Meningkatkan Konsumsi Sayur dan Buah Melalui Inovasi Produk Olahan
Tren pola konsumsi masyarakat terhadap makanan sehat mulai mengalami perubahan. Inovasi melahirkan kimchi Sunda, bubuk paprika, abon bonggol pisang.
Penulis Hanifa Paramitha Siswanti10 Maret 2025
BandungBergerak.id - Pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu utama perubahan pola konsumsi makanan. Sembilan puluh persen masyarakat mulai mencoba menu makanan sehat dan 61 persen menguji resep baru selama masa pandemi.
Temuan dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST) tersebut menunjukkan kesadaran akan pentingnya asupan gizi seimbang untuk meningkatkan imunitas tubuh.
Namun kesadaran itu juga datang bersama tantangan dalam hal harga dan ketersediaan produk olahan sehat yang terjangkau. Produk berbasis organik atau natural sering kali lebih mahal dibandingkan dengan makanan olahan berbasis tepung atau daging yang lebih umum di pasaran.
Oleh karena itu, inovasi produk sayur dan buah olahan dengan harga kompetitif sekaligus kualitas yang terjaga baik dapat menjadi opsi dalam perubahan pola konsumsi tersebut. Selain menawarkan harga yang lebih terjangkau, pendekatan ini juga dapat meningkatkan konsumsi buah dan sayur di masyarakat dengan mengadaptasi selera dan kebiasaan makan yang sudah ada.
Beberapa inovasi itu, antara lain, bubuk paprika yang tahan lama dan mudah diaplikasikan dalam masakan, aneka bunga yang bisa dimakan selain menghias hidangan, abon dari bonggol pisang, sampai ke fermentasi sayuran layaknya kimchi yang populer di Korea.
Kimchi Sunda
Kimchi Sunda hadir sebagai salah satu terobosan dengan mengadopsi teknik fermentasi ala Korea namun disesuaikan dengan cita rasa khas lidah masyarakat Sunda. Kimchi Sunda dikembangkan oleh Resty Savira, seorang penulis serial animasi yang memiliki minat terhadap bidang pertanian.
Berawal dari situasi pandemi Covid-19 ketika banyak petani di Padalarang Kabupaten Bandung Barat mengalami kesulitan menyalurkan hasil panen, seperti sawi, buncis, tomat, dan brokoli, Resty melihatnya sebagai peluang. Dia belajar pengolahan sayuran jadi kimchi di YouTube. Karena melewati fermentasi, sayuran bisa lebih panjang masa pakainya.
Perbedaan mendasar antara kimchi asli Korea dan kimchi Sunda terletak pada penyesuaian rasa yang lebih ringan agar sesuai dengan lidah masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda. Di samping menggunakan sayuran segar dari petani setempat, proses fermentasi dilakukan dengan pengawet alami berupa garam yang diatur kadar bumbunya sehingga sensasi kimchi tidak terlalu tajam.
“Ada juga beberapa bahan bumbu dan saus impor yang saya tambahkan untuk menyeimbangkan tekstur dan rasanya, sehingga produk kimchi ini lebih mudah diterima oleh konsumen yang sebelumnya mungkin sempat merasa trauma dengan rasa kuat kimchi yang asli Korea,” tutur Resty.
Dari segi pemasaran, kimchi Sunda telah dikenal lewat jenama “Cik Cobain Geura” dan menarik perhatian para penggemar kuliner melalui distribusi secara daring dan luring di Pasar Cihapit Bandung. Dengan harga sekitar 40 ribu rupiah per kemasan setengah kilogram, kimchi Sunda hasil inovasi Resty menawarkan alternatif sehat yang mudah disimpan karena bisa bertahan selama tiga hingga empat bulan.
“Kimchi itu salah satu makanan sehat selain tempe karena fermentasinya alami. Ada berbagai sayuran yang bisa dibuat jadi kimchi, seperti cabai, lobak, dan daun bawang, tapi memang umumnya sawi. Sebenarnya kimchi tidak hanya dimakan bersama daging, tapi juga bisa dikombinasikan dengan berbagai hidangan lain, seperti mie, nasi goreng, lontong banjur, oncom, cireng, hingga pelengkap menu diet,” tutur alumnus Sastra Prancis Universitas Padjadjaran ini.
Resty berharap, kimchi Sunda tidak sekadar menjadi produk olahan, tetapi juga menjadi wadah edukasi tentang pentingnya fermentasi alami dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Apalagi kimchi memiliki beberapa manfaat kesehatan seperti mendukung pencernaan, menghambat pertumbuhan sel kanker, dan menumbuhkan bakteri baik.

Bubuk Paprika
Berasal dari paprika segar yang ditanam dengan teknik hidroponik, bubuk paprika dibuat dengan proses pengeringan yang tepat, seperti menggunakan inkubator untuk menjaga kestabilan suhu dan mencegah pertumbuhan bakteri. Hal tersebut membuat nutrisi dan rasa paprika asli tetap terasa tanpa menggunakan bahan tambahan berbahaya.
