SUARA SETARA: Menjadi Jomblo Bukan Salahmu!
Menjadi jomlo adalah permasalahan sistematis. Kapitalisme berkelindan dan membentuk cara pandang kita dalam mencinta, dicinta, pernikahan, dan kesepian.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/1/7/7/177_300x206.jpg)
Nida Nurhamidah
Gender Research Student Center.
13 Februari 2025
BandungBergerak.id – "Hampir tiga tahun sudah saya menjomlo. Usia sudah melewati seperempat abad. Di waktu-waktu kritis ini, tuntutan untuk segera menikah mulai berseliweran. Dari keluarga, teman, bahkan si mantan."
Aku baca tulisanmu Kak Tofan, lalu terlintas ingatanku saat mengikuti seminar pranikah (iseng ya, hehehe), saat itu ada salah satu pemateri yang memperlihatkan bahwa angka pernikahan di Indonesia menurun dalam satu dekade terakhir. Dan tentu saja, seperti yang sudah kuduga, aku jadi sasaran empuk pertanyaan, “Kapan kamu akan menikah?”
Sontak aku kaget! Aku, Perempuan yang dianggap berada pada usia siap menikah (sesuai standar masyarakat), 24 tahun ini, menjawab pertanyaan itu dengan, “Ga tau Bu, masih lama kayaknya”. Tak aku sangka, ibu pembicara itu langsung menudingku sebagai bagian dari Generasi Z yang enggan menikah. “Kenapa?” tanyanya. Aku tidak yakin akan menikah di dunia yang hampir kiamat ini. Carut marut kehidupan cukup membebaniku, apalagi berpikir tentang pernikahan! Aku tersenyum lalu berkata, “Sekarang apa-apa mahal ya, Bu. Biaya rumah mahal, sekolah anak mahal, ya jadi saya enggak kepikiran untuk menikah saat ini.”
Responsnya? “Berarti kalau suamimu kaya raya, mau?” Ha ha ha! aku menggeleng sambil mengatakan bukan begitu maksudku! Tapi ketahuilah kawan, sejak saat itu aku dicap cewek matre! Huff… Padahal yang ingin aku tekankan adalah aku sedang berpikir realistis tentang kehidupan! Dan setelah membaca tulisanmu, Kak Tofan, aku merasa semua keresahan ini valid, Segala perasaan yang kau ungkapkan itu sangat valid. Persoalan cinta dan pernikahan bukan hanya urusan personal –ia adalah persoalan sistematis. Dan segala keluhan soal kejomloan ini? Ya, ini memang salah pemerintah!
Baca Juga: SUARA SETARA: Fenomena “Sephora Kids”, Kegagalan Feminisme?
SUARA SETARA: Sistem Patriarki yang Membuat Upah Pekerja Perempuan Jauh Lebih Rendah
SUARA SETARA: Retrospeksi Feminisme Era Gelombang Kedua dalam Novel Fiksi The Handmaid’s Tale Karya Margaret Artwood
Jomlo ini adalah Persoalan Sistematis
Aku selalu bertanya kenapa pernikahan kerap dianggap menjadi bentuk keabadian cinta? Mengapa masyarakat berlomba-lomba menikah, mencari validasi dalam pasangan, dan menuntut kemapanan sebagai syarat mencintai? Mengapa mereka takut akan kejomloan? Apakah karena sejak awal, kita telah diajarkan bahwa hidup hanya lengkap jika kita menikah?
Bisa kubilang, menjadi jomlo adalah permasalahan sistematis. Maka perlu melihat bagaimana kapitalisme berkelindan dan membentuk cara pandang kita dalam mencinta, dicinta, pernikahan, dan kesepian. Eva Illouz dalam Why Love Hurts berpendapat bahwa penderitaan dalam cinta bukan sekadar akibat dari trauma individu, melainkan merupakan hasil dari perubahan sosial dan ekonomi yang mengatur cara kita berinteraksi satu sama lain. Sebagaimana Illouz katakan, “Love is mediated by cultural and economic structures” (Illouz, 2012). Dengan kata lain, cinta bukan hanya persoalan hati, tetapi juga bagaimana kapitalisme mengatur siapa yang berhak mencintai dan dicintai.
