• Cerita
  • Terbuang Lalu Berjuang, Sepak Bola Adalah Harapan bagi Para Pecandu dan ODHIV

Terbuang Lalu Berjuang, Sepak Bola Adalah Harapan bagi Para Pecandu dan ODHIV

Rehabilitasi, ceramah, hingga razia belum mampu mengubah mereka. Justru sepak bola dapat melakukan perubahan itu.

Diskusi Asupan Elmu edisi Sepak Bola dan HIV bersama komunitas Raws Syndicate dan Rumah Cemara di Red Raws Center, Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Selasa, 11 Februari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Penulis Fauzan Rafles 12 Februari 2025


BandungBergerak.idNuansa merah sederhana dengan beberapa pajangan foto di tembok menghiasi Red Raws Center. Kedai ini berada di lantai 3 blok FC 01 Pasar Antik Cikapundung, Bandung. Luasnya sama seperti toko-toko umumnya dengan bentuk kotak dan berderet dengan toko lainnya. Sebagai bonus, di toko ini terdengar suara-suara lantunan musik dari beberapa toko di belakangnya yang kebetulan adalah toko alat musik.

Selasa, 11 Februari 2025, kedai ini menghelat diskusi bertajuk Asupan Elmu edisi Sepak Bola dan HIV yang diselenggarakan oleh komunitas foto bernama Raws Syndicate. Dengan pengisi acara utama Bogiem Sofyan selaku eks pemain Homeless World Cup dan pelatih sepak bola sosial Rumah Cemara.

Aga, selaku pemantik acara diskusi Asupan Elmu dari komunitas Raws Syndicate menjelaskan, acara ini digelar secara rutin dua minggu sekali. Tujuannya, ia ingin komunitasnya mendapat ilmu segar di luar fotografi.

Lebih khusus lagi, ia juga ingin masyarakat umum teredukasi dengan apa itu HIV dan apa itu sepak bola jalanan.

Acara dibuka oleh pendiri komunitas Raws Syndicate sendiri yakni Wahyu. Ia sedikit berbicara mengenai minimnya pengetahuan masyarakat akan pecandu dan juga Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV).

Raws Syndicate memilih Bogiem Sofyan sebagai pembicara karena kisahnya yang menginspirasi. Beliau adalah mantan pecandu dan penderita HIV sejak tahun 2004. Sempat juga bekerja di Rumah Cemara sejak 2003 hingga 2018.

Rumah Cemara sendiri memiliki program pendampingan terhadap ODHIV dan para pecandu narkoba. Pendampingan ini memerlukan edukasi mengingat menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), dalam "Laporan Situasi HIV/AIDS di Indonesia 2022:

“Stigma masyarakat dapat menyebabkan ODHIV merasa terisolasi dan dikucilkan dari lingkungan sosial mereka. Mereka mungkin ditolak oleh keluarga, teman, atau masyarakat sekitar, yang menyebabkan rasa malu, bersalah, atau putus asa.”

Penyuluhan dan sosialisasi kerap dilakukan secara formal dan dari kelas ke kelas. Namun, Bogiem DKK merasa sistem tersebut kurang efektif. Setelah memutar otak, akhirnya Bogiem menemukan ide brilian yaitu dengan menyebarkan informasi HIV/AIDS melalui media sepak bola.

Yang melatarbelakangi ide Bogiem adalah background kuliahnya yang berkaitan dengan olahraga. Ditambah, Bogiem sendiri sudah mencintai sepak bola sejak usia dini. Filosofi lainnya adalah sosialisasi melalui sepak bola diharapkan informasi ini dapat tersebar lebih luas dan cepat.

Hal ini dapat dilihat dari jumlah pemain sepak bola sebanyak 22 orang. Setidaknya, dalam sekali penyuluhan, 22 orang diharapkan dapat langsung menerima informasi dengan baik dan ceria. Melalui League of Change atau Liga Perubahan, Bogiem mengundang teman-teman komunitas dari 9 provinsi.

Para pemain yang mengisi liga ini terdiri dari ODHIV, pecandu narkoba, dan kaum termarjinalkan lainnya. Tujuannya adalah untuk memberikan secercah harapan hidup yang lebih baik. 

“Harapan besarnya sih adalah menunjukkan bahwa para pecandu dan penderita HIV/AIDS menjadi percaya diri, punya harapan hidup, dan menghilangkan stigma masyarakat,” ujar Bogiem.