Bubuk paprika dikembangkan oleh Rici Solihin, seorang petani paprika hidroponik dari Desa Pasirlangu, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Menurutnya, dari sisi produksi, paprika hidroponik memberikan keuntungan dalam menjaga kualitas hasil panen dan efisiensi penggunaan sumber daya.
“Sistem hidroponik memungkinkan petani untuk menanam paprika sepanjang tahun dengan jadwal panen yang lebih teratur. Dalam satu siklus tanam yang berlangsung sekitar 8-12 bulan, panen dapat dilakukan dua kali dalam seminggu. Dengan kapasitas lahan sekitar 500 meter persegi, produksi paprika bisa mencapai 4 ton per tahun. Metode ini tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga mendukung praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan dengan penggunaan air dan pupuk yang lebih efisien,” ungkapnya.
Selain itu, tren konsumsi makanan sehat yang meningkat membuka peluang pasar yang luas bagi bubuk paprika. Apalagi permintaan terhadap produk alami dan organik semakin tinggi, baik di pasar domestik maupun internasional.
Rici mengungkapkan, sejak pandemi Covid-19, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pola makan sehat turut mendorong permintaan paprika segar dan olahannya. Namun salah satu tantangan yang dihadapi adalah persaingan dengan produk impor yang memiliki biaya logistik lebih rendah. Oleh karena itu, Rici memandang perlu ada dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan pelaku industri untuk memperkuat daya saing produk hortikultura lokal melalui inovasi dan efisiensi rantai pasok.
Saat ini, di bawah naungan CV Paprici Segar Barokah yang dibangunnya, Rici bermitra dengan 50 petani dari kelompok tani di sekitar Pasirlangu, Cisarua, dan Lembang.
“Meskipun sektor pertanian itu tenaga kerjanya nonformal, tetap harus ada standardisasi melalui pendampingan oleh penyuluh pertanian pelatihan berkala. Kalau lihat populasi petani sekarang, hanya 14 persen petani muda di bawah usia 40 tahun. Nah dalam 20 tahun ke depan masih aman nggak? Jadi perlu ada resonansi tentang bagaimana menginspirasi anak muda untuk terjun menjadi petani,” tambah pemenang Young Ambassador Agriculture 2024 dari Kementerian Pertanian ini.
Pengembangan bubuk paprika sebagai produk olahan hortikultura tidak hanya membantu meningkatkan konsumsi sayur dan buah, tetapi juga memberikan solusi bagi tantangan yang dihadapi petani, seperti fluktuasi harga dan perubahan iklim.
Dengan pendekatan pertanian presisi, pemanfaatan teknologi dalam produksi, serta integrasi dengan konsep ekonomi sirkuler, bubuk paprika dapat menjadi model inovasi yang berkelanjutan dalam industri pangan.
Edible Flower
Dalam beberapa tahun terakhir, edible flower semakin populer sebagai bagian dari inovasi pangan hortikultura. Meskipun awalnya banyak orang merasa ragu dan menganggap konsep ini sebagai sesuatu yang mistis, edible flower sebenarnya telah lama digunakan dalam berbagai tradisi kuliner di dunia. Bunga-bunga ini tidak hanya mempercantik tampilan makanan tetapi juga memiliki manfaat nutrisi yang tinggi.
“Tantangan utama dalam pengembangannya adalah memastikan bunga yang dikonsumsi benar-benar aman, tanpa pestisida, serta ditanam di lingkungan yang bebas polusi. Oleh karena itu, pemilihan jenis bunga, metode penanaman, dan lokasi budidaya menjadi faktor utama yang diperhatikan dalam produksi edible flower,” ungkap pegiat edible flower dan microgreens MF Rani Shinta.
Edible flower dapat digunakan dalam berbagai jenis kuliner, mulai dari dessert hingga hidangan utama. Selain menjadi hiasan di kue, puding, dan minuman seperti mocktail atau cocktail, beberapa jenis edible flower juga memiliki cita rasa khas yang bisa memperkaya rasa makanan. Misalnya, bunga nasturtium memiliki rasa pedas yang dapat menggantikan wasabi dalam sajian sashimi, sementara bunga telang memiliki sedikit rasa manis yang cocok untuk teh.
Kemampuan edible flower untuk memberikan nilai tambah estetika dan rasa pada makanan menjadikannya pilihan menarik bagi para chef, penikmat kuliner, dan pelaku usaha kuliner.
“Tidak semua bunga dapat dikonsumsi, terutama yang tumbuh di area dengan paparan polusi tinggi, seperti di pinggir jalan. Makanya edible flower harus ditanam secara organik dan dipantau dengan ketat agar tetap aman untuk dikonsumsi. Proses perawatan meliputi penyiraman yang terkontrol, perlindungan dari hujan agar kelopak tidak rusak, serta pemilihan jenis bunga yang paling cocok untuk dibudidayakan dalam kondisi tertentu,” tambah pemilik usaha The Artisan Eatflowers ini.
