• Kolom
  • CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #83: Senandung Sejarah dari Timur Bandung, Jejak Senyap Cicalengka

CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #83: Senandung Sejarah dari Timur Bandung, Jejak Senyap Cicalengka

Dewi Sartika, Djuanda, dan Sukarno pernah menginjakkan kakinya di Cicalengka. Sejarah juga hadir di sudut-sudut kota seperti Cicalengka.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Bangunan Stasiun Cicalengka lama yang kini dibongkar. (Foto: Andrian Maldini Yudha)

10 April 2025


BandungBergerak.id – Di pelataran ufuk Bandung timur, Cicalengka seakan merekah dan memancarkan bias cahaya senja yang menyapa pada setiap netra yang menatapnya. Rel besi yang melintang dan diiringi oleh suara decit roda besi kereta api akan memekakkan telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Suara decitan itu bukanlah tanpa arti, melainkan seperti suara samar yang berbisik pada kita, dari suara-suara parau di masa lampau. Pesonanya yang elok dipandang, seakan menjadi sebuah pertanda bagi kita untuk membuka mata dalam melirik sejarah yang terkandung di dalamnya.

Tak banyak orang yang tahu, bahwa di tanah ini, terkubur sebuah harta historis. Di antara lalu-lalang dan gawai yang sibuk, hanya sedikit sekali yang mengetahui bahwa setiap jengkal tanah ini telah menjadi saksi bisu pelbagai pergerakan-pergerakan besar bangsa kita.

Apakah mereka tahu, bahwa di tanah yang mereka injak masih menyisakan jejak kaki Sang Proklamator? Apakah mereka mengetahui bahwa di balik lengkungan rel kereta api pernah berdiri seorang perempuan yang menolak tunduk pada sistem patriarki? Apakah mereka tahu, bahwa di tanah yang mereka eksploitasi, pernah ada seorang pria intelek yang dengan ketekunan dan ketelitiannya berjasa dalam mengukuhkan otoritas teritori kelautan bangsa kita?

Hal-hal semacam itu, tampaknya kurang digubris. Tetapi yang mencuat adalah geliat dinamika pertumbuhan infrastruktur kota. Tak pelak bahwa memang kota ini bertumbuh secara fisik, akan tetapi tersendat secara historis. Pesona iklan spanduk properti, berita pemutihan pajak, atau baliho tokoh politik menjadi momok yang seksi dalam pembicaraan sehari-hari. Sementara itu, nama-nama seperti Dewi Sartika, Djuanda, dan Soekarno tampaknya terdengar kian asing dikuping.

Kini, wajah kota seakan sibuk berdandan namun lupa untuk bercermin. Arsitektur Stasiun Cicalengka yang kini dilapisi dengan beton-beton yang kaku dan dingin, seakan seperti sebuah batu nisan bagi ruh sejarah yang terkubur di dalamnya. Rel kereta yang dulunya menjadi saksi pengantar gagasan bangsa, kini hanya sebatas berfungsi untuk mengantar gawai kepada peradaban tanpa makna.

Orang-orang sibuk berjalan mengejar waktu, sementara kesadaran akan sejarah kian semu. Kendati begitu, kita tidak bisa melupakan masa lalu. Sejarah harus terus diingat dan harus terus mengalir untuk kita refleksikan. Kita tidak boleh memiliki paradigma bahwa Cicalengka hanya sekedar tempat transit ke kota, Cicalengka harus menjadi akar yang berkecambah bagi kesadaran sejarah.

Kita terlalu terpesona mempelajari sejarah di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tetapi kita lupa bahwa sejarah juga hadir di sudut-sudut kota seperti Cicalengka. Mengapa ini penting? Karena, sejarah adalah warisan yang berharga dari perjalanan suatu bangsa. Warisan ini harus kita jaga dan kita bingkai menjadi mozaik identitas kita yang murni.

Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #80: Dilema Cicalengka antara Perumahan Tumbuh Subur atau Alam Terkubur
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #81: Bina Muda Digusur, Nenek Jubaedah Menjerit, Tanah Kami Bukan Barang Dagangan
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #82: Air Citarik, Harapan yang Terbalik

Gema Tiga Nama dalam Sejarah di Timur Bandung

Cicalengka menjadi sebuah pelita yang menyorotkan bias cahaya perjuangan besar para tokoh-tokoh bangsa. Merekalah yang gegap gempita dalam memperjuangkan kebebasan dan perubahan pada zamannya. Merekalah tiga nama dalam gema sejarah: Dewi Sartika, Djuanda, dan Soekarno. Ketiga tokoh bangsa itu, terbukti pernah menginjakkan kakinya di tanah ini. Cicalengka, memang terletak di pinggiran, tetapi ia seakan menjadi gendang yang bertalu-talu dalam menggemakan semangat zaman ke seantero  negeri.

