• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #79: Warung Kopi vs Kafe Instagramable, Dilema Cicalengka antara Gaya dan Rasa

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #79: Warung Kopi vs Kafe Instagramable, Dilema Cicalengka antara Gaya dan Rasa

Warung kopi mengajarkan kita bahwa kopi bukan sekadar minuman, tetapi juga tentang interaksi manusia dan tentang kesederhanaan yang penuh makna.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Suasana acara bedah buku di Kedai Kopi Literasi NuGeunah Cicalengka yang diselenggarakan Lingkar Literasi Cicalengka (LLC). (Foto: Dokumentasi Andrian Maldini Yudha)

24 Februari 2025


BandungBergerak.id – Cicalengka memiliki banyak sekali warung kopi lokal. Sebuah tempat sederhana dengan bangku kayu yang mulai lapuk, aroma kopi yang bercampur dengan bau rokok kretek, dan gelak tawa yang memenuhi udara. Warung kopi bukan sekadar tempat untuk minum, melainkan ruang berbagi cerita, keluhan, dan diskusi tentang kehidupan. Di sana, obrolan mengalir dari politik hingga masalah harga cabai, dari gosip tetangga hingga rencana pembangunan daerah. Kopi bukan hanya tentang rasa, tetapi tentang kehangatan interaksi yang tersaji di setiap gelas.

Namun, perubahan zaman membawa realitas baru. Kafe-kafe modern mulai menjamur, membawa desain estetik, menu yang lebih bervariasi, dan tentu saja, daya tarik utama: spot foto yang Instagramable. Warung kopi lokal sederhana kini mulai ditinggalkan. Pengunjung yang dulunya setia pada secangkir kopi hitam panas kini lebih memilih minuman berbasis susu dengan latte art cantik, dihidangkan dalam cangkir keramik elegan. Yang dikejar bukan lagi sekadar rasa kopi, melainkan pengalaman visual yang bisa diabadikan di media sosial.

Kendati begitu, warung kopi lokal selalu menjadi tempat bagi masyarakat untuk bercengkerama. Di sana, semua orang setara. Tidak ada perbedaan kelas sosial yang mencolok, semua duduk di bangku yang sama, menyeruput kopi dengan harga yang merakyat. Kini, semakin jarang terlihat warung kopi lokal yang ramai. Para pemilik warung kopi lokal mulai kehilangan pelanggan, kalah bersaing dengan tempat-tempat yang lebih modern dan lebih menarik dari segi visual.

Di sisi lain, kafe modern hadir dengan daya tarik berbeda. Interior minimalis, pencahayaan hangat, dan alunan musik indie menciptakan suasana yang nyaman bagi kaum muda yang ingin bekerja atau sekadar berfoto. Namun, ada perbedaan besar: di warung kopi lokal, interaksi langsung lebih hidup, sedangkan di kafe modern, cenderung lebih banyak yang sibuk dengan gadget mereka.

Pertanyaannya, apakah ini sekadar fenomena biasa dalam perkembangan zaman, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Apakah kafe modern benar-benar membawa manfaat bagi Cicalengka, atau justru hanya menjadi simbol perubahan yang terlalu mementingkan tampilan daripada substansi?

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #76: Kereta Melaju, Sumber Air Terganggu
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #77: Relokasi Stasiun Cicalengka, antara Restorasi Sejarah dan Modernisasi Infrastruktur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #78: Menggantungkan Kenangan, dari Delman ke Ojek Online di Cicalengka

Kopi yang Menjadi Sekedar Estetika

Kehadiran kafe Instagramable di Cicalengka seolah mengubah cara masyarakat menikmati kopi. Kini, yang lebih penting bukan lagi seberapa nikmatnya kopi, tetapi seberapa menariknya tampilan minuman itu di foto. Kafe-kafe memang dirancang dengan konsep visual yang kuat –mural dinding yang artistik, pencahayaan yang pas untuk selfie, dan tentu saja, menu dengan warna-warni yang menggoda.

Masyarakat, terutama generasi muda, mulai terbiasa dengan standar baru: kopi harus cantik, tempat harus estetik, dan pengalaman minum kopi harus bisa dibagikan di media sosial. Hal ini menciptakan budaya baru, di mana konsumsi lebih didorong oleh visual daripada rasa atau esensi asli dari minuman itu sendiri.

