Kekalahan SMAN 1 Bandung dalam Sidang Gugatan Sengketa Tanah, Potret Buram Penerapan Reforma Agraria untuk Seluruh Lapisan Masyarakat
Tingginya konflik tanah atau sengketa lahan di Indonesia karena lemahnya penerapan reforma agraria. Begitu juga di Kota Bandung dalam perkara gugatan SMAN 1 Bandung.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah21 April 2025
BandungBergerak.id – SMAN 1 Bandung mengalami kekalahan dalam gugatan sengketa tanah yang dilayangkan oleh Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) di Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN) Bandung. Perkara dengan nomor 164/G/2024/PTUN.BDG ini melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung. Keputusan yang diambil oleh majelis hakim memperlihatkan betapa rumitnya permasalahan sengketa tanah yang melibatkan institusi pendidikan, serta mencerminkan buruknya implementasi reforma agraria secara umum di Indonesia.
Majelis hakim yang dipimpin Tedi Romyadi mengabulkan gugatan Perkumpulan Lyceum Kristen yang meminta pembatalan Sertifikat Hak Pakai Nomor 11/Kel. Lebak Siliwangi yang diterbitkan pada 19 Agustus 1999. Sertifikat tersebut semula atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang kemudian beralih ke SMAN 1 Bandung. Putusan ini menyatakan bahwa sertifikat hak pakai tersebut batal demi hukum dan harus dicabut.
“Menyatakan eksepsi Tergugat dan Tergugat II Intervensi tidak diterima seluruhnya,” kata majelis hakim dalam putusannya, sebagaimana dikutip oleh BandungBergerak pada Sabtu, 19 April 2025.
Majelis hakim mewajibkan tergugat (SMANSA dan BPN Kota Bandung) untuk mencabut sertipikat Hak Pakai Nomor11/Kel. Lebak Siliwangi, terbit tanggal 19 Agustus 1999, Surat Ukur tanggal 12-4-1999 No.12/Lebak Siliwangi/1999, luas 8.450 M2, atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Cq. Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat.
SMANSA kemudian diwajibkan untuk menyerahkan sertifikat tersebut dan memproses perpanjangan sertifikat baru dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PLK.
Menyikapi putusan pengadilan, Kepala SMAN 1 Bandung, Tuti, mengungkapkan bahwa pihak sekolah akan menunggu langkah hukum selanjutnya yang sedang dipersiapkan oleh Biro Hukum Provinsi Jawa Barat. Ia mengonfirmasi bahwa salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan adalah banding.
"Biro Hukum sedang mempersiapkan langkah-langkah dan upaya hukum selanjutnya, salah satunya banding dan langkah-langkah lainnya," ujar Tuti dalam pesan singkat kepada BandungBergerak, Sabtu, 19 April 2025.
Arief Nadjemudin, seorang analis hukum di Biro Hukum Setda Pemprov Jawa Barat, juga mengungkapkan rencana untuk mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Menurutnya, ada beberapa aspek yang perlu dipertanyakan dalam keputusan PTUN, salah satunya adalah legal standing atau alasan hukum dari PLK yang mengajukan gugatan.
"Putusannya terkait dengan legal standing penggugat ini kan juga gak jelas, mengklaim sebagai pengurus Het Christelijk Lyceum yang kini PLK. Perkumpulan ini sudah dibubarkan pemerintah karena dianggap sebagai organisasi terlarang," jelas Arief.
Dukungan untuk SMANSA
Putusan ini telah memicu gelombang protes dari berbagai kalangan, terutama di kalangan masyarakat Kota Bandung. Masyarakat merasa khawatir bahwa keputusan ini akan mengancam keberlanjutan pendidikan di SMAN 1 Bandung, yang telah berperan penting dalam mencetak generasi muda berkualitas. Tagar SaveSMANSA disuarakan di media sosial.
Seiring dengan putusan tersebut, masyarakat Kota Bandung mulai memberikan dukungan kepada SMAN 1 Bandung, salah satunya melalui petisi daring di platform change org yang dimulai oleh Vee Marcelia. Petisi ini bertajuk “3 Dukungan Masyarakat Terhadap Warga SMANSA Kota Bandung” dan mendapat respons luas. Hingga Senin, 21 April 2025, petisi ini sudah mengumpulkan lebih dari 1.500 tanda tangan.
para penandatangan petisi menyuarakan tiga dukungan utama: dukungan hukum untuk mempertahankan legalitas sertifikat yang telah diterbitkan, dukungan psikologis bagi siswa dan guru yang terdampak, serta dukungan sosial terhadap keberlanjutan pendidikan di SMAN 1 Bandung yang telah menjadi bagian dari identitas Kota Bandung sejak 1958.
Salah satu penanda tangan, Eni Febriani, warga Kota Bandung, menyatakan dukungannya terhadap upaya untuk menjaga keberlanjutan pendidikan di SMAN 1 Bandung.
