CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #81: Bina Muda Digusur, Nenek Jubaedah Menjerit, Tanah Kami Bukan Barang Dagangan
Warga meyakini ada permainan di balik perubahan Letter C Bina Muda yang terjadi saat pemekaran Desa Tenjolaya. Tiba-tiba, nama-nama pemilik tanah berubah.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat Literasi di RBM Kali Atas
10 Maret 2025
BandungBergerak.id – Tanah bukan sekadar sebidang lahan. Ia adalah akar yang menancap dalam di dada pemiliknya, menjadi napas yang menghidupi, menjadi sejarah yang ditulis dengan keringat, air mata, dan harapan. Namun di Bina Muda, Cicalengka, akar-akar itu kini sedang diancam untuk dicabut paksa, diinjak-injak dengan sepatu kekuasaan, lalu dijual di meja hukum.
Di bawah langit Cicalengka yang mendung, suara parau seorang nenek berusia 80 tahun menembus udara. Nenek Jubaedah, perempuan tua dengan mata yang berbinar dan punggungnya membungkuk menahan beban zaman, berdiri di hadapan kamera. Suaranya gemetar, namun matanya menyala, berisi amarah yang lama ditahan.
"Kepada Bapak Presiden Prabowo dan Gubernur, tolong kami, warga bapak, yang dizalimi. Suami saya beli. Dan sekarang Letter C di desa dirubah,” kata dia.
Video ini diunggah oleh akun Instagram @ayusningrum pada Jumat, 2 Maret 2025, menyebar cepat seperti api membakar ilalang. Seisi negeri menyaksikan bagaimana hukum yang katanya berpihak pada rakyat kecil, kini berbalik menggigit mereka.
Setelah itu, suara perempuan lain pecah, lebih lantang, lebih penuh luka.
"Bapak Dedi Mulyadi, Bapa Aing, Gubernurna Pasundan! Dugi ka iraha pak ieu warga jabar nu tos kieu sepuhna diantep dina kazalimman pengadilan. Buku tanah robah tina aslina. Mugia bapa tiasa ngabantos abdi sareng masyarakat sanesna tina ngabela ieu sepuh.”
Kata-kata itu bukan sekadar protes, melainkan jeritan keputusasaan. Tanah yang dulu mereka beli dengan sah, kini hendak direbut oleh tangan-tangan tak terlihat yang bersembunyi di balik toga hakim dan tanda tangan pejabat.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #78: Menggantungkan Kenangan, dari Delman ke Ojek Online di Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #79: Warung Kopi vs Kafe Instagramable, Dilema Cicalengka antara Gaya dan Rasa
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #80: Dilema Cicalengka antara Perumahan Tumbuh Subur atau Alam Terkubur
Luka di Atas Tanah Sendiri
Di Cicalengka, tepatnya di Bina Muda, setiap jengkal tanah memiliki cerita. Ada pohon mangga yang dulu ditanam oleh tangan kecil seorang bocah, kini tumbuh rimbun menaungi rumahnya. Ada jalan yang menjadi saksi yang tiap pagi dilewati anak-anak menuju sekolah, membawa tas yang lebih besar dari tubuh mereka. Ada bangku kayu di sudut halaman, tempat seorang kakek dulu mengajarkan cucunya mengeja nama sendiri.
Namun semua itu kini berada di ujung maut. Surat eksekusi dari Pengadilan Negeri Bale Bandung tertanggal 5 Maret 2025 datang seperti vonis mati bagi warga. Mereka diperintahkan angkat kaki. Seakan hidup mereka hanya seharga selembar kertas dengan kop resmi dan stempel merah.
Bukan hanya Nenek Jubaedah yang terancam kehilangan tanahnya. Puluhan warga lain, termasuk Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Bina Muda, juga terancam lenyap dari peta.
Hanya dalam hitungan hari, Bina Muda yang mereka kenal bisa berubah menjadi lahan kosong. Rumah-rumah akan diratakan, sejarah akan dihapus, dan tanah yang mereka beli dengan sah akan jatuh ke tangan orang-orang yang tak pernah menginjaknya dengan rasa memiliki.
"Kami membeli tanah ini secara sah. Tapi sekarang kami harus pergi begitu saja? Apa artinya hukum kalau tanah bisa berpindah tangan hanya karena surat yang kami sendiri tidak pernah tahu asal-usulnya?"