Di satu sisi, kehadiran kafe modern membawa dampak ekonomi positif. Bisnis ini menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan daya tarik kota, dan menyesuaikan diri dengan tren global. Namun, di sisi lain, warung kopi lokal yang tidak mampu beradaptasi mulai menghadapi potensi gulung tikar. Probabilitasnya ialah banyak pemilik warung kopi lokal atau tradisional yang akhirnya menyerah, tidak mampu mengikuti arus perubahan yang begitu cepat.

Yang paling ironis, perubahan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas. Dulu, ngopi adalah tentang berbagi cerita. Sekarang, lebih banyak orang yang sibuk dengan ponselnya, mencari sudut terbaik untuk selfie dibandingkan menikmati obrolan langsung. Apakah kita benar-benar menikmati kopi, atau hanya ingin terlihat menikmati kopi?

Lingkar Literasi Cicalengka (LLC) dalam acara bedah buku di Kedai Kopi Literasi NuGeunah Cicalengka. (Foto: Dokumentasi Andrian Maldini Yudha)
Lingkar Literasi Cicalengka (LLC) dalam acara bedah buku di Kedai Kopi Literasi NuGeunah Cicalengka. (Foto: Dokumentasi Andrian Maldini Yudha)

Antara Tradisi dan Modernisasi

Modernisasi bukanlah sesuatu yang perlu ditolak sepenuhnya, tetapi juga tidak harus dibiarkan menghapus tradisi yang berharga. Warung kopi dan kafe modern bisa berdampingan jika ada keseimbangan yang tepat.

Revitalisasi warung kopi lokal dapat menjadi solusi agar tempat-tempat ini tetap bertahan. Warung kopi lokal bisa tetap mempertahankan keunikannya, tetapi dengan sedikit inovasi agar tetap menarik bagi generasi muda. Misalnya, menambah beberapa pilihan menu kekinian dengan harga yang lebih terjangkau atau mengadakan event bedah buku yang dapat menarik generasi muda.

Menghadirkan konsep hybrid juga bisa menjadi alternatif. Beberapa kafe modern bisa mengadopsi elemen warung kopi lokal, seperti menyediakan area khusus untuk diskusi santai tanpa gangguan teknologi, atau menghidupkan kembali budaya ngobrol tanpa distraksi ponsel. Dengan cara ini, mereka bisa tetap relevan tanpa menghilangkan esensi sosial yang telah ada sejak dulu.

Edukasi tentang kopi juga menjadi langkah penting. Generasi muda perlu diedukasi tentang bagaimana menikmati kopi dengan cara yang lebih mendalam. Kopi bukan hanya soal tampilan atau harga mahal, tetapi juga tentang sejarah, rasa, dan proses pembuatannya. Dengan memahami lebih jauh tentang kopi, apresiasi terhadap warung kopi lokal bisa lebih meningkat.

Sebagai konsumen, kita juga bisa memilih untuk tetap mendukung warung kopi lokal. Bukan hanya dengan membeli kopi di sana, tetapi juga dengan hadir dan menciptakan kembali suasana kebersamaan yang dulu begitu akrab.

Pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita minum kopi karena kita benar-benar menyukainya, atau karena ingin terlihat keren di media sosial?

Warung kopi mengajarkan kita bahwa kopi bukan sekadar minuman, tetapi juga tentang interaksi manusia, tentang cerita yang mengalir tanpa filter, dan tentang kesederhanaan yang penuh makna. Sementara itu, kafe modern mengajarkan kita tentang inovasi dan estetika, tetapi sering kali mengorbankan kehangatan yang dulu ada dalam secangkir kopi.

Tidak salah jika kita sesekali menikmati kopi di tempat yang estetik, tetapi jangan sampai kita melupakan akar dari tradisi ngopi itu sendiri. Karena pada akhirnya, yang lebih penting bukanlah seberapa cantik foto kopimu di Instagram, tetapi seberapa hangat obrolan yang terjadi di meja tempatmu duduk.

Jadi, apakah kita akan terus memburu kesempurnaan visual yang hampa, atau kembali meresapi makna di balik secangkir kopi yang sesungguhnya? Apakah kita akan terus mengejar estetika yang kosong, atau kembali ke akar di mana kopi bukan hanya tentang gaya, tetapi juga tentang jiwa?

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//