“Kami percaya bahwa Sertifikat Hak Pakai atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan oleh BPN Kota Bandung adalah sah dan kuat secara hukum. Upaya hukum untuk mempertahankan hak ini harus terus dikawal oleh semua pihak,” tulisnya dalam petisi tersebut.
Tanggapan Alumni SMAN 1 Bandung
Alumni SMAN 1 Bandung juga turut menyuarakan keprihatinan terhadap keputusan PTUN yang dianggap tidak adil. Inyo Tanius Saleh, Ketua Ikatan Alumni SMAN 1 Bandung, menegaskan bahwa sekolah adalah warisan ilmu yang seharusnya tidak dipermasalahkan dalam sengketa tanah.
"Sekolah ini adalah warisan ilmu, bukan objek rebutan," ujar Inyo dalam keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak.
Inyo juga menambahkan bahwa pihak alumni tidak akan diam begitu saja terhadap putusan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan pendidikan. "Kami menolak diam terhadap mafia tanah yang mencoba merebut ruang belajar anak bangsa," ungkapnya.
Koordinator Tim Caretaker Ikatan Alumni SMAN 1 Bandung, Arief Budiman, menambahkan bahwa pihaknya akan berkolaborasi dengan tim hukum Biro Hukum Provinsi Jawa Barat untuk melakukan banding. Mereka juga berencana menyurati Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Komisi X DPR RI untuk memastikan masalah ini mendapatkan perhatian serius.
Baca Juga: Lahan SMAN 1 Bandung Digugat Perkumpulan Lyceum, Murid dan Alumni Menyuarakan #SaveSmansa
Malam Solidaritas Sukahaji Melawan, Menghidupkan Ruang Hidup Warga
Ruang Hidup Ratusan Warga di Desa Tenjolaya Terancam Eksekusi Lahan, Kasus ini Mencuat Setelah Nenek Jubaedah Mengungkap Dugaan Manipulasi Data Tanah di TikTok
Lemahnya Penerapan Reforma Agraria di Indonesia
Kekalahan SMAN 1 Bandung dalam sengketa tanah ini tidak hanya menyisakan perasaan kecewa bagi pihak sekolah dan masyarakat Bandung, terlebih sebelumnya PLK juga telah menggugat SMAK Dago yang berdiri di sebelah SMANSA, tetapi juga memperlihatkan betapa buramnya penerapan reforma agraria di Indonesia yang diamanatkan UU Pokok Agraria.
Di Kota Bandung, sejumlah daerah tercatat mengalami konflik agrarian, mulai dari Sukahaji, Dago Elos, Tamansari, Anyer Dalam, Kebon Jeruk, Babakan Surabaya, Cicalengka, dan lain-lain. Konflik agraria yang semakin meningkat menunjukkan lemahnya pengelolaan tanah dan ketidakpastian hukum terkait hak atas tanah, termasuk di sektor pendidikan.
Menurut data dari Asian NGO Coalition for Agrarian Reform and Rural Development, Indonesia mencatatkan angka konflik agraria yang sangat tinggi pada tahun 2023, dengan 241 insiden yang merampas tanah seluas 638.188 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan lebih dari 135.000 kepala keluarga (KK) dan mengakibatkan 608 pejuang hak atas tanah menjadi korban. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konflik agraria tertinggi di Asia Tenggara, bahkan melebihi negara-negara lain seperti India, Filipina, dan Bangladesh.
Ketimpangan dalam penguasaan tanah dan lemahnya implementasi reforma agraria telah memperburuk situasi ini. Catatan yang dikeluarkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan, selama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, jumlah konflik agraria tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan era sebelumnya.
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, dalam Catatan Akhir Tahun 2023 mengungkapkan bahwa terdapat 2.939 kasus konflik agraria selama era Jokowi, lebih tinggi dibandingkan dengan 1.354 kasus di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Angka ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam ketegangan sosial yang melibatkan tanah, yang sering kali memicu bentrokan antara masyarakat dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dalam sektor agraria.
Dalam banyak kasus, kata Dewi, peran negara justru memperburuk situasi konflik agraria dengan pendekatan yang represif. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam menghadapi konflik agraria yang terus meningkat, penting untuk terus mendorong agenda reforma agraria secara menyeluruh.
"Dengan memonitor secara berkala hari ke hari, tahun ke tahun, kami mendorong perlunya reforma agraria yang lebih komprehensif serta pengakuan hak-hak petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan di semua negara. Dengan berbagi informasi monitoring secara berkala, kami berharap agenda reforma agraria bisa menjadi aksi kolektif bagi masyarakat sipil bersama Komnas HAM, Ombudsman, dan parlemen," tegas Dewi.
Penyelesaian konflik agraria selain berbasis hukum, juga memerlukan pendekatan yang menghargai hak-hak masyarakat. Agenda reforma agraria yang holistik, yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat sipil dan pengakuan hak atas tanah, harus menjadi prioritas bagi pemerintah, untuk menciptakan pemerataan dalam penguasaan sumber daya alam dan memperbaiki ketimpangan yang ada.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artikel lain tentang Konflik Agraria