Banjir di Mana-mana, Alih Fungsi Lahan Resapan Air di Jabodetabek tak Terbendung
Bencana banjir melanda Jabodetabek maupun Bandung selatan. Daerah resapan air telah banyak berubah menjadi permukiman, vila, serta destinasi wisata.
Penulis Iman Herdiana15 Maret 2025
BandungBergerak.id - Bencana banjir di sejumlah titik Jawa Barat, mulai dari Jabodetabek hingga Bandung selatan tidak lepas dari kerusakan lingkungan dan ekosistemnya. Eksploitasi alam yang tidak terkendali menjadi biang utama.
Di Bandung selatan dalam dua bulan terakhir sedikitnya sudah terjadi dua kali banjir yang dipicu luapan Sungai Citarum. Berdasarkan laporan BPBD Kabupaten Bandung per 25 Februari 2025, banjir berdampak pada 1.659 rumah, 5 sekolah, 17 tempat ibadah, 3 fasilitas umum, 3 unit rumah jebol, dan 3.275 kepala keluarga.
Bulan berikutnya, 8 Maret 2025, Sungai Citarum kembali meluap. Ribuan rumah di 29 kampung di sejumlah desa di Kabupaten Bandung terdampak banjir dengan ketinggian air mulai dari 30 -130 centimeter.
"Penanganan banjir di Dayeuhkolot ini harus dibenahi lagi, seperti pembuatan rumah pompa, danau retensi, kan banjir di sini sudah puluhan tahun lo, beberapa daerah banjir di Baleendah sudah nggak pernah kena lagi sekarang. Harusnya Dayeuhkolot bisa seperti itu," kata Rina, warga Bojongasih RT02 RW 04, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Alih Fungsi Lahan dan Banjir Jabodetabek
Alih fungsi lahan besar-besaran dinilai menjadi penyebab utama bencana banjir di sejumlah daerah Jawa Barat, antara lain di Puncak, Bogor. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, hutan di kawasan Puncak dan sekitarnya yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah banyak berubah menjadi permukiman, vila, serta destinasi wisata.
Walhi Jawa Barat mencatat tingkat kerusakan lingkungan di kawasan Puncak Bogor meningkat dari 45 persen menjadi 65 persen. Alih fungsi lahan ini sering kali terjadi, mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) di kawasan rawan bencana.
Walhi menyoroti bahwa banyak izin usaha properti dan wisata dikeluarkan tanpa pengawasan ketat. Selain itu, aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal semakin memperburuk kondisi tanah, membuatnya lebih rentan terhadap erosi dan longsor.
Kawasan bogor (Puncak, Jonggol, Cikeas, Sentul, Hambalang dll) yang seharusnya menjadi daerah resapan air beralih fungsi yang kemudian limpahan air banjir terus mengalir hingga membuat daerah Bekasi sampai Jakarta pun terdampak banjir. Hal itu terjadi semata-mata akibat kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Bogor. Ditambah dengan masifnya pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang.
Dari citra satelit berkala, terlihat perubahan tutupan lahan di bagian selatan Jabodetabek yang mengakibatkan banjir kali ini menenggelamkan bagian selatan Jabodetabek, padahal curah hujan harian tahun 2025 kali ini belum sebesar curah hujan harian banjir besar tahun 2020.
Dari citra satelit juga terlihat ada pertambangan karst/batuan yang cukup luas di Kabupaten Bogor yang aliran sungainya mengarah ke DAS Kali Bekasi. Bukaan lahan dari pertambangan ini sangat jelas terlihat dalam citra satelit berkala.
“Banjir besar yang terjadi di Jabodetabek bukan hanya karena krisis iklim yang terjadi tetapi oleh karena perubahan tata ruang baik di hulu maupun di hilir DAS oleh kepentingan-kepentingan komersial jangka pendek tanpa memperimbangkan keselamatan dan lingkungan dalam jangka panjang,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Eksekutif Nasional, dalam keterangan resmi, diakses Sabtu, 15 Maret 2025.
Dwi mendesak agar alih fungsi ruang segera dihentikan, bahkan harus dikembalikan ke kondisi semula. “Apabila kita tidak ingin mendapatkan bencana yang sama bahkan lebih parah di masa depan,” lanjut Dwi Sawung.
Wahyudin Iwang, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat menambahkan, dua tahun yang lalu Walhi Jawa Barat telah menyampaikan sikap kritis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah tiga Kabupaten/Kota yakni Kab.Bogor, Kab,Cianjur dan Kab.Sukabumi agar segera menertibkan bangunan liar serta segera berhenti mengeluarkan izin-izin tambang dan properti.
"Perlu kami ingatkan kembali, bahwa banjir bandang dan banjir yang mengepung DKI adalah kesalahan pemerintah, hal ini dapat dilihat dari ketidakpatuhan dan tidak taatnya mereka menjalankan kebijakan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mana kawasan puncak hingga kawasan Gn.Mas salah satu kawasan resapan air dan kawasan yang perlu perlindungan yang baik, namun faktanya izin-izin tambang, pembangunan villa, hotel dan juga pengembangan wisata semakin tidak dapat terhindarkan," papar Wahyudin.
Hingga saat ini, Wahyudin menyatakan, masih banyak ditemukan kegiatan tambang serta pengembangan bisnis properti. Ia mendesak pemerintah membuat tim investigasi untuk pelaku-pelaku perusahaan yang tidak taat dan patuh menjalankan kebijakan yang ada.
"Sehingga keadilan dapat diwujudkan dengan cara salah satunya, penjarakan pelaku yang merusak alam,” tandasnya.
Baca Juga: Banjir Bandung Selatan Merendam Permukiman dan Memutus Akses Jalan-jalan Desa
Banjir dan Alih Fungsi Lahan Bandung Raya Menanti Tangan Dingin Pemimpin Baru
Yang Tersisa dari Banjir Lumpur di Banjaran Wetan

Bencana dan Krisis Iklim
Greenpeace Indonesia membeberkan data perubahan fungsi lahan Jabodetabek yang serampangan. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan, area terbangun di tahun 2022 mencakup 42 persen dari total luas DAS Kali Bekasi, yang melalui daerah-daerah seperti Cibinong, Gunung Putri, Cileungsi, dan Sentul, serta kediaman Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Kabupaten Bogor. Jumlah ini meningkat drastis dari 5,1 persen area terbangun di tahun 1990.
“Perubahan fungsi lahan ini mengurangi kemampuan penyerapan air, sehingga limpasan air ke sungai menjadi sangat besar melebihi kapasitasnya dan mengakibatkan sungai meluap ke daerah permukiman di Bekasi yang berada di lokasi yang lebih rendah. Kini, lahan hutan di wilayah DAS Kali Bekasi hanya tersisa sekitar 1.700 hektar atau kurang dari 2 persen luas wilayah DAS,” ujar Sapta Ananda Proklamasi, Senior Data Strategist Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resmi.
Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan, eksploitasi alam dan pembangunan yang serampangan di wilayah DAS Kali Bekasi seharusnya bisa dicegah jika pemerintah daerah melakukan pembatasan izin yang berdampak pada eksploitasi lingkungan di kawasan tersebut.
Ia juga menilai pemerintah daerah perlu lebih sigap merespon peringatan cuaca dini yang diberikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai upaya mitigasi bencana.
“Jabodetabek, layaknya Indonesia, kini berada di garis depan krisis iklim. Peringatan dini dari BMKG seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah daerah untuk melakukan respon cepat mitigasi bencana, terutama di tengah peningkatan frekuensi cuaca ekstrem akibat krisis iklim seperti saat ini. Dengan begitu, pemerintah daerah bisa meminimalisasi jumlah korban, dampak sosial dan kerugian ekonomi yang harus ditanggung warga,” ujarnya.
Jeanny pun mendorong pemerintah daerah wilayah Jabodetabek untuk meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi krisis iklim dibanding mengeluarkan solusi palsu seperti modifikasi cuaca yang hanya akan bertahan sementara. Menurutnya, pemerintah daerah seharusnya fokus untuk merancang kota yang tahan iklim, serta mempersiapkan warga dalam menghadapi dampak krisis iklim.
“Pemerintah daerah pun harus memastikan upaya mitigasi dan adaptasi dampak krisis iklim dapat dilakukan oleh masyarakat dengan dukungan penuh negara, terutama bagi komunitas terdampak seperti rakyat miskin kota, masyarakat di wilayah pedesaan, warga pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini bukan hanya akan meningkatkan ketahanan daerah dalam menghadapi krisis iklim, namun juga mengembangkan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat,” tutur Jeanny.
Upaya adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan melalui pengelolaan DAS terpadu, restorasi kawasan hutan di hulu, memperbanyak sumur resapan dan biopori, memperluas kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai resapan air hujan sekaligus mengurangi polusi udara, pemberdayaan masyarakat dalam upaya mengelola daerahnya, melakukan pembatasan terhadap izin usaha yang mengeksploitasi lingkungan serta memastikan pengendalian alih fungsi lahan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca reportase lainnya tentang Banjir atau Bencana Ekologis