• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #80: Dilema Cicalengka antara Perumahan Tumbuh Subur atau Alam Terkubur

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #80: Dilema Cicalengka antara Perumahan Tumbuh Subur atau Alam Terkubur

Kita tidak bisa menghentikan perubahan. Tetapi kita bisa memilih untuk membangun dengan lebih cerdas, dengan lebih berempati.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Jalan Raya Cicalengka-Majalaya yang sedang dalam tahap perbaikan. (Foto: Andrian Maldini Yudha )

3 Maret 2025


BandungBergerak.id – Cicalengka sedang mengalami transformasi yang begitu cepat bagaikan ular yang sedang berganti kulit. Tanah-tanah luas yang dulu hijau kini sedikit demi sedikit berubah menjadi lautan beton yang kaku. Cakrawala yang dulu di isi oleh pemandangan padi yang melambai ditiup angin, kini sedikit demi sedikit berganti dengan barisan atap-atap rumah yang berdiri seperti batu nisan seakan menandai wafatnya lahan-lahan yang selama ini menjadi napas kehidupan.

Dulu, tanah adalah ibu yang menyusui, memberi makan dan tempat berpijak bagi banyak generasi. Kini, tanah hanya diperlakukan sebagai barang dagangan, dijual kepada pemilik modal yang melihatnya sebagai angka-angka dalam tabel keuntungan. Tanah tak lagi dihayati, hanya dieksploitasi.

Di balik narasi indah tentang "modernisasi" dan "kemajuan," ada luka yang menganga. Ada sejarah yang terhapus, ada kehidupan yang tersingkir, ada keseimbangan yang dirusak. Dan seperti semua luka yang dibiarkan tanpa obat, akan membusuk, menimbulkan krisis yang mungkin belum kita sadari sepenuhnya.

Pagi di Cicalengka yang dulu dibuka dengan embun yang menyelimuti hamparan sawah, kini berganti oleh suara truk pengangkut semen dan palu yang bertalu-talu di lokasi konstruksi. Udara yang dulu bersih dan segar, kini dipenuhi debu proyek pembangunan yang beterbangan, menyusup ke rumah-rumah, ke paru-paru, bahkan ke dalam kenangan mereka yang masih mengingat Cicalengka yang dulu.

Modernisasi sering kali diidentikkan dengan pembangunan fisik –gedung yang tinggi, jalan yang lebar, rumah yang rapi berjajar. Namun, di mana tempat bagi akar-akar pepohonan yang memeluk bumi? Ke mana perginya air yang biasa meresap dengan tenang ke dalam tanah?

Air hujan yang disambut oleh tanah subur, kini hanya menemukan permukaan beton yang menolaknya. Maka jangan heran ketika genangan air mulai menjadi pemandangan biasa. Banjir yang dulu hanya sekadar isu di kota besar kini perlahan merayap ke daerah yang dulunya bebas dari kekacauan ini.

Burung-burung yang dulu hinggap di ranting pepohonan kini harus mencari tempat baru. Barangkali mereka telah terbang lebih jauh, meninggalkan tempat yang tak lagi ramah bagi mereka. Anak-anak yang dulu berlarian di pematang sawah, kini tak punya ruang bermain kecuali lorong-lorong sempit di antara bangunan yang berdesakan.

Kita lupa bahwa tanah bukan sekadar permukaan kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Tanah adalah ekosistem, sebuah rumah bagi banyak makhluk, termasuk kita. Dan ketika kita merusaknya, kita sedang menciptakan dunia yang makin tidak layak untuk dihuni.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #77: Relokasi Stasiun Cicalengka, antara Restorasi Sejarah dan Modernisasi Infrastruktur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #78: Menggantungkan Kenangan, dari Delman ke Ojek Online di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #79: Warung Kopi vs Kafe Instagramable, Dilema Cicalengka antara Gaya dan Rasa

Janji Pembangunan, Kehidupan yang Tergusur

Kata siapa rumah-rumah baru ini adalah simbol kesejahteraan? Bagi banyak orang, ini justru awal dari keterasingan.

