CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #86: Mei yang Basah oleh Darah, Sebuah Keresahan dari Cicalengka
Penyerangan geng motor yang salah sasaran meresahkan warga Cicalengka. Ketakutan yang harus dilawan dengan keberanian masyarakat untuk menumbuhkan rasa aman.

Andrian Maldini Yudha
Pegiat di Rumah Baca Kali Atas, Cicalengka
26 Mei 2025
BandungBergerak.id – Pada tanggal 5 Mei 2025 sekitar pukul dua dini hari, beberapa orang duduk di warung sederhana di dekat Terowongan Cikopo, Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka. Mereka berbagi gelak di atas cangkir-cangkir kopi, menggantungkan lelah di antara tawa yang menguap perlahan. Tak mereka sangka, kehangatan itu akan segera digantikan oleh dinginnya baja yang menyambar tanpa jeda. Sekitar dua puluh motor datang menggerung dari kejauhan, seperti badai yang membawa maut. Di tangan-tangan mereka memegang parang yang berkilau.
Tujuh tubuh rebah tak berdaya. Ada yang luka di kepala, ada yang terkoyak di tangan dan punggung –darah mengalir bukan karena kesalahan, tetapi karena salah sasaran. Korban-korban ini bukan lawan, bukan sasaran dendam, melainkan manusia biasa yang kebetulan berada di tempat yang salah saat kebencian memuncak. Mereka dilarikan ke RSUD Cicalengka. Namun luka-luka itu bukan hanya luka jasad. Mereka adalah luka pada ingatan kolektif, luka pada rasa aman yang dulu menyelimuti Cicalengka seperti pelukan ibu kepada anaknya.
Polisi bergerak cepat. Tak sampai satu hari, beberapa pelaku diciduk dari kediaman masing-masing. Mereka diduga merupakan bagian dari geng motor, sebuah nama yang lebih akrab terdengar di film laga ketimbang halaman-halaman berita kampung. Dan motifnya? Balas dendam terhadap seseorang yang pernah melukai salah satu dari mereka. Namun yang mereka tebas bukan pelaku penganiayaan itu, melainkan warga biasa. Warga yang tak tahu apa-apa.
Kini, Cicalengka terasa tak lagi seperti dahulu. Jalan-jalan yang dulu jadi ruang bermain, ruang bercanda, kini terasa asing dan berbahaya. Malam, yang dahulu memberi keheningan bagi para warga dan pemimpi, kini membawa cemas. Anak-anak tak lagi pulang larut, para ibu gelisah bahkan saat angin hanya mengetuk jendela.
Mereka bilang, pelaku sudah tertangkap. Tapi siapa yang bisa menangkap rasa takut? Siapa yang bisa memenjarakan trauma? Cicalengka tak sedang menunggu jawaban. Ia sedang merintih dalam sunyi –berharap yang robek bisa dijahit kembali, bahwa pada suatu pagi, langit akan kembali biru, bukan kelabu seperti malam pembacokan itu.
Baca Juga: CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #83: Senandung Sejarah dari Timur Bandung, Jejak Senyap Cicalengka
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #84: Sengketa Tanah Desa Tenjolaya Menggusur SDIT Bina Muda
CATATAN DARI BANDUNG TIMUR #85: Tanah Kami, Tenaga Mereka, Nestapa di Tengah Pabrik-pabrik Cicalengka
Cicalengka Pasca Malam Berdarah
Sejak malam itu, langit Cicalengka menjadi kelabu abadi, seperti mendung yang tak pernah jua turun hujan. Ia murung, tertunduk lesu di atas rumah-rumah yang dulu bersahabat dengan mentari pagi. Jalanan yang semula akrab, kini berubah menjadi medan asing yang penuh tanda tanya, lorong-lorong sunyi yang mengembuskan bisik takut dan langkah-langkah ragu.