Sepak bola sendiri adalah olahraga yang dikhususkan untuk semua kalangan. Tidak menutup kemungkinan bagi kawan difabel atau penderita HIV/AIDS. Setiap manusia memiliki kesempatan yang sama di mata sepak bola. Setiap individu dapat mewujudkan mimpinya di olahraga ini.

League of Change pertama digelar 2007 dan puncaknya adalah tahun 2010 tahun di mana mereka pertama kalinya diundang untuk mengikuti Homeless World Cup di Brazil. Namun, sulitnya biaya membuat mereka harus kembali tertidur dan melanjutkan mimpinya.

Tidak ada sponsor, negara pun seperti yang tidak peduli dengan nasib para ‘gelandangan’ yang ingin mengharumkan nama Indonesia. “Dinas-dinas terkait malah menganggap kami orang gila karena belum mengetahui kalau ada Piala Dunia khusus para tunawisma,” keluh Bogiem.

Perjuangan teman-teman Liga Perubahan tidak berhenti sampai di situ. Guna mencari dana, mereka menggelar acara sepak bola selama 24 jam di Lapangan Bawet, Kota Bandung. Dan mereka kembali diundang di pentas yang sama tahun 2011 di Prancis.

Dengan bantuan dana dari produk minuman dan acara TV Nasional membantu ekspektasi besar mereka terwujud. Mereka pergi ke Eropa sebagai kaum terpinggirkan yang mengharumkan nama Indonesia.

Bertahun-tahun Bogiem DKK menyebarkan informasi soal HIV/AIDS melalui sepak bola. Banyak pengorbanan yang dilakukan. Sedih dan mengasihi diri bukan solusi. Justru hal seperti itu harus dijadikan motivasi agar ia dan masyarakat termarjinalkan lainnya dapat membuktikan diri.

Sekadar menjadi pemain di Homeless World Cup saja tidak menjadikan diri seorang Bogiem puas. Setelah dari Prancis, ia diantarkan ke Inggris untuk mendapat beasiswa lisensi kepelatihan khusus komunitas. Lalu, kembali ke tanah air dengan membawa prestasi serta ilmu yang berguna.

Baca Juga: HIV/AIDS di Bandung dalam Bingkai Medis dan Moralitas
Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya: Satu Langkah Memerangi HIV
Cerita Ibu di Bandung yang Hidup dengan HIV, Menanti Antiretroviral Ramah Anak

Sang Pecandu dengan Harapan Besar

Berbekal ilmu dan lisensi kepelatihan untuk komunitas dari negara Britania, Bogiem melanjutkan perjalanan mulianya di Kota Bandung. Ia memiliki mimpi untuk setidaknya memberikan kehidupan yang layak terhadap anak-anak kecil yang terpinggirkan.

Langkah pertamanya adalah dengan mengumpulkan dan melatih anak jalanan di daerah Ciroyom, Kota Bandung. Tentu, ini mengundang banyak cemoohan masyarakat. Banyak yang berkata “untuk apa sih melatih anak-anak jalanan yang kecanduan lem ini?”

Bogiem bagai tuli mendengar guntur. Dengan kerja keras rutin melaksanakan latihan bermain bola selama dua jam, banyak dari anak-anak tersebut yang terlepas dari kecanduannya. “Alhamdulillah dari yang asalnya bisa habis 30 lem sehari, jadi cuma 5 hanya karena sepak bola,” kata Bogiem.

Di dalam sepak bola tidak ada yang namanya perbedaan kasta. Semua orang setara. Hanya nasib dan rezeki yang menjadi pembedanya. Namun, itulah indahnya sepak bola. Orang-orang yang memiliki privilese lebih baik dapat membantu sesama yang tidak memiliki privilese yang sama.

Bogiem membuktikan itu dengan mengantar salah satu anak jalanan di Ciroyom menjadi pemain tim nasional Homeless World Cup. Dari cuma gelandangan, jadi memiliki pencapaian. “Kita tidak boleh mengubur mimpi. Tapi, kita harus menemukan harapan. Salah satunya mewakili Indonesia di kancah internasional,” ungkap Bogiem.

Menurutnya, ketika ada teman-teman yang mewakili atau komunitas yang memberikan ruang aman, masyarakat terpinggirkan yang sebelumnya hidup sengsara dapat memiliki kehidupan yang jauh lebih layak melalui sepak bola.