Harga tanah yang meroket membuat banyak warga asli tak mampu lagi bertahan di kampung mereka sendiri. Mereka dipaksa menjual tanah warisan, menerima uang kompensasi, lalu pindah ke tempat lain yang lebih murah –lebih jauh dari akses ekonomi, lebih jauh dari kenangan, lebih jauh dari tempat mereka pernah merasa memiliki.

Apa yang kita sebut sebagai kemajuan ternyata hanyalah euforia bagi segelintir orang yang diuntungkan. Sementara itu, ruang hidup semakin sempit bagi mereka yang tak cukup kaya untuk membeli tempat di kota yang terus tumbuh ke atas.

Brosur perumahan menampilkan wajah-wajah bahagia, keluarga harmonis yang menikmati hidup nyaman di dalam rumah modern. Tetapi apakah mereka menceritakan kisah lain di balik pembangunan itu? Kisah tentang rumah-rumah yang dulu berdiri sederhana namun penuh kehangatan, kini digantikan oleh barisan bangunan seragam tanpa jiwa? Kisah tentang sawah yang dulu memberi makan, kini digantikan oleh deretan garasi dan pagar tinggi yang membatasi interaksi antar manusia?

Dan yang lebih menyedihkan, pembangunan ini tidak hanya menggusur manusia, tetapi juga menggusur ingatan. Generasi yang lahir di tengah perumahan-perumahan ini tidak akan pernah tahu seperti apa Cicalengka yang dulu. Mereka hanya akan mengenal wilayah ini sebagai kumpulan rumah, tanpa pernah merasakan bagaimana rasanya bermain di bawah rindangnya pohon besar, mendengar suara katak di tepi sawah, atau melihat cahaya kunang-kunang yang dulu sering menyala di malam hari.

Cicalengka yang dulu hidup dengan tenang, kini sibuk berlari mengejar sesuatu yang belum tentu benar-benar kita butuhkan.

Modernisasi yang Kehilangan Arah

Apakah modernisasi memang harus seperti ini? Apakah membangun berarti harus menggusur? Apakah maju berarti harus menanggalkan semua yang berakar di masa lalu?

Ada banyak kota di dunia yang berhasil berkembang tanpa harus mengorbankan keseimbangan ekologinya. Kota-kota yang membangun dengan mempertimbangkan keberlanjutan, yang tidak sekadar menumpuk gedung dan perumahan, tetapi juga merawat apa yang telah lebih dulu ada.

Mengapa Cicalengka tidak bisa demikian? Mengapa kita tidak bisa membangun dengan lebih bijak, lebih manusiawi, lebih selaras dengan alam?

Pemerintah daerah harus memiliki visi yang lebih luas dari sekadar mengizinkan investor membangun perumahan. Harus ada perencanaan tata ruang yang tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga melindungi kepentingan banyak pihak, termasuk alam yang selama ini telah memberi tanpa meminta.

Jika tidak, maka kita sedang menciptakan dunia yang akan kita sesali sendiri di masa depan. Sebuah tempat yang penuh dengan rumah, tetapi kehilangan rasa memiliki. Sebuah tempat yang penuh dengan jalan, tetapi kehilangan arah. Sebuah tempat yang secara fisik lebih maju, tetapi secara jiwa semakin kosong.

Cicalengka masih bisa memilih jalannya. Kita bisa terus membiarkan perumahan berkembang tanpa kendali, membiarkan lahan hijau terkubur di bawah beton, membiarkan masyarakat asli tersingkir oleh harga yang tak terjangkau. Atau, kita bisa mulai berpikir lebih dalam, lebih bijak.

Modernisasi bukan musuh. Tapi modernisasi yang rakus, yang hanya berorientasi pada keuntungan tanpa peduli pada keseimbangan, itulah yang akan menghancurkan kita.

Kita tidak bisa menghentikan perubahan. Tetapi kita bisa mengarahkannya. Kita bisa memilih untuk membangun dengan lebih cerdas, dengan lebih berempati. Kita bisa memilih untuk merawat tanah yang telah begitu lama merawat kita.

Karena jika kita terus menggantikan hijau dengan abu-abu, kita sedang menciptakan masa depan yang hanya akan meninggalkan puing-puing kehidupan yang pernah ada. Dan ketika itu terjadi, kita tidak bisa berkata bahwa kita tidak diperingatkan.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//