CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #85: Tanah Kami, Tenaga Mereka, Nestapa di Tengah Pabrik-pabrik Cicalengka
Warga pribumi Cicalengka hanya menjadi penonton di panggung yang dibangun di atas tanah mereka sendiri. Mereka tak diberi peran dalam lakon besar industrialisasi.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
19 Mei 2025
BandungBergerak.id – Di tengah gemuruh mesin-mesin pabrik yang mengepulkan asap tanpa henti, tersebutlah Cicalengka sebagai kota industri yang tak pernah senyap. Setiap hari, truk-truk pengangkut komoditas hilir-mudik menembus jalanan kota, menopang denyut produksi dari sejumlah kawasan industri yang tersebar dis ana. Tak berlebihan jika Cicalengka disebut sebagai kota dinamis dengan wajah industrialisasi yang terus dipoles dan dipacu.
Dari berbagai penjuru, berdiri raksasa-raksasa industri dalam keheningan yang angkuh. Di barat, menjulang PT Yakjin Jaya Indonesia yang memutar roda tekstil. Di timur, PT Tri Duta Perkasa menggulung karet jadi barang jadi. Ke utara, PT Tirta Fresindo Jaya Mayora menyusun barisan minuman kemasan. Di selatan, PT ABC Kogen Dairy memerah susu menjadi bisnis berskala nasional. Cicalengka seakan dikepung oleh deru produksi dari segala arah.
Namun, di balik dentang mesin yang menderu siang malam tanpa jeda, tersimpan pilu yang tak kasat mata. Warga pribumi Cicalengka hanya menjadi penonton di panggung yang dibangun di atas tanah mereka sendiri. Mereka tak diberi peran dalam lakon besar industrialisasi. Seperti aktor yang dilupakan naskah, mereka menyaksikan roda ekonomi berputar tanpa bisa ikut mendorongnya.
Sungguh ironi. Di tanah kelahiran yang dibanggakan sebagai titik tolak kemajuan, tumbuh luka yang lama tertanam. Pabrik-pabrik yang menjulang itu, alih-alih menjadi ladang penghidupan, justru menjadi beton-beton dingin yang sulit ditembus oleh harapan.
Lamaran demi lamaran telah mereka layangkan, namun yang diterima justru adalah penolakan yang datang berulang. Seolah ada sekat yang mengaburkan peluang. Banyak perusahaan lebih memilih tenaga kerja dari luar Cicalengka, berdalih lebih berpengalaman atau punya keterampilan lebih. Padahal secara aturan administratif, tidak selalu demikian. Yang tak mereka miliki bukanlah kemampuan, melainkan utas kesempatan yang tak pernah diulur.
Lalu lahirlah kenyataan pahit: tanah ini milik kami, tapi tenaganya bukan kami.
Bagi pribumi, keadilan hanyalah bayang-bayang fatamorgana. Mereka hanya bisa menatap saban hari wajah-wajah asing berseragam industri berlalu-lalang, di tanah yang sejak lama mereka rawat dan pijak.
Pelan tapi pasti, nestapa itu tumbuh. Bukan hanya karena pengangguran yang menggunung, tapi karena rasa terbuang yang tak terjelaskan. Pemuda-pemudi Cicalengka seperti rumah yang dilupakan alamatnya –asing di kampung halaman sendiri. Di usia produktif, mereka justru dipaksa mengembara mencari penghidupan di luar kota, membawa luka bahwa tanah kelahiran tak menyediakan ruang untuk bertumbuh.
Orang tua pun mulai menua dengan dada yang penuh kecewa. Anak-anak muda pergi membawa mimpi, meninggalkan Cicalengka sebagai kampung halaman yang tak lagi menyambut. Tanah yang dulu memberi napas kehidupan, kini serupa tempat yang tak lagi mengundang pulang.