Bahkan Negara dan Agama pun Belum Dapat Mengubahnya

Anak jalanan dan pecandu narkotika memiliki kondisi yang sedikit berbeda dengan masyarakat umum. Tokoh agama dan bantuan sosial dari pemerintah tidak henti-henti. Namun, hidup mereka hingga saat ini belum berubah menjadi lebih baik. Dari rehabilitasi, ceramah, hingga razia, apakah ada gunanya?

Malah justru manusia dengan vonis positif HIV-lah yang dengan ajaibnya dapat melakukannya. Bogiem, melalui sepak bola dan niat mulianya yang justru berhasil melakukan apa yang negara gagal lakukan: memberi kesempatan hidup yang lebih baik terhadap para pecandu.

“Caranya simpel sih. Saya mengerti kondisi mereka. Kita memposisikan diri kita adalah mereka. Jangan coba menceramahi. Yang penting adalah bikin merekanya seneng dulu. Kalau mereka sudah bahagia, ke depannya akan lebih mudah,” kata Bogiem ketika ditanya metode apa yang ia lakukan untuk melatih anak jalanan di Ciroyom.

Hal-hal seperti inilah yang masih banyak dari pemerintah Indonesia tidak mengetahuinya. Menggunakan bahasa mereka, adalah cara sederhana yang sering kali pemerintah abaikan. Sering kali mereka hanya memaksakan cara formal dan tidak mendahulukan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

Menurut Jurnal Penelitian Kesehatan Masyarakat, stigma dapat berdampak negatif pada kesehatan mental ODHIV. Mereka mengalami depresi, kecemasan, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Stigma juga dapat menghambat ODHIV untuk mencari pengobatan atau dukungan yang mereka butuhkan.

“Metode lainnya adalah dengan cara membuat mereka lupa sesaat terhadap substansinya. Biasanya kita pake cara tegas dengan mengatakan kalau anak-anak ini harus menyimpan dulu lemnya ketika mau latihan. Dan syukurnya setelah setahun dilakukan, mereka mulai meninggalkan ketergantungannya.” kata Eva, salah satu pelatih sepak bola sosial Rumah Cemara.

Perjuangan yang tidak mudah ini terus dilakukan oleh komunitas Rumah Cemara. Dari mulai mengumpulkan anak jalanan, melatihnya, dan bahkan memberikan mereka baju dan sepatu meski akhirnya dijual oleh anak-anak tersebut untuk dibelikan narkotika.

Perjuangan mereka patut diberikan perhatian lebih oleh masyarakat dan khususnya negara. Bagaimana cara manusia memperlakukan orang-orang terpinggirkan juga mencerminkan suatu negara itu baik atau tidak.

Kata Mantan Pecandu yang Berhasil Sembuh

Kate, mantan pemain Homeless World Cup 2019 turut membagikan ceritanya pra-pasca piala dunia. Dulunya, ia adalah pengguna aktif sabu, obat-obatan. dan alkohol selama bertahun-tahun. Hubungan dengan keluarganya juga sempat rusak dan hidupnya sudah sampai di ambang kehancuran. Sampai akhirnya ia mengenal Rumah Cemara untuk mendapatkan lingkungan yang lebih positif.

“Setelah aku gabung ke Rumah Cemara ini, aku latihan tinju supaya hasrat ingin ‘make’ tuh tersalurkan. Ternyata, aku merasa nyaman di sini. Akhirnya, setelah beberapa tahun di sini, aku mulai sober karena banyak olahraga yang mengalihkan pikiranku,” kata Kate.

Cerita menginspirasinya ini ia lanjutkan hingga ia menjadi pemain tim nasional Indonesia di Piala Dunia Tunawisma (Homeless World Cup). Meski ia malah lebih banyak dijauhkan oleh orang-orang setelah masuk Rumah Cemara, lagi-lagi Kate menjadi salah satu korban dari minimnya informasi di masyarakat soal pecandu narkoba.

Pembuktian akhirnya adalah ia merayakan satu tahun lepas dari ketergantungannya dengan bersepeda dari Bandung-Jogja. Tujuannya hanya untuk memberi pengalihan terhadap pikiran dan hawa nafsunya.

Wahyu, selaku pembawa acara ini tentunya berharap dengan diskusi dapat membangun ruang-ruang aman untuk memberikan ilmu-ilmu kepada masyarakat soal pecandu dan HIV/AIDS. Seperti tujuan di awal, mungkin ini menjadi pembelajaran baru buat komunitasnya. Juga, ini bisa jadi ajang menularkan ilmu berharga kepada masyarakat luas.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Raflesatau tulisan-tulisan menarik lain tentang Orang dengan HIV/AIDS

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//