Jomlo, dalam sistem ini, dipandang sebagai suatu kegagalan. Jika kita tidak memiliki pasangan, itu berarti kita gagal dalam “pasar asmara” yang penuh dengan persaingan. Sistem ini mengajarkan bahwa kebahagiaan hanya bisa ditemukan dalam hubungan romantis, dan karena itu, seseorang yang tidak memiliki pasangan dianggap sebagai individu yang belum “lengkap”. Ini bukan hanya tekanan sosial, tetapi juga mekanisme kapitalisme dalam mempertahankan industri berbasis kesepian –mulai dari aplikasi kencan, industri kecantikan, hingga pernikahan mewah. “Modern romantic suffering is born from the intersection of choice, individualism, and economic rationality” (Illouz, 2012).
Kapitalisme dan Cinta sebagai Komoditas
Kapitalisme mengubah cinta menjadi industri. Pernikahan bukan sekadar janji suci, melainkan bisnis bernilai miliaran rupiah. Lalu, bagaimana dengan jomlowan dan jomlowati yang ada di dunia ini? Tidak menikah, bahkan dilabeli tak laku oleh stigma masyarakat? Huff, jika pernikahan telah menjadi komoditas, maka “kejomloan” adalah penyakit akut yang harus disembuhkan! Patriarki yang berkelindan dengan kapitalisme membangun narasi bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika memiliki pasangan sempurna, menikah dengan venue mahal, gaun mewah, membuat pesta besar-besaran, atau bulan madu fancy di mancanegara!
Pernikahan bukan bentuk tertinggi dari cinta, begitulah yang disampaikan Goldman. Baginya, pernikahan adalah sistem yang secara historis telah menekan perempuan dengan menjadikannya bagian dari transaksi ekonomi. Perempuan “dibarter” dalam institusi ini, dan pernikahan menjadi alat bagi negara dan gereja untuk mengatur tubuh serta kehidupan individu.
Kekangan terhadap perempuan dilanggengkan dengan ekspektasi terhadap kehidupan ideal menurutnya. Perempuan yang memiliki banyak mantan, dianggap murahan. Perempuan yang tidak pernah pacaran, dianggap tak laku (bagai barang). Perempuan yang memilih untuk tidak memiliki pacar, dianggap sok jual mahal. Perempuan yang ramah dianggap murahan. Perempuan yang memilih karier daripada menikah dianggap egois hanya memikirkan dirinya sendiri. Perempuan yang sudah menikah dituntut untuk cepat memiliki anak, fokus melayani suami. Hal ini berkaitan dengan trinitas peran Perempuan, ia dituntut menjadi perawan-ibu-pelacur yang tentunya membatasi perempuan untuk menjadi dirinya.
Cinta di era kapitalisme berubah menjadi transaksi. “Modern man has transformed love into a commodity. People look at each other as potential investments that should bring the best possible exchange” (Fromm, 1956). Cinta menjadi sesuatu yang harus mendatangkan keuntungan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun emosional. Jika pasangan tidak memberikan beneficial, maka hubungan dianggap gagal. Jika pasangan tidak sesuai dengan apa kata masyarakat, maka hubungan dianggap gagal.
Sistem ini juga membentuk industri self-help dan self-improvement yang membebankan tanggung jawab pada individu untuk menjadi “pasangan yang sempurna”. Jika kamu gagal dalam cinta, itu berarti kamu kurang berusaha, bukan karena sistemnya yang menuntut standar yang tak realistis.
Pada akhirnya, kapitalisme tidak hanya menciptakan produk untuk merayakan cinta, tetapi juga menciptakan ketakutan terhadap kesepian, yang akhirnya mendorong kita untuk terus mengkonsumsi demi menghindari ‘kegagalan’ dalam pasar asmara. “Love in capitalist culture is marked by insecurity and the constant need to perform” (Illouz, 2012).
Patriarki dan Pernikahan sebagai Kontrol Sosial
Di sisi lain, patriarki memainkan peran penting dalam mempertahankan mitos bahwa pernikahan adalah puncak kehidupan perempuan. Sejak lama, perempuan diajarkan bahwa keberhasilan hidupnya bergantung pada kemampuannya untuk menikah dan membangun rumah tangga. Pernikahan adalah mekanisme yang memastikan perempuan tetap berada dalam kontrol sosial, tunduk pada peran domestik yang telah ditetapkan.