Di warung kopi yang sama, tempat suara tawa pernah menjadi nyanyian kecil di tengah gelap, kini hanya ada bisu. Meja dan kursi tersusun tanpa cerita, kepulan asap rokok dan aroma kopi hanya mengisi ruang kosong yang bergema oleh keheningan. Para lelaki yang dulu berbagi canda kini meminum kopi dengan tatapan waspada, mengunyah resah yang menempel seperti jelaga di dinding. Para ibu menutup pintu dan jendela lebih cepat, menyuruh anak-anak pulang sebelum malam menelan kota dengan parang dan dendam.
Gelombang ketakutan merambat perlahan ke setiap sudut. Setiap deru motor yang melintas seperti drum perang yang memekakkan hati. Setiap sosok bertopeng hoodie dan tatapan dingin menjadi bayang-bayang hitam dalam mimpi terjaga. Malam bukan lagi ruang keheningan dan mimpi, tapi ladang luka yang terus menganga, menampung kepedihan dan cemas yang tak terucap.
Seakan warga ingin mengatakan, “Kita bukan korban,” dengan suara lirih, “tapi kehilangan itu nyata. Hilang rasa aman yang dulu memeluk kami seperti hangat pelukan ibu.” Kalimat itu seperti pisau, menusuk dan menyisakan luka yang tak terlihat di balik wajah yang berusaha kuat.
Anak-anak menatap jam yang berlari cepat, bertanya mengapa mereka tak lagi bebas berlari hingga seperti biasanya. Remaja bertanya kenapa jalan pulang terasa seperti labirin gelap yang penuh jebakan dan ketakutan. Orang tua bertanya kapan Cicalengka akan pulih, atau apakah semua hanya akan jadi bayangan kelabu di masa lalu.
Tak seorang pun berani menjawab. Karena semua tahu, malam itu mungkin akan datang lagi, dengan cara yang sama: mendadak, tanpa ampun, membekas sampai tulang. Dalam langkah yang enggan keluar rumah, dalam bisik doa yang tak terdengar, satu pertanyaan menggantung berat di udara Cicalengka yang remuk. “Apakah kami benar-benar aman, ataukah kami hanya menunggu giliran dalam sunyi yang panjang?”
Melangkah Maju
Di balik kelabu yang menggantung berat, Cicalengka tak sekadar meratapi luka –ia mulai merajut asa yang patah. Luka itu menganga, memang, namun tak lagi hanya menjadi tempat tumpahan air mata dan jerit duka. Ia berubah menjadi cermin yang memantulkan realitas, mengundang setiap warga untuk merenung dalam-dalam, memanggil hati yang terluka untuk bersatu dalam langkah baru. Karena keamanan bukanlah milik sekelompok orang, bukan pula hanya tugas aparat yang berkepentingan, melainkan tanggung jawab kolektif, sebuah benang halus yang mengikat satu dengan lainnya dalam ikatan tak terlihat tapi kuat.
Dalam dimensi refleksi, Cicalengka sadar bahwa luka ini tak akan sembuh dalam semalam. Trauma yang mengendap harus diobati dengan kesabaran, dan ketakutan yang membayang mesti dilawan dengan keberanian. Keamanan bukan hanya tentang penangkapan pelaku, tapi juga tentang bagaimana masyarakat menumbuhkan keberanian untuk hidup bersama dan mengusir bayang-bayang kejahatan.
Maka, dalam setiap bisu malam yang masih mengintai, ada doa yang terucap lirih, harapan yang tak padam walau terkadang redup. Cicalengka perlahan melangkah maju, menyulam harapan di tengah kelabu. Menyulam agar suatu hari, langit yang biru kembali memeluk, membawa damai yang bukan sekadar kata, melainkan napas kehidupan yang baru. Inilah perjalanan panjang yang harus ditempuh, dari kepedihan menuju kekuatan, dari kelam menuju cahaya –agar luka tidak menjadi penghalang, tapi jembatan bagi Cicalengka untuk bangkit dan hidup lebih baik.
* Tulisan kolom CATATAN DARI BANDUNG TIMUR merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan Lingkar Literasi Cicalengka. Simak tulisan-tulisan lain Andrian Maldini Yudha atau artikel-artikel lain tentang Cicalengka.