Pertama ialah Dewi Sartika, perempuan yang dengan berani merobek-robek tirai patriarki. Seusai ayahnya dibuang oleh tirani kolonialisme dan diasingkan pada tahun 1892, ia tidak terpuruk atau meratapi nasib buruk yang menimpa keluarganya. Pada saat itu, ia dengan ikhlas diungsikan ke rumah pamannya yang saat itu menjabat sebagai patih di Cicalengka. Di tanah inilah, ia menyemai benih-benih perlawanan terhadap sistem patriarki. Di tempat yang dianggap sebagai pinggiran inilah, ia mulai menekankan betapa pentingnya nilai pendidikan bagi kaum perempuan untuk memecahkan persepsi bahwa laki-laki mendominasi segalanya.

Cicalengka baginya menjadi rahim pertama untuk memaknai arti kata “merdeka,” bukan hanya dari praktik penjajahan, tetapi juga dari kungkungan pikiran terhadap perempuan. Ia  merenung dalam diam, bahwa perubahan bisa tumbuh dari jalan pendidikan. Maka kelak, tatkala ia mendirikan Sekolah Istri di Bandung pada tahun 1904, gema semangat itu sesungguhnya sudah lama bertalu dari pinggiran tanah ini. Dari Cicalengka, dari seorang gadis yang tak rela melihat kaumnya ditindas oleh penjajahan dan ketidakadilan sosial.

Masih di tempat dan tanah yang sama, Cicalengka tak hanya menjadi saksi bagaimana Dewi Sartika melahirkan gagasan-gagasan untuk mematahkan sekat-sekat patriarki, tetapi menjadi tempat hinggap bagi seorang teknokrat masyhur  bernama Djuanda. Ia seperti menemukan tempat sunyi untuk merenung dalam memikirkan gagasan-gagasan besar di sini. Tempat dengan hamparan perbukitan dan sawah yang asri, menjadi alasan mutlak dalam melahirkan kepribadian seorang Djuanda yang teliti dan rapi.

Pada tahun 1923, ia sempat belajar di Europeesche Lagere School (ELS) –sebuah sekolah di masa kolonialisme. Djuanda memang tidak mengangkat senjata dalam membangun bangsa, tetapi sikap kritis, tenang, dan daya analitik yang dimilikinya mampu membangun kebijakan-kebijakan yang bijaksana untuk kepentingan bangsa. Tangan yang pernah meraba tanah Cicalengka itulah yang kelak menandatangani Deklarasi Djuanda. Sebuah tangan kesatria, yang menegaskan bahwa otoritas kesatuan laut Indonesia membentang dari Sabang hingga Merauke.

Masih dari tanah ini, sebuah tanah yang menjadi simpul sejarah, terekam pula sebuah jejak langkah dari seorang proklamator yang kelak suaranya membuat penjuru negeri menari-nari dengan kata “Merdeka!” ialah Soekarno. Ia memang tidak lahir atau besar di sini. Tetapi, rel besi tua telah menjadi saksi bagi pijakkan kaki dari bapa pendiri bangsa ini. Pada tahun 1929 Ia ditangkap di Yogyakarta atas dakwaan subversif oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam perjalanannya menuju Bandung untuk menghadapi pengadilan, ia sempat diturunkan di Stasiun Cicalengka. Stasiun yang berdiri sejak 1884 itu, telah memotret babak penting dari kisah perjuangan dan perlawanan sang proklamator itu. Dan sekarang, dengan kondisi stasiun yang menjulang dengan bangunan yang elegan, apakah kita masih bisa mendengar derap langkah kaki dari dia? Apakah dinding-dinding stasiunnya yang sekarang, masih bisa memantulkan gema langkah perjuangan dari dia?

Barangkali, derap langkah itu kini tak lagi terdengar jelas. Ia telah melebur bersama suara gesekan roda besi di atas rel, bersama peluit kondektur yang mengantar manusia-manusia masa kini menuju takdirnya masing-masing. Tetapi, dalam keheningan tertentu, pada pagi yang berkabut atau senja yang meluruhkan warna-warna, mungkin suara itu kembali menyapa. Bukan dalam bentuk suara, melainkan dalam rasa. Rasa yang menggugah dada, bahwa di sini, pernah singgah sepasang kaki yang menolak tunduk pada penjajahan.

Kini, saat kita berdiri di peron itu, mari kita tanyakan pada diri sendiri –apakah kita masih membawa bara yang sama dalam dada? Apakah langkah-langkah kita hari ini masih menapak pada arah yang sama: kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan?

Jika jawabannya ya, maka Cicalengka bukan hanya stasiun biasa. Ia adalah monumen sunyi. Ia adalah tempat di mana sejarah tak hanya diperingati, tapi harus dihidupkan kembali.

Tiga Nama  yang Langkahnya Tak Pernah Sirna

Di tanah ini, di mana semilir angin menghembus lembut dari bukit-bukit, sejarah tak pernah benar-benar bungkam. Ia hanya memilih bersuara dalam bisik yang membelai kuping. Merambat pelan lewat udaranya yang sejuk, dan berdecit lambat seperti kereta yang melintasi rel sunyi di malam  hari.  Memang Cicalengka tidak tampil sebagai prasasti yang paling bersinar dalam berbicara mengenai sejarah, tetapi tanah ini tetap pernah menjadi akar bagi berkecambahnya peristiwa-peristiwa penting.

Dewi Sartika, telah berhasil menyemai benih gagasan bagi emansipasi perempuan di tanah ini. Dengan tenunan keberanian, ia menumbuhkan bunga-bunga perlawanan untuk mengikis sistem patriarki, bunga itu telah bermekaran dan harumnya masih merebak menembus lintas zaman yang masih bisa kita hayati dan maknai hingga masa kini.

Djuanda dengan ketekunan dan ketelitian yang dimilikinya, berhasil membuat peta dan mengukuhkan otoritas kelautan Indonesia yang terbentang Timur hingga Barat negeri ini. Sesungguhnya, hal itu sudah sedari dulu ia renungkan di tanah Cicalengka yang sunyi ini.

Dan Bung Karno, walau hanya sekilas, langkahnya tetap pernah hinggap di tanah ini. Kendati demikian, tetap saja itu menghasilkan nuansa sakral bagi sang proklamator bangsa ini, bahwa ia pernah menjejak dengan tanah Cicalengka.

Kini kita tahu, bahwa sejarah tidak hanya diciptakan dari tempat-tempat jantung kota seperti Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta. Tidak pula ditulis oleh tinta emas. Cicalengka mengajarkan kita, sejarah bisa ditulis dengan tanah yang bercerita dan desir angin yang berbisik. Cicalengka bukan sekedar pinggiran, tetapi ia adalah lentera temaram dalam bahasa sejarah yang sukar untuk dilupakan.

Nyala dari lentera itu, mesti kita kobarkan lagi cahayanya menjadi sebuah pelita untuk kita jaga. Sebab ia adalah sejarah yang tidak hanya sebatas dikenang, tetapi sebagai cermin untuk menata kehidupan di masa kini. Ia adalah penerang di saat kita bimbang oleh kekacauan zaman. Kita harus menjaga tekadnya, situs-situsnya, dan memintal kembali nilai-nilai yang pernah diukir oleh tekad, peluh, dan darah.

Sebab sejarah yang dibiarkan, akan seperti debu yang tertiup angin. Dan sebuah kota yang tidak mengenal sejarahnya hanya sebetas pohon tanpa akar. Sekarang pertanyaannya, di tanah yang pernah menjadi rahim sejarah, akankah kita hanya menjadi generasi pewaris tanpa ingatan, atau justru penjahit ulang cita-cita yang pernah mereka torehkan dengan air mata dan harapan?

Kita boleh saja tumbuh di tengah zaman yang bising oleh teknologi dan sibuk oleh ambisi, tetapi kita tak boleh lupa bahwa di balik hiruk pikuk itu, ada jejak-jejak yang menunggu dijemput kembali. Jejak yang tak hanya ditulis dengan pena, tapi juga dengan luka dan cita-cita.

Cicalengka telah memberi kita lentera, meski temaram, cahayanya tak pernah benar-benar padam. Kini, tugas kitalah untuk meniupkan kembali nyalanya, menjaganya agar tetap hidup, agar jalan kita hari ini tak kehilangan arah.

Sebab sejarah bukanlah benda mati yang dikurung di rak-rak museum. Ia adalah cermin –yang jika kita berani menatapnya, akan memantulkan arah untuk melangkah. Dan sebuah bangsa, tak akan pernah benar-benar berdiri tegak bila lupa pada akarnya.

Maka mari kita pilih: menjadi generasi yang kehilangan arah, atau menjadi generasi yang menyulam kembali warisan sejarah menjadi pelita zaman.

Jawabannya bukan pada esok yang masih samar, tapi pada langkah hari ini yang kita pilih –di tanah ini, di Cicalengka, tempat di mana sejarah pernah bernafas, dan mungkin… masih ingin berbicara.

* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//