“Pernikahan dan cinta tidak memiliki kesamaan; mereka sebenarnya berlawanan satu sama lain.” – Emma Goldman, 1914
Dalam esainya Marriage and Love, Emma Goldman mengkritik bagaimana pernikahan telah direduksi menjadi institusi sosial yang lebih banyak berkaitan dengan properti, kendali, dan kepentingan ekonomi ketimbang cinta itu sendiri. Dalam dunia kapitalisme modern, institusi ini berkembang menjadi lebih dari sekadar pengaturan sosial –ia menjadi industri yang menguntungkan.
Lalu, bagaimana dengan jomlowan dan jomlowati yang ada di dunia ini? Tidak menikah, bahkan dilabeli tak laku oleh stigma masyarakat? Huff, jika pernikahan telah menjadi komoditas, maka “kejomloan” adalah penyakit akut yang harus disembuhkan! Patriarki yang berkelindan dengan kapitalisme membangun narasi bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika memiliki pasangan sempurna, menikah dengan venue mahal, gaun mewah, membuat pesta besar-besaran, atau bulan madu fancy di mancanegara!
Pernikahan bukan bentuk tertinggi dari cinta, begitulah yang disampaikan Goldman. Baginya, pernikahan adalah sistem yang secara historis telah menekan perempuan dengan menjadikannya bagian dari transaksi ekonomi. Perempuan “dibarter” dalam institusi ini, dan pernikahan menjadi alat bagi negara dan gereja untuk mengatur tubuh serta kehidupan individu.
Pada mulanya perkawinan hanyalah prosedur kontrak yang merupakan sistem pengawasan dan pertukaran perempuan terkait dengan fungsinya untuk melahirkan anak, lalu ada fungsi lain yaitu kohesi sosial. Namun, ia tetap tidak terlepas dari kepentingan laki laki. Saat itu perempuan ditukar seperti hewan ternak, perempuan tidak memiliki dirinya sendiri. (Lianawati, 2023). Segala tuntutan turut menyertai perempuan, setelah ia dimiliki ia harus menjadi penurut kembali pada yang katanya fitrahnya sumur-dapur-dan kasur, perannya pelengkap suami sebagai sumber pemenuhan ekonomi yang lebih penting katanya.
Kekangan terhadap perempuan dilanggengkan dengan ekspektasi terhadap kehidupan ideal menurutnya. Perempuan yang memiliki banyak mantan, dianggap murahan. Perempuan yang tidak pernah pacaran, dianggap tak laku (bagai barang). Perempuan yang memilih untuk tidak memiliki pacar, dianggap sok jual mahal. Perempuan yang ramah dianggap murahan. Perempuan yang memilih karier daripada menikah dianggap egois hanya memikirkan dirinya sendiri. Perempuan yang sudah menikah dituntut untuk cepat memiliki anak, fokus melayani suami. Hal ini berkaitan dengan trinitas peran Perempuan, ia dituntut menjadi perawan-ibu-pelacur yang tentunya membatasi perempuan untuk menjadi dirinya.
Namun sebenarnya, bukan berarti aku tak sepakat dengan pernikahan ya! Aku juga ingin menikah menemui cinta sejatiku itu! Membangun hubungan yang setara, ketika pasanganku pun menghargaiku sebagai aku, bukan menyabotase aku untuk menjadi diriku.
Beauvoir pun menyatakan cinta bukan ruang perbudakan dan mistisisme tempat perempuan berlutut mengagungkan laki-laki seperti Tuhan, atau membebani laki laki seperti ia Tuhan. Patriarki memerangkap kita, manusia, mengkotak-kotakkan peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan berkompetisi untuk dipilih, laki-laki melihat perempuan seperti hal yang harus ditaklukkan.