Kini, suara mesin pabrik tak lagi sekadar deru produksi –ia menjelma jadi suara asing yang tak menyapa. Ia berdentang seperti lonceng di kejauhan, mengabarkan ironi yang tak kunjung selesai: bahwa di tanah ini, kami sekadar bayang-bayang di balik tembok-tembok megah industri. Di tanah ini, kami ditanam, tapi tak dibiarkan tumbuh. Di tanah ini, tenaga kami tak pernah dihitung, hanya dijauhkan. Maka begitulah kami hidup –membawa nestapa di ladang harapan, dan menggenggam tanah yang terus menjauh dari arti rumah.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #82: Air Citarik, Harapan yang Terbalik
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #83: Senandung Sejarah dari Timur Bandung, Jejak Senyap Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #84: Sengketa Tanah Desa Tenjolaya Menggusur SDIT Bina Muda
Nasib Anak Pribumi
Di balik gemuruh bising mesin-mesin pabrik, ada suara yang lebih pekik melirih nan lebih menyakitkan: suara hati para pemuda-pemudi pribumi di sini. Hati mereka meringis pada kenyataan, bahwa untuk mendapatkan pekerjaan di Cicalengka, tak cukup bermodal ijazah, kemampuan, dan harapan –tetapi harus dengan siapa kau kenal, atau berapa yang sanggup kau bayar.
Anak-anak muda yang lahir dan besar di Cicalengka, yang menimba ilmu di sekolah-sekolah kota ini, justru harus menelan kenyataan pahit: lamaran tanpa “orang dalam” hanya akan berakhir di tumpukan meja. Kemampuan saja tak cukup untuk menembus ruang perekrutan. Semuanya tersekat oleh nepotisme, sogokan, dan kuasa jaringan.
Raut wajah sedih begitu mudah ditemui pada mereka. Dengan lirih mereka berkata, bahwa untuk bisa diterima di sebuah pabrik di sini, harus ada yang disebut “biaya administrasi” –istilah yang samar dan asal-usulnya tak jelas. Jumlahnya tidak sedikit, dan tak ada jaminan bahwa setelah membayar, pekerjaan itu benar-benar akan didapat. Mereka yang menolak atau tak sanggup membayar hanya bisa tertunduk lesu, melangkah pulang dengan tatapan sendu ke arah wajah kedua orang tuanya. Tumbuhlah perasaan yang paling menyakitkan: bahwa di kampung halaman sendiri, mereka tidak dihargai.
Sebut saja seorang pemuda bernama Firman. Pria berusia 22 tahun ini, yang sejak kecil hidup di Cicalengka, merasakan pahit getir itu. Suatu hari, saat kami sedang berbincang santai sambil menikmati kopi, ia berkata dengan suara lirih:
"Kamari teh, ek gawe euy. Ges dek ngasupkeun lamaran. Ngan ceunah kudu aya duit administrasi tujuh juta. Atuh urang duit ti mana? Kan kahayangna ge, gawe ker neangan duit, lain dek ngaluarkeun duit. Heran, ai nu jauh ti luar Cicalengka barisa gawe di dieu. Ai urang ti leutik di dieu, meni kudu nyogok ker gawe wae ge."
Firman hanyalah satu dari sekian banyak anak muda pribumi yang merasakan pahitnya mencari kerja di tanah kelahirannya sendiri. Masih banyak yang bernasib serupa.
Dari beberapa kesaksian yang terlontar, alasan mengapa mereka sulit mendapatkan pekerjaan adalah karena kurangnya pengalaman dan tingkat pendidikan. Sebuah dalih yang terdengar sopan, tapi tak sepenuhnya benar. Cicalengka bukanlah tanah yang kekurangan akal atau lulusan terdidik. Banyak warganya yang telah menamatkan pendidikan menengah, bahkan menyandang gelar sarjana dari berbagai perguruan tinggi di luar kota. Mereka kembali dengan semangat dan tekad suci: membangun kampung halaman dengan ilmu dan tenaga yang dimiliki.
Namun yang mereka dapati justru seolah penolakan, seperti terusir di tanah sendiri. Mereka dihalangi oleh relasi kekuasaan dan dibatasi oleh tarif sogokan yang tak masuk akal. Di balik cahaya lampu-lampu industri yang gemerlap, tersirat pesan yang getir: hanya ada dua syarat untuk diterima –sebuah nama yang merekomendasikan, atau jumlah uang yang bisa kau selipkan.
Tak berhenti di situ, alasan yang lebih menyakitkan adalah anggapan bahwa mereka yang direkrut dari luar lebih piawai dan berpengalaman. Tapi bagaimana mungkin anak-anak muda sini bisa memiliki atau untuk unjuk pengalaman, jika sekadar menembus ruang wawancara saja sudah harus membayar?
Lowongan kerja yang terpasang hanya menjadi papan pengumuman tanpa pintu. Di balik itu, telah menjadi lumbung lingkaran setan yang mengatur siapa yang layak masuk berdasarkan nama dan amplop. Pribumi bukan gagal karena tak mampu, tapi karena tak diberi ruang. Mereka bukan kalah karena kurang, tapi karena tak diizinkan ikut bermain. Seperti tamu yang tak pernah diundang masuk ke rumahnya sendiri.
