• Berita
  • Belum Optimalnya Fasilitas Publik Kota Bandung bagi Penyandang Disabilitas

Belum Optimalnya Fasilitas Publik Kota Bandung bagi Penyandang Disabilitas

Layanan publik mesti disiapkan secara universal agar dapat diakses oleh masyarakat maupun penyandang disabilitas. Hal ini belum terwujud di Bandung.

Pelajar disabilitas di SLB ABCD Caringin, Bandung, Jawa Barat, pertengahan Agustus 2021. Fasilitas publik di bandung belum optimal melayani kebutuhan penyandang disabilitas. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Agustus 2022


BandungBergerak.idPenyediaan fasilitas publik di Kota Bandung belum ramah bagi penyandang disabilitas. Kondisi serupa terjadi bagi fasilitas maupun layanan publik di Jawa Barat. Pengadaan sarana dan prasarana layanan publik bagi penyandang disabilitas kerap dipandang berbiaya mahal.

Pandangan tersebut sebenarnya bisa dilihat dari perspektif lain jika fasilitas dan layanan publik diadakan secara inklusif atau bisa diakses masyarakat umum maupun penyandang disabilitas.

Usulan itu mengemuka dari Kustini, Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Jawa Barat, dalam Sosialisasi Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Barat yang digelar Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat Rabu-Kamis (3-4 Agustus 2022) lalu.

Menurut Kustini, penyediaan sarana dan prasarana layanan publik mesti disiapkan secara universal yang dapat diakses oleh semua pengguna, dan diprioritaslan kepada penyandang disabilitas yang akan mengakses pelayanan publik.

“Jadi bukan sarana dan pelayanan yang secara khusus hanya diperuntukkan untuk melayani penyandang disabilitas,” katanya, dikutip dari keterangan tertulis Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat.

Menurut Kustini, pelayanan publik yang inklusif dan ramah pada pengguna dari kelompok disabilitas telah dimandatkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hal ini yang harus direalisasikan sebagai bagian dari bentuk pelindungan terhadap penyandang disabilitas.

Persoalan Penyandang Disabilitas di Bandung

Persoalan fasilitas publik bagi penyandang disabilitas di Bandung menarik perhatian para peneliti untuk melakukan kajian secara ilmiah. Di antarnaya, Irma Pujiani, melalui skripsi berjudul “Aksesibilitas Fasilitas Publik Bagi Penyandang Disabilitas (Tunanetra) Sebagai Bentuk Implementasi Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009” [UPI, 2018]. 

Irma Pujiani melihat pada praktiknya, penyandang disabilitas di Kota Bandung belum sepenuhnya dapat difasilitasi secara optimal oleh Pemerintah Kota Bandung. Hal ini menunjukkan ada ketidaksesuaian antara fakta dan hak yang seharusnya didapatkan oleh penyandang disabilitas sebagaimana dapat dilihat pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009 tentang Aksesibilitas Penyandang Cacat Fisik.

Pasal 29 perda menyebutkan bahwa setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat wajib menyediakan aksesibilitas.

Kemudian dalam pasal 30 dijelaskan bahwa penyediaan aksesibilitas yang berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum yang meliputi: a. Aksesibilitas pada bangunan umum; b. Aksesibilitas pada jalan umum; c. Aksesibilitas pada pertamanan dan pemakaman umum; d. Aksesibilitas pada angkutan umum; e. Aksesibilitas pada sarana keagamaan.

“Aksesibilitas penyandang cacat fisik merupakan salah satu produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung guna mewujudkan kemandirian, kesamaan hak, dan kesempatan serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Realitasnya dalam pengaplikasian atau implementasi di lapangan, produk kebijakan tersebut belum maksimal,” papar Irma Pujiani, diakses Jumat (12/8/2022).

Menurut Irma, pada 2017 di Bandung terdapat 5.069 orang penyandang disabilitas, dan 1.060 orang penyandang disabilitas anak. Total penyandang disabilitas di Bandung 6.129 orang.

“Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwasannya jumlah penyandang disabilitas di Kota Bandung Tahun 2017 cukup banyak. Maka dari itu, penyandang disabilitas berhak menggunakan fasilitas publik,” katanya.

Irma meneliti contoh fasilitas publik di Bandung yang kurang ramah pada penyandang disabilitas, yaitu taman-taman tematik. Diperlukan aksesibilitas terhadap fasilitas publik tersebut. Tanpa aksesibilitas, mereka akan mengalami kesulitan dalam melakukan mobilitas.