Di Indonesia, pelaku UMKM juga mulai memanfaatkan edible flower dalam produk-produk seperti butter cookies dan icing cookies, sehingga memberikan tampilan yang lebih menarik tanpa mengorbankan rasa.
Selain edible flower, microgreens juga menjadi inovasi yang semakin diminati dalam industri hortikultura. Microgreens merupakan tanaman muda yang dipanen dalam usia 7–21 hari dan memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan sayuran dewasa sejenis.
Berbagai jenis microgreens seperti kale, pakcoy, dan red radish kini banyak digunakan sebagai tambahan dalam salad, hidangan utama, atau bahkan sebagai garnish. Karena proses panennya yang cepat, microgreens bisa menjadi pilihan bagi mereka yang ingin bercocok tanam di lahan terbatas dengan siklus produksi yang lebih singkat.
Baca Juga: Makan Kenyang Gizi Kurang, Sayur dan Bua

h Belum Jadi Elemen Utama Menu Harian Warga Jawa Barat
Sistem Pangan Lokal, Alternatif Melawan Dominasi Sistem Pangan Global
Dampak Gaya Hidup Kelas Menengah ke atas terhadap Tingginya Limbah Pangan di Indonesia
Abon Bonggol Pisang Kepok
Inovasi produk hortikultura lainnya adalah abon berbasis nabati yang dibuat dari bonggol pisang kepok. Bonggol pisang selama ini lebih sering dianggap sebagai limbah, padahal memiliki kandungan serat yang tinggi serta kaya akan karbohidrat dan mineral. Dengan meningkatnya kesadaran tren gaya hidup sehat, abon bonggol pisang kepok bisa menjadi alternatif pangan yang bernilai gizi tinggi dan mudah dikonsumsi terutama oleh kelompok vegan.
Inovasi produk ini tidak hanya menawarkan opsi makanan sehat, tetapi juga mendukung upaya pengurangan limbah pangan dan optimalisasi hasil hortikultura di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian Drupadi Ciptaningtyas dkk dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, pengolahan abon dari bonggol pisang kepok melalui metode penggorengan dan penirisan tertentu mampu menghasilkan produk dengan cita rasa yang disukai oleh konsumen vegetarian. Hal tersebut karena pengolahan yang tepat dapat meningkatkan kualitas abon berbasis nabati ini.
“Hasil uji daya terima menunjukkan bahwa abon yang paling disukai adalah yang digoreng selama 90 menit dengan metode penirisan menggunakan mesin spinner, sehingga menghasilkan kadar air sebanyak 2,8 persen. Formulasi ini dinilai terbaik dari segi warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya terima keseluruhan,” ujar Drupadi seperti dilansir dari Journal of Agro Technology Intelegency (Atech-i).
Keunggulan abon bonggol pisang kepok tidak hanya terletak pada nilai gizinya, tetapi juga pada daya simpannya yang lebih lama dibandingkan produk sayur atau buah segar. Sebagai makanan kering, abon lebih mudah didistribusikan ke berbagai daerah tanpa risiko cepat rusak, sehingga menjadikannya alternatif yang praktis bagi masyarakat yang ingin mengonsumsi makanan berbasis nabati dengan lebih mudah.
Selain itu, abon bonggol pisang kepok dapat dikombinasikan dengan berbagai hidangan, seperti nasi, bubur, atau salad, sehingga fleksibel dalam penyajian dan cocok bagi mereka yang sedang beralih ke pola makan berbasis tanaman.
Selain aspek kesehatan dan kemudahan distribusi, produksi abon dari bonggol pisang kepok juga memiliki dampak ekonomi yang positif. Dengan jumlah produksi pisang yang mencapai jutaan ton per tahun, limbah bonggol pisang yang sebelumnya tidak dimanfaatkan dapat diolah menjadi produk bernilai jual tinggi.
Hal ini membuka peluang usaha baru bagi petani dan pelaku UMKM, terutama di daerah penghasil pisang, untuk mengembangkan produk pangan berbasis nabati yang kompetitif. Permintaan akan makanan vegetarian yang terus meningkat juga menciptakan peluang pasar yang lebih luas, baik di dalam negeri maupun untuk ekspor.
Tidak hanya menarik dari segi rasa dan kemudahan konsumsi, inovasi olahan hortikultura dapat menjawab tantangan ketersediaan dan daya tahan produk sayur dan buah yang sering kali mudah rusak atau sulit didistribusikan ke daerah tertentu. Produk olahan memiliki umur simpan lebih panjang, sehingga dapat menjangkau pasar yang lebih luas dan membantu mengurangi potensi pemborosan pangan. Selain itu, inovasi ini juga dapat membuka peluang ekonomi bagi petani dan pelaku usaha lokal untuk mengembangkan produk berbasis sayur dan buah-buahan.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Hanifa Paramitha Siswanti, atau artikel lain tentang Keberagaman Pangan