut.
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa jumlah disabilitas Kota Bandung saat ini berjumlah 7408 jiwa. Disabilitas fisik menjadi penyandang terbanyak, disusul disabilitas sensorik dan intelektual. Ada pula beberapa orang yang tidak hanya menyandang satu disabilitas saja, namun tiga disabilitas sekaligus.
Data ini tentu saja menunjukkan bahwa pemerintah Kota Bandung harus benar-benar berbenah untuk mengupayakan hak dan kenyamanan dari tujuh ribu lebih masyarakatnya.
Jangan sampai, keberadaan masyarakat disabilitas hanya dipandang sebelah mata, hanya karena mereka adalah minoritas.
Baca Juga: Kapan Negara Mewujudkan Fasilitas Publik untuk Penyandang Disabilitas?
Belum Optimalnya Fasilitas Publik Kota Bandung bagi Penyandang Disabilitas
Bergerak Bersama Disabilitas
Seluk Beluk Kota Bandung “Kota Inklusif”
Perjalanan Kota Bandung menuju kota inklusif telah berjalan lebih dari 10 tahun lamanya. Salah satu pejabat yang sempat menyerukan pentingnya Kota Bandung menjadi kota inklusi adalah Walikota Bandung periode 2013-2018, Ridwan Kamil (RK). Dikutip dari detik.com, pada 2014 silam, RK sempat menyatakan bahwa pemerintahannya memiliki fokus untuk bisa menjadikan Kota Bandung sebagai kota yang inklusif.
"Kita akan mengupayakan kesejahteraan dan lapangan kerja (bagi disabilitas). Saat ini sedang dioptimalkan prosesnya,” ucapnya kepada awak media pada saat itu.
Akan tetapi, setelah 10 tahun berlalu, Kota Bandung masih belum bisa dianggap sebagai kota inklusif. Banyaknya trotoar dengan kondisi memprihatinkan, transportasi umum yang belum memadai, dan sejumlah masalah inklusivitas lainnya masih menjadi persoalan tersendiri.
Trotoar contohnya, berdasarkan data dari Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, per 2024 ini, trotoar yang menyediakan akses untuk difabel baru menyentuh angka 34,6% saja dari target panjang trotoar yang ada. Kecamatan Sumur Bandung yang merupakan ring 1 di Kota Bandung pun masih mendapati banyak persoalan.
Peta hasil survei Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) ini menunjukkan, bahwa di ring 1 Kota Bandung saja, masih mendapati banyak sekali fasilitas umum yang tidak memadai.
Selain masalah kurangnya akses yang memadai, masalah lain yang turut muncul adalah keberadaan pedagang kaki lima (PKL). DILANS dalam datanya menunjukan bahwa aksesibilitas trotoar di Kota Bandung ini banyak terhambat oleh keberadaan PKL yang berdagang di trotoar jalan.
Tiang, pohon, dan PKL menjadi tiga obstruksi (penghambat) utama aksesibilitas trotoar di ring 1 Kota Bandung. Tentu kondisi ini menjadi gambaran bahwa tantangan aksesibilitas di Kota Bandung tak hanya sebatas jumlah fasilitasnya saja, tetapi juga pada rendahnya kesadaran masyarakat akan akses itu sendiri.
Dilema baru pun muncul, pasalnya PKL menjadi penyumbang terbesar 260 titik obstruksi bagi aksesibilitas. Sedangkan disisi lain, mereka yang berjualan pun mengharapkan adanya keadilan.
Salah satunya ialah Tatang, seorang pedagang kopi yang setiap harinya berjualan di trotoar jalan Re. Martadinata. Dirinya mengungkapkan bahwa sebenarnya ia mengetahui adanya larangan berjualan di atas trotoar. Namun, dirinya harus melakukan itu demi menghidupi anak istrinya.
“Saya tahu dilarang. Cuman ya, saya gimana lagi … Aduh nasib ya. Dari pada anak istri gak makan, kan gak punya kerjaan lagi”, ucap Tatang.
Tatang berharap, jika ada penertiban dirinya bisa diberikan tempat yang tetap dengan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga kecilnya.
Tak sampai di sana, kondisi transportasi umum di Kota Bandung juga tak jauh berbeda. Hingga saat ini, terdapat 4 moda transportasi utama di Kota Bandung. Beberapa di antaranya yaitu Trans Metro Pasundan (TMP), Trans Metro Bandung (TMB), Angkutan Kota (Angkot), dan Commuter Line Bandung Raya.
Sayangnya, dari keempat moda transportasi tersebut belum ada yang benar-benar menunjang aktivitas teman disabilitas. Sebagai contoh, masih banyak halte dan pemberhentian TMP dan TMB yang kondisinya kurang baik. Tak hanya itu, inklusivitas angkot juga masih jauh dari kata memadai. Padahal, angkot merupakan moda transportasi umum paling masif di Kota Bandung, dengan jumlah total sebanyak 5.521 unit pada tahun 2021.
Upaya pemerintah Kota Bandung melalui Perda No. 15 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas juga belum terlaksana dengan baik. Dalam beberapa pelaksanaan seperti program bus khusus disabilitas misal, keberadaannya justru mendorong adanya eksklusivitas difabel. Hal ini dituturkan oleh Direktur Eksekutif Bandung Independent Living Center (BILIC) Zulhamka Julianto.
“Ya kemarin aja, Pemprov pernah ngadain bus khusus difabel. Padahal bukan seperti itu, justru itu malah jadi eksklusif jadinya. Eksklusif buat si difabelnya,“ kata Zulhamka.
Zulhamka menuturkan, bahwa program seperti bus disabilitas yang diluncurkan tahun 2020 lalu ini tidak mendorong adanya kesadaran akan inklusivitas. Menurutnya, fasilitas untuk disabilitas harusnya menjadi default (bawaan) di setiap transportasi umum Kota Bandung. Adanya bus khusus difabel justru mendorong adanya perbedaan perlakuan antara masyarakat umum dan disabilitas.
Bila Ring 1 Kota Bandung saja seperti ini, bagaimana dengan lokasi lainnya?
Peliknya Regulasi Disabilitas di Kota Bandung
Berbicara mengenai masalah inklusivitas di Kota Bandung, Tri Nur Sabhi, aktivis difabel sekaligus Sekretaris Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) mengungkap, salah satu hambatan yang sering kali dihadapi disabilitas adalah tidak dilibatkannya difabel dalam proses pembuatan regulasi.
"Semisal peraturan tentang kesehatan buat yang disabilitas, tapi yang membuat regulasi dan SOP tersebut adalah orang-orang yang bukan disabilitas. Pastinya kalau diterapkan kan enggak pas,” ungkapTri.
Selain itu, Tri juga menuturkan, kendala lain yang dialaminya dalam memperjuangkan hak inklusivitas ialah pergantian pemimpin. Menurutnya, pergantian Walikota misal, sering kali memutus inisiatif atau upaya yang telah dilakukan sebelumnya.
Sebagai contoh, pada saat masa jabatan Yana Mulyana sebagai Walikota Bandung, ITMI bersama komunitas disabilitas lain sempat mengusulkan pembuatan Peraturan Walikota terkait tempat ibadah serta aksesibilitas transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
Namun sayangnya, ketika pengajuan tersebut telah sampai Panitia Khusus (Panus), peraturan tersebut harus terhambat dan batal diterbitkan akibat pergantian kepemimpinan. Kasus korupsi Bandung Smart City yang dilakukan Yana Mulyana pada masa itu menjadi salah satu pemicu.
“Jadi percuma, kita udah teriak-teriak gitu kan (untuk memperjuangkan hak). Tapi pas ganti pemimpin, dia nggak mau melihat ke bawah. Nah itu sih sebenarnya yang kita sesalkan.” Keluh Tri pada siang hari itu.