Mereka seperti berdiri diambang gerbang pabrik. Nama mereka tak pernah diseru. Ijazah mereka tergenggam, tapi tak pernah dibaca. Harapan mereka menyala, tapi tak pernah disapa.
Maka di Cicalengka, yang kalah bukanlah ilmu, tapi kejujuran. Bukan karena kurangnya kemampuan atau pengalaman, tapi karena kekuatan “orang dalam” yang lebih menentukan. Bukan kerja keras yang gagal, tapi keadilan yang tak pernah datang. Para pribumi di sini perlahan belajar satu hal yang menyayat: bahwa lahir, tumbuh, dan mencintai tanah ini saja, tak cukup untuk diterima di atasnya.
Kami yang Menyemai Mimpi di Kota ini
Apa lagi yang harus kami lakukan? Apa lagi yang harus kami buktikan? Kami tak menuntut keistimewaan, hanya ingin didengar.
Jika kelak kota ini merekah menjadi kisah sukses di berita-berita, dielu-elukan para pejabat dan digadang-gadang sebagai wajah kemajuan, ingatlah bahwa pernah ada anak-anak kampung yang menanam mimpi di sini. Anak-anak yang tumbuh bersama debu jalanan, bukan dengan uang atau jaringan kekuasaan.
Tiap langkah kami adalah bukti bahwa kota ini tak dibangun semata oleh angka investasi, tetapi juga oleh doa-doa ibu kami yang terbit di subuh hari.
Di kota yang katanya berkembang dengan gemuruh pabrik, kami justru tertunduk bisu, menyaksikan rumah sendiri tak memberi ruang. Kami seperti bocah yang dibuang oleh ibu kandung. Sejak kecil, kami mengeja nama Cicalengka dengan sepenuh hati. Tanah ini mengajarkan kami berdiri, berjalan, dan berbicara. Tapi mengapa kami tak diterima? Untuk mendapat pekerjaan di kampung halaman, sogokan dan kekuatan orang dalam menjadi hantu yang terus bergentayangan. Entah sampai kapan.
Kami datang dengan pakaian rapi, kepala tegak, membungkus harapan akan pekerjaan yang kami idamkan. Namun harapan itu hanya menyisakan luka yang menyayat di dada. Yang kami terima hanyalah penolakan demi penolakan.
Kami bukan anak dari nama besar, bukan pula orang dengan kantong tebal. Kami hanya anak-anak kecil yang pernah bermain di tanah ini. Tanah yang kini menopang beton-beton industri.
Kami tumbuh bersama harapan dan cinta terhadap kota ini. Tapi kini, kami hanya bisa menatap dari balik gerbang industri, menyaksikan kota yang kami cintai membangun menara-menara, sementara kami terkurung dalam tanya.
Kami tak ingin menjadi pengemis yang menadahkan belas kasih. Kami hanya ingin didengar: apakah cinta kami terhadap tanah ini tak cukup berarti?
Kami tak ingin dibanggakan, hanya ingin dilibatkan. Tak butuh janji manis atau baliho yang memajang senyum palsu. Kami hanya ingin merasa bahwa kami bagian dari kota ini.
Yang bisa kami genggam kini hanyalah harapan. Harapan yang tumbuh dari lorong-lorong dan warung kopi. Tempat lahirnya percakapan-percakapan kecil tentang bagaimana bersatu, menyuarakan hak, dan menagih janji yang dikebiri.
Kami tahu, perubahan tak begitu saja menghampiri. Tapi kami percaya, suara yang dijaga akan bergema lebih nyaring. Jika suara-suara kami tak sampai ke tembok pabrik, biarlah ini menjadi catatan di tembok sejarah.
Sebuah kisah tentang anak-anak yang tak dianggap di rumahnya sendiri. Dianiaya oleh tangan-tangan yang memburu amplop, dan dibungkam oleh kekuasaan orang dalam.
Dan jika memang tak ada jawaban untuk kami, tak ada kursi untuk kami duduki, maka biarkan kami bertanya sekali lagi –sebelum suara kami benar-benar padam dalam sunyi: “Apabila suatu saat akhirnya kami mati dalam tanya, akankah kota ini menggali kubur kami, atau justru membangun tembok lain di atas kepala kami?”
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.