Bukan Memiliki, tapi Menjadi
Buku Seni Mencintai karya Erich Fromm, cinta bukan hanya sekedar memiliki, namun cinta adalah menjadi. Ketika kita menggunakan mode “memiliki”, cinta tersebut akan berusaha mengontrol pasangan, penuh kecemasan akan kehilangan, dan selalu menakar seberapa besar seseorang tersebut bisa menguasai pasangannya. Jelas, cinta mode ini penuh dengan manipulasi, merasa paling berhak atas pasangannya tersebut. Tentu, cinta tersebut sangat rentan dengan kekerasan karena tidak menghargai siapa yang sedang menjadi pasangannya tersebut. Namun sayangnya, mode cinta seperti ini yang akhirnya dikatakan lumrah terjadi di masyarakat.
Pernikahan, seakan melegalkan “kepemilikan” tersebut, laki-laki, seakan berhak atas perempuan. Hubungan cinta yang seharusnya membebaskan justru sering kali berubah menjadi hubungan kekuasaan. Seolah-olah ketika seseorang menikah, ia telah "memenangkan" pasangan dan memiliki hak penuh atas dirinya. Padahal, cinta yang sejati seharusnya tidak menuntut kepemilikan, melainkan keberanian untuk tumbuh bersama, saling mendukung, dan tetap memberikan ruang untuk menjadi diri sendiri.
Kalau kata Fromm, cinta harusnya berada dalam mode “being” atau menjadi. Cinta adalah aktivitas dan praktik yang terus berkembang. Dalam cinta ini, seseorang tidak berusaha memiliki pasangannya, melainkan bersama-sama bertumbuh dalam hubungan yang saling menghargai, memberi kebebasan, dan mendukung perkembangan masing-masing. Ya, menurut Fromm cinta adalah proses aktif yang melibatkan perhatian, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap kebebasan orang lain, begitu prinsipnya.
Jika cinta adalah seni yang harus dipelajari, maka ya aku sebagai jomlo pun harus belajar, untuk tidak menyerahkan aku pada sistem, untuk tidak menggerus diriku hingga aku tidak berdaya dikontrol oleh seseorang yang katanya “pasanganku” itu.
Sebenarnya aku sadar, menulis dan membahas cinta dari sudut pandangku sebagai jomlo dianggap sebagai pembenaran diri. Seolah, jomlo ini adalah status menyedihkan dan butuh pembenaran. Ya kurang lebih sama seperti tulisanmu, Kak Tofan. Padahal tidak semua memiliki standar seperti kata orang-orang, menikah belum tentu bahagia, tidak menikah belum tentu gagal, tidak semua jomlo itu kesepian, dan tidak semua yang berpasangan merasakan perasaannya penuh.
Maka, apakah jomlo adalah kegagalan, ataukah ia bentuk perlawanan? Jika cinta telah dikomodifikasi dan pernikahan telah menjadi alat reproduksi sosial bagi kapitalisme dan patriarki, mungkin tetap sendiri adalah cara untuk merebut kembali kendali atas tubuh dan kehidupan kita sendiri. Mungkin, menjadi jomlo bukanlah kesedihan yang harus disembuhkan, melainkan ruang untuk menemukan cinta yang lebih luas: cinta pada diri sendiri, komunitas, dan kehidupan di luar narasi heteronormatif yang sempit.
Re-defined Jomlo
Cinta seharusnya tidak ditentukan oleh ekonomi. Tidak ditakar oleh negara. Tidak dikontrol oleh institusi sosial yang menetapkan siapa yang layak menikah, kapan harus menikah, dan bagaimana mencintai dengan cara yang "benar".
"Kami tidak perlu sampai dibuatkan tempat khusus untuk bahagia. Kami tidak perlu di-comblang-kan untuk bisa mendapatkan pasangan." (tulisan Tofan)
Persis. Tak sepatutnya melayangkan standar pada orang-orang yang memiliki pilihan berbeda! Ku hanya ingin bilang, jika
Cinta seharusnya tidak mengikat, tetapi memberi ruang.
Tidak membatasi, tetapi membebaskan.
Tidak memenjarakan, tetapi membuka jalan bagi mereka untuk bertumbuh bersama.
Seperti kata Emma Goldman, "Real love is not based on possession, but on liberty (Cinta yang sejati bukanlah tentang kepemilikan, tetapi tentang kebebasan)."
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung.