CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #82: Air Citarik, Harapan yang Terbalik
Cicalengka masih harus berjuang melawan banjir akibat meluapnya Sungai Citarik. Masih ada saja warga yang harus mengungsi setiap kali turun hujan.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat Literasi di RBM Kali Atas
17 Maret 2025
BandungBergerak.id – Cicalengka, kota kecil yang berada di pelataran Bandung timur, kembali tersedak oleh derita yang sama, banjir. Seperti kutukan yang tak pernah dihapus, setiap kali hujan menumpahkan isaknya dengan deras, Sungai Citarik menjelma raksasa murka. Ia mengamuk, menyusup ke jalan-jalan, menelan halaman rumah, merendam kendaraan, dan membekap denyut kehidupan. Tak sekadar genangan yang enggan surut, tetapi juga ketakutan yang membatu, keputusasaan yang menggumpal, serta amarah yang menggelegak dalam dada warga.
Banjir di Cicalengka bukanlah peristiwa insidental. Ia telah menjadi balada pilu yang terus digubah ulang, elegi yang melantun tanpa akhir. Tahun demi tahun, musim hujan tak datang membawa kesuburan, melainkan petaka yang berulang. Sungai Citarik menghitam, keruh oleh endapan lumpur dan samudra sampah, meluap liar tanpa kendali, mengirimkan pesan getir bahwa kota ini masih belum siap menghadapi bencana yang seharusnya bisa dicegah.
Namun yang lebih menyesakkan bukan hanya air bah yang tak kunjung reda, melainkan janji yang tak kunjung ditepati. Solusi yang seharusnya hadir malah menjelma fatamorgana, menggantung di udara tanpa pernah membumi. Kepedulian terasa kian menipis, seperti daun yang luruh satu per satu, menyisakan ranting kering bernama ketidakacuhan.
Lantas, sampai kapan? Sampai kapan Cicalengka harus terus menelan getir ketidakpedulian? Sampai kapan warga harus terus menyeka air mata, sementara air bah terus mengubur harapan mereka?

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #79: Warung Kopi vs Kafe Instagramable, Dilema Cicalengka antara Gaya dan Rasa
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #80: Dilema Cicalengka antara Perumahan Tumbuh Subur atau Alam Terkubur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #81: Bina Muda Digusur, Nenek Jubaedah Menjerit, Tanah Kami Bukan Barang Dagangan
Nadi Sungai Citarik
Sejarah mencatat, sungai bukan hanya jalur air, tetapi juga nadi peradaban. Sejak peradaban manusia pertama kali lahir, sungai selalu menjadi saksi bisu dari segala bentuk kehidupan. Dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Gangga di India, peradaban besar dunia tumbuh dan berkembang di tepian air yang mengalir tanpa henti. Sungai adalah ibu yang memberi makan, tangan yang menyejukkan, dan jalan yang menghubungkan manusia dengan masa depan. Namun, di Cicalengka, sejarah itu tak lagi hidup. Sungai yang seharusnya menjadi berkah, justru menjelma menjadi musibah.
Sungai yang terletak di arah Barat Laut dari pusat Alun-alun Cicalengka dan yang menjadi pembatas antara kecamatan Cicalengka dan Parakan Muncang ini, telah kehilangan kejernihannya. Airnya kini lebih pekat daripada dosa yang dibiarkan tanpa tobat. Hitam seperti malam tanpa bintang, berbau busuk seperti janji-janji kosong yang telah membusuk di bibir para pemangku kebijakan. Kini ia adalah ancaman. Ia bukan lagi sekadar sungai, tetapi lautan mini yang menginvasi rumah-rumah tanpa diundang, membawa serta lumpur, sampah, dan kepanikan yang merajalela di antara warga.
Tak ada yang tahu pasti kapan pertama kali sungai ini berubah dari anugerah menjadi bencana. Namun, tak perlu menengok terlalu jauh untuk menemukan jejak tangan-tangan yang telah membunuhnya perlahan. Sungai ini sekarat bukan karena takdir, tetapi karena keserakahan. Pencemaran yang tak terkendali, limbah yang mengalir tanpa batas, sedimentasi yang dibiarkan menumpuk, hingga mentalitas permisif yang menganggap sungai sebagai tempat sampah raksasa –semua itu adalah belati yang menusuk jantung Citarik, membuatnya lebih mirip selokan busuk daripada sungai yang layak dihormati.