Hal yang sama juga diakui oleh Dinas Sosial. Menurut Ruli Insani Adhitya, Penyuluh Sosial Ahli Muda Dinas Sosial Kota Bandung, pergantian pemimpin dapat berdampak langsung dan bahkan dapat mengubah rencana yang sebelumnya telah disusun.
“Sebetulnya, kalau program-program semua dinas kan, mengajukan ke RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) gitu kan. Nah, terkadang pergantian wali kota bisa mengubah itu. Nanti ganti lagi, ganti lagi PJMD-nya tuh. Nah, itu yang jadi masalah.” Terang Ruli.
Pemerintah sendiri sesungguhnya telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan Kota Bandung yang inklusif. Melky Koswara, Sub Koordinator Perencanaan Drainase dan Trotoar, Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung menjelaskan, bahwa pihak dinas selalu melakukan rehabilitasi trotoar.
Misalnya pengadaan guiding block dan ramp yang inklusif. Pada tahun ini, DSDABM telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 27 Miliar untuk memaksimalkan fasilitas-fasilitas tersebut.
“Berdasarkan anggaran itu, penambahan (panjang guiding block) kita itu sekitar 8 kilo per tahun. Jadi, kita dapetnya anggaran misalkan tahun sekarang untuk trotoar itu di Rp 27 miliar, Itu hanya menambah 8 kilo perbaikan.” Terang Melky.
Sayangnya, Melky menyebut bahwa pembangunan trotoar inklusif tersebut baru menyentuh angka 18% dari total panjang ruas trotoar di Kota Bandung. Trotoar yang telah dibangun fasilitas difabel sebanyak 298 ruas, dengan panjang 332 kilometer. Namun, dari 332 kilometer ini hanya 176 kilometer saja yang berada dalam kondisi baik.
Selain isu-isu di atas, Melky juga mengungkap bahwa pihak dinas juga terkendala oleh kondisi geografis. Kemiringan ramp dan guiding block yang ideal sering terkendala kondisi tanah, bangunan, ataupun tiang listrik yang lebih awal berada di tempat tersebut.
Bagaimana Sesungguhnya sebuah Kota Inklusif yang Baik?
Menurut United Cities and Local Government (UCLG), Kota Inklusif adalah tempat di mana semua orang, tanpa memandang ekonomi, gender, etnis, disabilitas, umur, identitas seksual, status migran, atau agama, dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam berbagai peluang sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Di Indonesia sendiri, regulasi yang mengatur mengenai fasilitas ramah difabel untuk kota yang inklusif tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dari UU tersebut, terdapat 4 indikator utama Kota Inklusif. Yaitu, partisipasi, ketersediaan layanan hak difabel, upaya pemenuhan hak, dan sikap atau budaya inklusif warga kota.
Melalui UU ini, difabel wajib dilibatkan dalam perumusan kebijakan dari tingkat kelurahan, hingga kota. Baik kebijakan dalam bidang sosial, politik, budaya, seni, hingga penanggulangan bencana, difabel harus hadir dan memberikan pandangan.
Kota inklusif wajib menyediakan layanan, fasilitas, program, dan bangunan yang memenuhi hak-hak difabel. Dalam UU No. 8 Tahun 2016 ini, terdapat sekitar 22 hak dasar disabilitas yang harus dipenuhi. Setelahnya, kota yang inklusif harus memastikan kemudahan bagi difabel dalam mengakses bangunan, fasilitas, layanan, dan program tanpa hambatan. Sehingga mereka dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang, sikap toleransi dan inklusivitas yang dimiliki masyarakat terhadap teman disabilitas juga tak kalah penting. Pasalnya, masyarakat yang tidak toleran dapat menjadi penghalang utama dalam menciptakan suatu kota yang inklusif.
"Kalau saya sebagai disabilitas merasa, kami tidak butuh bantuan sosial (bansos) selama kami mendapat kesempatan yang sama, fasilitas yang layak, dan penghasilan yang cukup. Disabilitas juga bisa hidup mandiri," tutup Tri.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya mengenai isu disabilitas