Menurutnya, semua taman tematik yang ada di Kota Bandung telah tersedia fasilitas bagi penyandang disabilitas. Fasilitas tersebut di antaranya jalan khusus bagi penyandang disabilitas, fasilitas penyangga bagi mobilitas penyandang disabilitas dan fasilitas lainnya. Tetapi pada kenyataannya, fasilitas tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh penyandang disabilitas.

Hasil temuan Irma di lapangan, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di Kota Bandung banyak yang peruntukannya malah dipakai oleh pihak lain, seperti perdagangan dan parkir. Terdapat 103 aksesibilitas yang ditempati pedagang kaki lima dan 3 aksesibilitas yang menjadi lahan parkir.

“Awalnya, banyak pedagang kaki lima yang menjadikan fasilitas penyandang disabilitas sebagai lahan untuk berdagang. Selanjutnya, penggunaan fasilitas disabilitas menjadi lahan parkir oleh sebagian oknum. Kedua permasalahan tersebut mengakibatkan kenyamanan bagi penyandang disabilitas terganggu dan terhambat. Sayangnya dalam beberapa kasus belum ada tindakan tegas dari aparat setempat. Padahal Pemerintah Kota Bandung bertanggungjawab untuk menyediakan pelayanan yang dapat dinikmati dan berangkat sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya agar setiap orang termasuk penyandang disabilitas dapat mendapatkan hak yang sama,” paparnya.

Karena itu, Pemerintah Kota Bandung mesti memaksimalkan kembali Perdanya. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak penyandang cacat sebagaimana masyarakat yang lainnya.

Pengelolaan Pengaduan Bagian dari Perbaikan Pelayanan Publik

Selain Kustini dari HWDI Jawa Barat, acara sosialisasi Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat diikuti oleh perwakilan pemerintah daerah, kantor pertanahan, dan kepolisian resor di Jawa Barat.

Acara tersebut bagian dari angkaian kegiatan Penilaian Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Jawa Barat berupa observasi, pemeriksaan dokumen dan wawancara yang akan dilakukan oleh tim penilai melalui kunjungan lapangan ke unit kerja di pemerintah daerah, kantor pertanahan, dan kepolisian resor di Jawa Barat pada Agustus-Oktober 2022.

Anggota Ombudsman RI, Dadan Suparjo Suharmawijaya,  mengatakan bahwa penyelenggara pelayanan publik (pemerintah dan jajarannya) penting melakukan pengelolaan pengaduan dari masyarakat sebagai bagian dari upaya perbaikan pelayanan publik.

Dadan Suparjo Suharmawijaya menekankan bahwa pengaduan masyarakat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perbaikan pelayanan publik dan menjadi salah satu indikator bahwa pelayanan publik tersebut sudah mulai dirasakan oleh masyarakat.

Menurutnya, ada kelompok masyarakat yang disebut silent citizens yang merasa berkepentingan untuk melaporkan pelayanan publik yang tidak sesuai. Pendapat dan harapan dari kelompok seperti inilah yang antara lain ingin diperoleh melalui kegiatan penilaian yang dilaksanakan oleh Ombudsman RI pada tahun ini.

Sementara itu, Ketua Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana, menjelaskan penilaian terhadap penyelenggara pelayanan publik tidak saja dilakukan terhadap ketersediaan standar pelayanan dan persepsi maladministrasi, namun juga mengukur kompetensi penyelenggara, sarana dan prasarana, dan pengelolaan pengaduan.

Diharapkan, penilaian ini dapat mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik dan mencegah maladministrasi melalui dengan penerapan standar pelayanan dan pengelolaan pengaduan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Secara khusus, Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Jawa Barat mendorong agar hasil penilaian ini dapat digunakan oleh penyelenggara pelayanan publik untuk mengindentifikasi komponen standar pelayanan, kompetensi, sarana, dan pengelolaan pengaduan yang perlu diperbaiki secara bertahap dan berkelanjutan.

“Bukan sekadar kompetisi untuk mendapatkan penghargaan semata,” katanya.

Harapannya, kata Dan Satriana, setidaknya seperti tahun lalu, pasca survey kepatuhan UU Nomor 25/2009 pada tahun 2021 ditindaklanjuti oleh sekira 23 pemerintah daerah dan instansi dengan berkonsultasi dan 18 pemerintah daerah di antaranya kemudian berinisiatif menyelenggarakan bimbingan teknis peningkatan kualitas pelayanan publik.

Selanjutnya, terdapat 10 pemerintah daerah telah mencanangkan komitmen tertulis tindak lanjut dan 7 pemerintah daerah menyampaikan hasil tindak lanjut dari bimbingan teknis yang diselenggarakan tersebut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//