Namun, bukankah bencana ini adalah buatan tangan manusia sendiri? Bukankah air bah yang datang setiap tahun adalah akibat dari ketidakpedulian yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Citarik hanyalah cermin. Ia tak memiliki kuasa untuk menciptakan kehancuran sendiri. Ia hanya memantulkan kebobrokan tata kelola lingkungan, perencanaan kota yang amburadul, dan mentalitas permisif terhadap perusakan alam.
Banjir bukanlah kutukan, tetapi konsekuensi. Konsekuensi dari kota yang tumbuh tanpa aturan. Konsekuensi dari tangan-tangan yang membuang sampah sembarangan. Konsekuensi dari janji yang hanya menjadi penghias pidato. Konsekuensi dari pemimpin yang lebih lihai beretorika ketimbang bekerja.
Setiap tahunnya, pemerintah datang dengan wacana, program, dan proyek-proyek yang katanya akan menyelamatkan Cicalengka dari bencana. Namun, seperti daun yang tertiup angin, janji itu hanya melayang-layang di udara, tanpa pernah benar-benar menyentuh tanah. Tak ada tindakan nyata. Tak ada perubahan. Yang ada hanya siklus yang berulang. Hujan turun, sungai meluap, rumah-rumah terendam, dan warga kembali menangis.
Citarik seharusnya bisa diselamatkan. Tetapi untuk itu, harus ada keberanian untuk berubah. Harus ada kesadaran bahwa sungai bukanlah musuh yang harus diperangi, tetapi sahabat yang harus dirawat. Jika setiap orang tetap menganggap sungai ini hanya sebagai saluran pembuangan, maka jangan heran jika ia terus meluap, menuntut keadilan atas segala ketidakadilan yang telah diterimanya.

Suara Warga yang Terpinggirkan
Masyarakat Cicalengka telah muak. Tiap tahun, mereka harus mengangkat perabotan ke tempat lebih tinggi, berusaha menyelamatkan barang-barang mereka dari cengkeraman air yang tak kenal belas kasih. Mereka lelah membersihkan lumpur yang mengendap di lantai rumah mereka. Mereka marah karena solusi hanya datang dalam bentuk wacana tanpa aksi nyata.
“Ini bukan sekadar air yang menggenang, ini adalah pengabaian yang menenggelamkan!”
Sungguh ironis, di era ketika infrastruktur perkotaan berkembang pesat, di saat proyek-proyek besar digadang-gadang sebagai bukti kemajuan, Cicalengka masih harus berjuang melawan banjir yang seharusnya sudah menjadi masa lalu. Jika pembangunan adalah tentang kesejahteraan, mengapa masih ada warga yang harus mengungsi setiap kali hujan turun?
Yang lebih menyakitkan, tak ada yang benar-benar peduli. Para pejabat hanya datang ketika musim pemilu tiba, membawa janji manis yang lebih cepat larut daripada air banjir. Mereka berpidato, berfoto, lalu pergi. Setelah itu? Warga kembali sendirian, menghadapi kenyataan bahwa mereka hanyalah angka dalam statistik yang terlupakan.
Air Citarik telah merenggut banyak hal: ketenangan, kenyamanan, bahkan harapan. Tetapi harapan tak seharusnya terbalik. Harapan seharusnya mengalir, sebagaimana seharusnya sungai mengalir dengan jernih dan memberi kehidupan.
Cicalengka tidak meminta istana, tidak meminta monumen megah, tidak meminta proyek pencitraan. Cicalengka hanya meminta kepedulian. Ia hanya ingin satu hal: solusi. Solusi yang nyata, bukan sekadar janji yang menguap bersama kabut pagi.
Sungai Citarik masih menanti, berharap kasih yang tak kunjung pasti. Ia tak bisa menunggu abadi, sementara derita terus menari. Jika hari ini kita tetap bungkam, esok bukan hanya rumah yang tenggelam, tetapi juga masa depan yang karam. Maka, sampai kapan kita biarkan asa terjungkir, sementara waktu kian mungkir?
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.