Ada bau amis dalam perkara ini. Warga meyakini ada permainan di balik perubahan Letter C, sesuatu yang terjadi saat Desa Tenjolaya mengalami pemekaran wilayah. Tiba-tiba, nama pemilik tanah berubah. Bukti-bukti mereka seakan dihapus dari sejarah. Apakah ini hukum, atau sekadar permainan catur bagi mereka yang berkantong tebal?
Para pemegang palu keadilan sering berbicara tentang hukum yang adil, tentang negara yang berdiri untuk rakyat. Namun di Bina Muda, hukum justru menjadi algojo.
Nenek Jubaedah dan warga lain tidak meminta belas kasihan. Mereka tidak mengemis kebaikan hati pemerintah. Mereka hanya meminta satu hal: hak mereka. Hak atas tanah yang mereka beli dengan sah, hak untuk tidak diusir dari rumah mereka sendiri, hak untuk tidak diperlakukan seperti gelandangan di tanah leluhur mereka.
"Tanah ini kami beli dengan sah. Kalau diambil, lalu kami harus tinggal di mana? Apakah hukum hanya milik mereka yang punya uang?"
Jika keadilan memang buta, mengapa ia selalu berjalan ke arah mereka yang berkuasa? Jika hukum berpihak pada kebenaran, mengapa yang menang selalu mereka yang bisa membeli putusan?
Di negeri ini, rakyat kecil seperti Jubaedah selalu kalah. Mereka dipaksa tunduk pada keputusan yang tidak pernah mereka buat, dipaksa percaya pada keadilan yang tak pernah hadir untuk mereka. Namun yang harus diingat, tanah adalah urusan nyawa. Merampas tanah seseorang sama saja dengan merampas hidupnya.

Masih Adakah Harapan?
Presiden, Gubernur, dan para pemangku kebijakan harus turun tangan. Ini bukan hanya soal hukum, bukan hanya soal regulasi yang tertulis dalam pasal-pasal. Ini adalah soal kemanusiaan. Ini adalah soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya sendiri. Jika negara ini masih ingin disebut sebagai rumah bagi rakyatnya, maka saatnya membuktikan bahwa rakyat kecil bukan sekadar angka dalam statistik kemiskinan, bukan hanya sekumpulan nama yang bisa diabaikan begitu saja.
Tetapi, apakah mereka akan mendengar?
Berapa banyak kasus seperti ini yang telah terjadi dan berlalu begitu saja? Berapa banyak rakyat kecil yang telah kehilangan tanahnya, rumahnya, kehidupannya, karena mereka tidak memiliki kuasa untuk melawan? Berapa banyak suara yang telah diteriakkan, tetapi hanya berakhir sebagai bisikan yang tertiup angin?
Ketika rakyat meminta keadilan, mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka tidak meminta sesuatu yang bukan hak mereka. Mereka hanya meminta apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Tanah yang dibeli dengan sah seharusnya tetap menjadi milik pemiliknya. Bukankah itu yang diajarkan dalam hukum? Bukankah itu yang seharusnya berlaku di negara yang mengaku berlandaskan keadilan?
Tetapi mengapa keadilan selalu terasa jauh bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan?
Jika tanah ini benar-benar dirampas, maka sejarah akan mencatatnya. Bahwa di Cicalengka, ada sebuah tempat bernama Bina Muda, yang pernah menjadi rumah bagi mereka yang percaya pada hukum –sampai hukum sendiri yang merobohkan rumah mereka.
Sejarah akan mengingat bagaimana seorang nenek berusia 80 tahun berdiri di depan kamera, suaranya parau tetapi penuh perlawanan, memohon agar haknya tidak dirampas. Sejarah akan mencatat bagaimana rakyat kecil diperlakukan seperti tamu di tanahnya sendiri, bagaimana mereka dipaksa pergi dengan paksa hanya karena mereka tidak memiliki kuasa untuk melawan.
Dan jika penggusuran ini tetap terjadi, maka bukan hanya rumah yang hilang, bukan hanya tanah yang berpindah tangan. Tetapi juga kepercayaan rakyat pada negara yang seharusnya melindungi mereka.
Sebab, ketika rakyat kehilangan kepercayaannya, maka negara tak lebih dari kapal tanpa kompas, terombang-ambing dalam gelombang ketidakadilan, menunggu karam di lautan kehancuran.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.